JARUM jam menunjukkan pukul 10.00, Minggu (16/3) pagi. Anthonius Latumutuany melangkah keluar dari Lapas Kelas IIB Masohi, meninggalkan jeruji besi yang telah mengurungnya selama dua tahun. Wajahnya menyiratkan kelegaan bercampur haru. Keluarganya sudah menunggu di luar, menempuh perjalanan lebih dari 120 kilometer dari Negeri Piliana, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, demi menyambutnya pulang.
Hari itu, bertepatan dengan Minggu pagi. Sebelum menghirup udara bebas, Anton—begitu ia biasa disapa—menutup lembaran kelamnya dengan mengikuti ibadah di gereja dalam lapas. Seusai kebaktian, ia melangkah keluar, disambut pelukan hangat istrinya yang menitikkan air mata bahagia. Seorang balita, anaknya yang lahir saat ia masih dalam penjara, menggapai-gapai ingin digendong.
Anton menjalani hukuman penuh, tanpa remisi atau amnesti. Pemuda berambut ikal ini bukan kriminal. Ia hanya membela haknya sebagai anak adat, mempertahankan tanah warisan leluhur yang secara sepihak ditetapkan sebagai Hutan Produksi Konversi (HPK) oleh pemerintah melalui Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH).
Perlawanan itu bermula saat warga Piliana menolak pemasangan patok HPK di hutan adat mereka. Sebagai bentuk protes, Anton dan beberapa pemuda lainnya mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di lokasi sasi adat yang telah ditinggalkan para tetua. Gambar itu ia unggah ke media sosial sebagai simbol perlawanan atas perampasan tanah adat.

Aparat menanggapinya dengan dakwaan makar. Pengadilan Negeri Masohi menjatuhkan vonis dua tahun penjara. Upaya banding kandas. Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung pun tak mengubah putusan, meski Anton dinyatakan tidak terbukti melakukan tindakan makar. Hukuman tetap dijatuhkan lantaran ia mengibarkan simbol yang dianggap terlarang oleh negara.
Kini, kebebasan Anton membawa harapan baru. Ia kembali ke Piliana, ke kebun dan tanah yang telah lama ia rindukan. “Beta sanang bisa pulang, kumpul dengan keluarga. Tapi perjuangan tetap jalan, beta seng bisa tinggal diam,” katanya saat dihubungi via video call dari rumahnya.

Dua tahun terlewati, namun konflik belum usai. Warga Piliana dan sembilan negeri adat lainnya di Tehoru masih terus berjuang menolak pemasangan patok HPK. Hutan yang mereka jaga turun-temurun terancam diambil alih untuk kepentingan korporasi. “Katong cuma punya kebun untuk makan sehari-hari. Kalau diambil, katong mau makan apa?” ujar Anton, matanya menatap jauh seakan membayangkan masa depan yang kian tergerus.
Kebun Anton, yang ditanami cokelat, pala, cengkeh, dan singkong, termasuk dalam kawasan HPK. Jika status ini terus dipaksakan, bukan hanya hak atas tanah yang hilang, tetapi juga sumber penghidupan warga adat Piliana. “Dulu tanah ini punya leluhur, diwariskan turun-temurun. Sekarang tiba-tiba pemerintah bilang ini bukan milik katong lagi. Lalu, hak katong di mana?”

Di kampung halamannya, Anton tak hanya ingin kembali berkebun. Ia bertekad terus berdiri di garda depan bersama masyarakat adat mempertahankan tanah mereka. “Katong seng minta banyak, katong hanya ingin hidup damai dengan alam, jangan ambil katong punya hutan dan tanah,” katanya.
Perjuangan Anton dan masyarakat adat Tehoru belum berakhir. Mereka terus menyuarakan penolakan terhadap status HPK dan menuntut pengesahan Peraturan Daerah Adat sebagai payung hukum bagi hak ulayat mereka. “Mari bersatu! Pertahankan ruang hidup, rebut kembali hak petuanan negeri-negeri di Kepulauan Maluku!” serunya lantang.

