PADA masa orde lama, tindak pidana korupsi berlangsung dibawah meja. Tetapi pada masa reformasi korupsi dilakukan diatas meja san secara terang-terangan.
Ternyata pembelajaran dari birokrasi pusat telah berhasil menjadi budaya bagi pejabat-pejabat di daerah. Sehingga DPRD yang adalah pejabat publik yang tidak seharusnya terlibat proses tender proyek malah menjadi sutradara dibalik kasus dugaan kejahatan luar biasa yang bernama korupsi atau mencuri uang negara.
Harusnya tiga lembaga, Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif itu dibagi kekuasaannya agar mereka bisa saling mengimbangi dan saling kontrol dalam hal tata kelola birokrasi negara supaya tercipta kondisi yang menekan ruang tindakan penyimpangan dalam mengelola kepentingan antara rakyat dan negara. Begitu kira-kira perdebatan pemikiran Montesqiue pada saat mengkaji tentang tiga macam kekuasaan didalam negara.
Legislatif sebagai pembuat Undang-Undang; Eksekutif sebagai pelaksana dari Undang-Undang, dan; Yudikatif sebagai penjaga dari Undang-Undang. Tapi disana, di gedung DPRD, di kantor-kantor birokrasi, dan juga di ruang-ruang penegakan hukum, malah berbeda.
Tata tertib asal Bapak senang-kita tenang, telah berlaku. Kalangan penerima daulat sebagai wakil telah berkhianat kepada pemberi daulat. Mereka telah menjadi penerima daulat untuk mensejahterakan diri, keluarga dan partai politik, bukan rakyat.
Seakan kekuasaan dibalik jas dan diujung pena diberikan oleh partai, keluarga dan diri sendiri tanpa seluruh rakyat sehingga jabatan digunakan hanya agar menunjukan diri dengan bahu yang tinggi sebagai pejabat pemakai jas dihadapan keluarga yang bermata-pencaharian sebagai penerima berkat dari bagi-bagi proyek yang telah diatur sesuai jatah. Padahal mereka sangat mengetahui dan sangat memahami tugas, peran, dan fungsi sebagai wakil didalam gedung istimewa supaya menjamin keterlibatan rakyat dalam musyawarah pembuatan aturan dan pengambilan kebijakan yang berdampak pada pemenuhan hak-hak politik.
Hilangnya tanggung jawab DPRD sebagai wakil dari rakyat menjadi ruang terjadinya penyimpangan, bahkan mereka yang seharusnya menjadi pengawas turut menjadi pemain dalam pengaturan proyek infrastruktur dan juga program-program kedinasan yang sudah menjadi rahasia umum. Tanpa rasa malu mereka bebas melakukan intervensi terhadap program dinas, bukan karena alasan kebutuhan yang bersifat prioritas tetapi untuk tawar-menawar bagian keuntungan.
Ketika kepala dinas bersikeras tidak mengakomodir kepentingan maka program yang diusul akan dibantah sebagian, bahkan tidak bisa disetujui oleh DPRD.
Selain itu, ketika mereka mengusulkan sebuah proyek pembangunan maka harus ada deal-dealan pembagian. Fatalnya ada otak yang menjadi Sutradara dalam sebuah tender proyek hingga pekerjaan tetapi ketika ada temuan kerugian negara, malah saudaranya di korbankan sebagai tersangka, bisa diduga uang berpengaruh dalam hal penetapan tersangka sebab banyak pihak sudah menduga bahwa oknum DPRD tersebutlah yang harusnya ditahan tetapi dengan kekuatan uang maka penahanan dilakukan terhadap orang lain.
Dari proses menjadikan orang lain sebagai kambing hitam dari kejahatan luar biasa dan membiarkan aktor yang paling berperan dalam kasus kejahatan maka proses penegakan hukum untuk pemberantasan para pencuri kelas kakap seperti di Kepulauan Aru yang berstatus zona merah perilaku koruptif akan jadi penunjang untuk kejahatan mencuri uang negara terus tumbuh subur, bukan malah layu dan mati.
Karena ketika saudaranya bisa jadi korban, lalu bagaimana dengan kepentingan rakyat kepulauan Aru? Apakah rakyat harus dipaksa untuk tetap mengakui bahwa DPRD masih jadi wakil rakyat yang bermusyawarah untuk kepentingan pemberi daulat (rakyat)? Sedang saat ini rakyat diajar untuk jangan lagi percaya pada lembaga DPRD.
Penulis ; Johan Djamanmona/Pemuda Kepulauan Aru
Discussion about this post