titasStory.id,ambon, – Keresahan masyarakat adat Suku Naulu yang mendiami Kawasan Pulau Seram tak lagi terbendung. Raut kekecewaan tergambar jelas, lantaran mereka merasakan adanya tekanan dan indikasi praktik Intimidasi Verbal.
Penyebabnya adalah harapan untuk ikut dalam pesta demokrasi justru terbentur dengan sistem penyelenggaraan yang seolah tidak berpihak kepada kaum minoritas ini.
Tanggal 14 Februari 2024 adalah hari keramat untuk bangsa ini, sayangnya harus dikotori dengan praktik ketidak adilan. Rencana untuk menyalurkan hak suara sebagai warga negara yang baik nyaris terkendala. Alasannya, warga di tiga kampung ini harus menempuh perjalanan dengan sangat jauh dengan jarak 53 Km untuk tiba ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ada di Kawasan Negeri Sepa, Kabupaten Maluku Tengah (Mal-teng).
Agenda lima tahunan, Pemilihan Anggota Legislatif DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi Maluku, DPR- RI, DPD dan paling bergensi yaitu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bakal menjadi kisah pilu dimana pelaksana pemilihan umum di tahun 2024 adalah Pemilu terberat.
Sejumlah warga resah, khusus komunitas suku Naulu yang berada di Dusun Rohua, Dusun Simalouw, Dusun Rounussa dan Dusun Waimanesi. Ketiganya adalah anak dusun dari Negeri Sepa, Kecamatan Amahay, Kabupaten Maleng, Provinsi Maluku.
Reaksi telah ditunjukan, Komunitas suku Nuaulu dengan mendatangi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Maluku Tengah. Mereka mendesak agar pihak KPU dan Bawaslu Malteng untuk menyediakan Tempat Pemungutan Suara (TPS) di salah satu dusun sehingga mudah dijangkau, atau satu dusun satu TPS. Alasannya karena mereka tidak bisa meninggalkan anak anak atau bayi dalam waktu lama karena tidak ada yang menjaga. Jika keinginan mereka tidak disanggupi maka konsekuensinya mereka tidak menyalurkan hak sebagai warga negara.
Dilansir dari https://sentralpolitik.com/suku-nuaulu-kepung-kpu-malteng-minta-pindah-tps/, Sabtu, (3/2/2024) komunitas Suku Naulu telah melayangkan desakan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengubah Tempat Pemungutan Suara (TPS) Pemilu 2024 karena cukup memberatkan.
“Kita datang konsultasi dengan KPU untuk ubah lokasi TPS karena terlalu jauh. Demikian diungkapkan Pateki Sounawe, salah satu pemuda suku Naulu yang dilansir titastory.id
Tindakan yang dilakukan adalah akumulasi dari adanya rasa resah dan kesal, atas sistem yang diterapkan. Yang menurut mereka tidak ada ketulusan untuk mengakomodir hak politik mereka.
Simson Leipary, Tokoh Masyarakat Suku Naulu kepada titasory.id, selasa (13/02) menerangkan pihaknya merasa dirugikan dan terindikasi ada upaya intimidasi secara verbal.
“Logikanya, jika hak memilih tidak dapat kami lakukan, apakah kami ini dikatakan bersalah?, pada hal penyebabnya bukan dari kami sebagai rakyat kecil.” tandas Leipary saat dihubungi media ini.
Dia menjelaskan, jarak tiga dusun ke titik TPS adalah 53 kilo meter. Untuk tiba di TPS di Negeri Sepa harus menggunakan kendaraan umum dengan harga transport Rp 30 ribu dengan jarak tempuh dengan kendaraan adalah 30 Km dengan tujuan Kota Masohi. Selanjutnya ke Negeri Sepa menggunakan kendaraan jaraknya juga cukup jauh dengan biaya angkutan Rp25 ribu, sehingga ongkos pergi pulang minimal Rp100 ribu, belum lagi keperluan makan minum dan sebagainya.
” Jika satu keluarga ada dua pemilih, maka berapa ratus ribu anggaran yang harus disediakan?, bukankah ini pesta demokrasi tapi kok kita yang dibuat susah?, tekannya.
Menjelaskan lagi, ada hal yang seakan tidak menjadi khusus, ada warga yang sudah lanjut usia tidak bisa lagi melakukan perjalanan jauh, ada juga warga yang tidak bisa berjalan jauh (struk) apakah tidak didata?.
Hal sama juga diungkapkan, Ici Latupeirissa, wanita yang sudah masuk usia senja (71) ini pun harus mengurungkan niatnya untuk datang ke TPS 19 di Negeri Sepa, jaraknya puluhan kilo. Ironisnya suami Ici jusru memilih di TPS 7 dengan jarak 7 Km yaitu jarak dari Dusun Rohua ke Dusun Waimanesi itu pun cukup memberatkan.
” Beta (saya) pilih di TPS 19, di Negeri Sepa, Beta Laki (Suami) di TPS 7, kenapa beta dengan beta laki seng (tidak) pilih di satu TPS? Beta ini sudah tua, ini atur bagaimana?,” ungkapnya kesal.
Informasi yang berhasil dihimpun, penempatan lokasi TPS dilakukan acak tidak pada satu titik. Misalkan terdapat 80 pemilih sesuai data pemilih tetap dari Dusun Waimanesi memiliki tempat pencoblosan sangat jauh. Komunitas Suku Naulu yang diwakili Pattiasa Soumory meminta untuk mengembalikan DPT pada TPS sama seperi tahun 2019. Itu lebih mudah, bukan di tahun 2024 membuat kebijakan yang menyulitkan warga Negara.
“Kami hanya ingin KPU kembalikan DPT,”tegas Pattiasa Soumory, dilansir media ini.
Atas kondisi yang ada, pihaknya menduga pihak panitia penyelenggara tidak maksimal. Mereka tidak menjalankan tugas dengan baik dalam pengumpulan dan pencocokan data. Ada indikasi pemilih dalam DPT
diambil di rumah Kepala Dusun, apa lagi sebagian pemilih belum mengantongi e- KTP, namum terdaftar sebagai pemilih.
Dia mengakui, Pantarlih gagal menjalankan tugas terutama menyasar komunitas suku Nuaulu yang belum
paham serta responsif terhadap Pemilu. “Sumber daya manusia khususnya warga Rohua kurang begitu responsif. Kami menilai Partarlih gagal,” ungkapnya.
Merujuk ada PKPU Nomor 7 tahun 2023 perubahan atas PKPU Nomor 7 tahun 2022 tentang penyusunan daftar
pemilih dalam penyelenggaraan pemilihan umum dan sistem informasi data pemilih.Pihak Partarlih diduga telah melakukan kesalahan fatal sehingga hak hak warga negara ini bakal tidak tersalur. Terkait persoalan yang terjadi di Tanah Seram, Ketua KPU Maluku yang dikonfirmasi titastory.id belum merespons. (TS 02)
Discussion about this post