Di tanah leluhur, perjuangan tak pernah mati. Anton tahu, menjaga hutan dan tanah adat bukan sekadar melawan ketidakadilan, tetapi juga memastikan warisan ini tetap ada untuk anak-cucu mereka kelak.
Ia sudah merasakan jeruji besi, tapi satu hal yang tak bisa dikurung oleh siapa pun: tekadnya.
Bela Tanah dan Hutan Adat
Sebuah kain berukuran dua kali tiga meter dibentangkan di tengah hutan Dusun Lukaihata, wilayah Petuanan Negeri Piliyana. Kain itu adalah Bendera Benang Raja, simbol yang dikenal sebagai bendera Republik Maluku Selatan (RMS). Pemerintah Indonesia menganggap simbol ini sebagai representasi gerakan separatisme, sehingga pengibaran bendera RMS dikategorikan sebagai tindakan melanggar hukum.
Dengan keberanian, Anthonius (Anthon) Latumutuany menancapkan bendera tersebut di kawasan hutan Dusun Lukaihata. Bagi Anthon, tindakan itu adalah simbol perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap merampas hak warga adat. Dia kemudian memotret aksinya dan mengunggahnya ke media sosial sebagai bentuk protes terhadap tindakan pemerintah.
Namun, pada 18 Maret 2023, Anton ditangkap oleh pihak kepolisian atas tuduhan makar.

Kasus Anthonius menuai sorotan. Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasi menyatakan bahwa tindakan pengibaran bendera RMS oleh Anthonius tidak memenuhi unsur makar sesuai Pasal 87 KUHP. Namun, ia tetap dihukum dua tahun penjara karena dianggap melanggar larangan pengibaran lambang negara lain.
Dalam sidang, Usman Hamid dari Amnesty International menekankan bahwa tindakan Anthonius adalah bentuk protes damai yang seharusnya dilindungi oleh hak kebebasan berekspresi, sesuai Pasal 19 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia. “Menghukum protes damai bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia,” tegasnya.
Akar Protes: Perampasan Wilayah Adat
Tindakan Anthon tidak berdiri sendiri. Aksi tersebut dipicu oleh rasa kecewa mendalam terhadap pemerintah, yang dianggap bertindak sewenang-wenang terhadap wilayah adat. Pada akhir 2022 hingga awal 2023, Balai Pengelolaan Kawasan Hutan (BPKH) Provinsi Maluku melakukan pemasangan patok untuk memperluas tapal batas Taman Nasional Manusela. Pemasangan ini menyasar hingga ke dalam wilayah kelola adat (Petuanan) sejumlah Negeri Adat di Pulau Seram, termasuk kebun-kebun milik warga.
Salah satu wilayah yang terkena dampaknya adalah Negeri Adat Piliyana, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah. Warga merasa bahwa tindakan ini melanggar hak mereka sebagai masyarakat adat.

Pada 28 Februari 2023, Anton bersama warga Negeri Adat Piliyana dan beberapa warga dari Negeri Adat lainnya menggelar aksi protes atas pemasangan patok tersebut. Aksi ini diawali dengan upacara adat pemasangan sasi (larangan adat) di Dusun Lukaihata, wilayah Petuanan Negeri Piliyana.

