titastory, Seram Utara – Ketegangan antara Negeri Sawai dan Desa Administratif Masihulan di Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, kembali mencuat ke permukaan. Informasi yang beredar, Perselisihan ini berakar dari sengketa lama: perebutan hak ulayat dan batas tanah yang belum tuntas sejak pemekaran wilayah dilakukan pasca konflik kemanusiaan Maluku tahun 1999. Informasi juga pasca sidang sengketa antara Negeri Sawai melawan Masyarakat Adat Huaulu. Dalam sengketa tersebut, Desa Masihulan hadir sebagai saksi dalam sidang sengketa antara Negeri Sawai dan Negeri Huaulu. Dalam pihak tersebut, pihak Desa dalam kesaksiannya lebih menguntungkan pihak Negeri Huaulu. Lalu benarkah pasca sidang sengketa tanah ini, Masyarakat Sawai menaruh dendam terhadap Desa tetangga mereka Masihulan?
Tentu saja, di tengah upaya perdamaian yang sedang diupayakan oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dan Pemerintah Provinsi Maluku, sebuah unggahan di media sosial justru memanaskan situasi. Akun Facebook bernama Salingku Ajja, yang diketahui milik Irfan Djokja atau Tomagola—seorang warga Sawai—menulis status panjang di grup “Gerbang Malteng”, menyoroti status hukum dan adat Desa Masihulan yang menurutnya berada di atas petuanan Negeri Sawai.
“Masihulan adalah anak dusun dari Negeri Induk Sawai. Pemekaran administratif tidak serta-merta memberikan hak ulayat,” tulis Irfan. Ia juga menyoroti kesaksian Kepala Desa Masihulan, Yonri Patalatu, SH, dalam perkara tanah antara Sawai dan Huaulu, yang dianggap merugikan posisi Negeri Sawai.
Lebih jauh, Irfan menuding bahwa warga Masihulan baru menempati wilayah yang sekarang mereka diami sejak tahun 2003, dan klaim sebagai negeri adat dinilai tidak berdasar hukum adat maupun sejarah yang jelas. Ia menyebut tindakan Masihulan membangun gapura bertuliskan “Selamat Datang di Negeri Masihulan” di jalan raya sebagai bentuk provokasi.
Sebaliknya, upaya Sawai untuk membangun gapura serupa justru dicegah oleh warga Masihulan. “Demi menjunjung nilai hapuama (persaudaraan) yang diwariskan leluhur, gapura Sawai dipindahkan ke pertigaan jalan menuju Rumaolat,” tulis Irfan dalam unggahannya.

Tak hanya mengkritik, Irfan juga memberikan sejumlah rekomendasi. Di antaranya meminta Pemkab Maluku Tengah dan Pemprov Maluku meninjau ulang legalitas pemekaran Masihulan sebagai negeri administratif, dan mendesak dibentuknya tim mediasi khusus bersama DPRD dan lembaga adat.
Namun, tulisan tersebut justru memancing pro-kontra tajam di kolom komentar.
Firmansyah Suneth, misalnya, mempertanyakan inkonsistensi narasi dalam status tersebut. “Katanya Masihulan baru menempati wilayah itu tahun 2003, tapi kok disebut dilindungi Sawai saat konflik 1999?” kritiknya.
Akun lainnya, Bukhari M. Ari, menyebut klaim Sawai sebagai berlebihan. Ia mengingatkan bahwa wilayah di sekitar Kali Salawai adalah bagian dari hak ulayat Huaulu, bukan Sawai. “Kesaksian Masihulan untuk membela Huaulu itu hak mereka,” ujarnya.
Sejumlah akun juga menuding Irfan sebagai penyebar narasi tendensius. “TS tulisan palsu untuk giring opini SARA,” tulis akun Apia Manusela. Sementara akun Nobert Tahanora Asomate Kolohuwey mengajak masyarakat untuk tenang. “Serahkan ke pihak berwenang. Yang langgar sumpah, Tuhan dan leluhur tidak tinggal diam,” ujarnya.
Ketegangan ini semakin kompleks karena menyentuh dua aspek sensitif: identitas adat dan legalitas administratif. Apalagi sejak konflik sosial 1999, relasi antara desa-desa di Seram Utara dibangun di atas pondasi rapuh: trauma, rekonsiliasi, dan harapan.
Di sisi lain, akun Marthin Wattimena menekankan pentingnya penegakan hukum. “Masihulan anak dusun atau negeri administratif, itu urusan lain. Tapi pembakaran rumah warga harus diproses hukum,” tegasnya.

Sementara Muammar Qadhafy Ipaenin, salah satu warga yang mendukung tulisan Irfan, menyebut konflik ini murni persoalan petuanan, bukan SARA. “Tulisan ini bagus, sesuai realita,” ujarnya.
Meski suara publik terbelah, satu hal menjadi jelas: narasi-narasi di media sosial kini bukan hanya cermin kegelisahan masyarakat adat, tetapi juga bisa menjadi bara dalam sekam jika tidak segera ditangani dengan kepala dingin dan pendekatan dialog yang adil.
Pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, dituntut untuk tidak sekadar menjadi penengah, tetapi hadir sebagai fasilitator penyelesaian konflik berbasis hukum adat dan keadilan sosial. Sebab, ketika tanah menjadi sengketa, yang retak bukan hanya batas wilayah—tetapi juga ikatan persaudaraan.

Patroli Kamtibmas di Desa Sawai
Untuk menciptakan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) tetap kondusif pasca konflik antar desa Sawai – Masihulan, personel BKO Polda Maluku dari Direktorat Samapta melaksanakan Patroli Kamtibmas di Desa Sawai, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Sabtu (5/4/2025).
Patroli pemantauan situasi Kamtibmas di Desa Sawai dilakukan secara humanis dengan sasaran menyambangi masyarakat, memantau kondisi dan situasi kamtibmas, menyasar pelaku kejahatan, dan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan kamtibmas.
Patroli kamtibmas di pimpin oleh Danki B, Ipda Yudhi H, yang diawali dengan apel gelar pasukan di depan kantor desa Sawai.
“Saat melaksanakan patroli, personel menyambangi masyarakat yang sedang duduk bersama,” kata Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Pol. Areis Aminnulla S.IK., M.H.
Selain menyapa masyarakat, petugas juga menyampaikan himbauan untuk bersama-sama menjaga dan memelihara situasi kamtibmas yang kondusif.
“Petugas juga melakukan pengecekan area sekitar, dan tidak ditemukan hal-hal menonjol, dan selama proses berlangsung, situasi aman terkendali,” ungkapnya.
Selain menyampaikan pesan-pesan kamtibmas, personel juga berkoordinasi dan bertukar informasi terkait situasi kamtibmas di area sekitar.
Personel juga menghimbau warga agar tidak melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan gangguan keamanan seperti mengkonsmsi minuman keras (miras).
“Setiap warga yang ditemui juga diajak agar tidak mudah terprovokasi dan melakukan tindakan – tindakan yang dapat mengganggu kamtibmas,” ungkapnya.
Personel yang menjalankan patroli juga mengingatkan masyarakat terkait toleransi antar sesama dan kerukunan hidup orang basudara.
“Selama pelaksanaan patroli pemantauan kamtibmas tidak ditemukan hal-hal yang berpotensi terjadi gangguan kamtibmas. Warga juga siap untuk menjaga situasi kamtibmas yang kondusif,” pungkasnya.