Solidaritas Warga dan Kampanye Pembebasan
Pada Agustus 2023, kasus Anthon mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Masohi. Jaksa tetap mendakwa Anton dengan tuduhan makar, meskipun banyak pihak memandang dakwaan ini tidak relevan dengan konteks aksi protes yang dilakukan. Sidang dijadwalkan berlanjut pada 16 Oktober 2023, dengan agenda menghadirkan saksi ahli, yakni Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia.
Di tengah persidangan yang berjalan, solidaritas dari komunitas masyarakat adat dan organisasi di Ambon dan di berbagai tempat terus mengalir. Mereka meyakini bahwa tuduhan makar terhadap Anton adalah keliru dan tidak berdasar. Kampanye penggalangan dana dan advokasi dilakukan untuk membebaskan Anthon dari jeratan hukum.
Mereka menyatakan bahwa aksi Anton merupakan bentuk protes sah atas perampasan hak tenurial masyarakat adat. Situasi yang dialami Anton menjadi cermin dari banyak kasus serupa di wilayah lain di Indonesia, di mana hak-hak masyarakat adat seringkali terabaikan.
Solidaritas ini juga mendesak agar Anthon segera dibebaskan dan semua dakwaan terhadapnya dicabut. Mereka menegaskan bahwa perjuangan Anthon adalah tindakan yang sah dalam membela hak-hak adat dan martabat masyarakat adat di Negeri Piliyana. Bagi mereka, Anton bukan seorang makar, melainkan simbol perlawanan warga terhadap ketidakadilan yang terus menimpa masyarakat adat.
Protes Meluas terhadap Pemasangan Pal Batas di Wilayah Adat Tehoru dan Teluti
Aksi protes terhadap tindakan sepihak Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Provinsi Maluku tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Negeri Piliyana, tetapi juga menyebar ke berbagai negeri adat lainnya di Kecamatan Tehoru dan Teluti, Kabupaten Maluku Tengah. Salah satu suara penolakan keras datang dari masyarakat Negeri Hatu, yang mengecam pemasangan patok (pal) batas kawasan hutan di wilayah petuanan adat mereka tanpa izin.
Masyarakat adat Negeri Hatu merasa tindakan BPKH Provinsi Maluku mengabaikan tata cara adat dan budaya setempat. Menurut Zein Vano Walalayo, seorang tokoh masyarakat adat Negeri Hatu, pemasangan pal batas untuk penataan kawasan hutan dilakukan tanpa ada koordinasi atau sosialisasi terlebih dahulu dengan pemerintah negeri maupun masyarakat adat.
“Penetapan pal batas sama sekali tidak diketahui, karena tidak ada koordinasi dan sosialisasi dari pihak mana pun, termasuk BPKH Provinsi Maluku,” ungkap Walalayo melalui unggahannya di media sosial Facebook.
Tindakan ini dianggap tidak menghormati adat dan budaya setempat, di mana setiap aktivitas di wilayah adat seharusnya didahului dengan komunikasi yang jelas dan penghormatan terhadap pemilik hak ulayat.
Sebagai bentuk perlawanan, masyarakat adat Negeri Hatu di bawah perintah Raja Negeri Hatu mencabut pal batas yang dipasang oleh BPKH. Selain itu, mereka juga memberlakukan sasi adat, yaitu larangan adat untuk melindungi tanah dan wilayah yang merupakan warisan leluhur mereka.
“Pencabutan pal batas ini adalah teguran terhadap tindakan yang tidak menghormati adat dan budaya kami. Kami menolak langkah-langkah yang dilakukan secara sepihak oleh pihak BPKH,” tegas Walalayo.
Menurutnya, sasi adat merupakan wujud nyata masyarakat adat Negeri Hatu untuk menjaga tanah adat sebagai warisan yang harus dilestarikan. Masyarakat adat Negeri Hatu dengan tegas menolak segala upaya yang dilakukan tanpa izin dan penghormatan terhadap hak adat mereka.

Penolakan serupa juga muncul dari berbagai negeri adat lain di Kecamatan Tehoru dan Teluti, termasuk Negeri Hatu Mete, Negeri Piliyana, Negeri Tehoru dan beberapa negeri adat lainnya. Semua menyuarakan keberatan terhadap langkah sepihak BPKH yang dianggap mengabaikan kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada alam dan adat istiadat mereka.
Masyarakat adat menilai bahwa tindakan tersebut tidak hanya melanggar hak-hak adat, tetapi juga mencerminkan kurangnya penghormatan terhadap tradisi dan budaya lokal. Sebagai masyarakat yang hidup selaras dengan alam, mereka merasa langkah BPKH mengancam keberlangsungan kehidupan adat yang telah terjaga selama turun-temurun.
Dengan semakin meluasnya penolakan, masyarakat adat di Kecamatan Tehoru dan Teluti menyerukan penghormatan terhadap hak ulayat mereka dan menuntut agar pihak berwenang menghentikan tindakan sepihak yang merugikan mereka.
“Kami hanya ingin melindungi warisan leluhur dan menjaga tanah adat kami untuk generasi mendatang,” pungkas Walalayo.