Tim Advokasi Gugat UU TNI ke MK: Disebut Ugal-ugalan dan Bertentangan dengan Konstitusi

09/05/2025
Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan mengajukan permohonan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: Ist

titastory, Jakarta – Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan mengajukan permohonan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menilai pembentukan revisi UU TNI cacat prosedur dan substansi, serta bertentangan dengan konstitusi.

Permohonan tersebut diajukan oleh enam pemohon, terdiri dari tiga organisasi masyarakat sipil yakni YLBHI, Imparsial, dan KontraS, serta tiga individu warga negara: Inayah Wahid (aktivis HAM dan putri Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid), Fatiah Maulidiyanty (mantan Koordinator KontraS), dan Eva Nurcahyani (aktivis mahasiswa).

“UU ini dibentuk secara ugal-ugalan dan mengabaikan prinsip negara hukum, demokrasi, serta partisipasi publik yang bermakna,” kata Tim Advokasi dalam siaran pers yang diterima titastory, Jumat, 9 Mei 2025.

Mereka menyebut revisi UU TNI disahkan secara ilegal lantaran tak masuk agenda rapat paripurna DPR pada 18 Februari 2025. Namun dalam rapat itu, Wakil Ketua DPR Adies Kadir secara mendadak meminta persetujuan agar revisi UU TNI masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan mengajukan permohonan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Foto: Ist

Selain itu, revisi UU TNI bukan bagian dari 12 RUU carry over yang sah dibahas tanpa harus memulai dari awal. “Maka, pembahasannya melanggar tata tertib DPR dan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3),” kata mereka.

Lebih jauh, Tim Advokasi menyoroti substansi revisi yang dianggap menjauh dari semangat reformasi TNI pasca-1998. Salah satu pasal kontroversial adalah Pasal 47 yang memperluas peran militer aktif di jabatan sipil. Mereka menilai ini bertentangan dengan semangat profesionalisme TNI yang harus bebas dari politik dan bisnis.

Proses legislasi yang tertutup dan minim partisipasi publik juga menjadi sorotan. Dokumen seperti naskah akademik, daftar inventarisasi masalah (DIM), dan draf revisi UU tidak pernah dipublikasikan. “Rapat-rapat digelar sembunyi-sembunyi. Ini bentuk abusive law making,” ujar mereka.

Hingga kini, dokumen UU yang telah disahkan pun belum dipublikasikan di situs resmi DPR maupun pemerintah. Hal ini, menurut Tim Advokasi, melanggar asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 95 UU P3.

Dalam petitum, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan UU TNI yang baru tidak sah secara formil dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, mereka juga meminta Mahkamah mengeluarkan putusan sela agar pemberlakuan UU TNI ditunda sampai ada putusan akhir.

“Implementasi UU TNI yang baru sudah berdampak, seperti perpanjangan masa jabatan Kepala Staf TNI AL yang seharusnya sudah pensiun berdasarkan UU lama,” kata Tim Advokasi.

Tim juga meminta MK melarang Presiden, DPR, maupun lembaga negara lainnya menerbitkan peraturan pelaksana ataupun mengambil kebijakan strategis yang berkaitan dengan UU TNI selama proses uji formil berlangsung.

Untuk diketahui, Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari gabungan organisasi masyarakat sipil seperti Imparsial, PBHI Nasional, YLBHI, KontraS, Amnesty International Indonesia, ELSAM, AJI Jakarta, WALHI, SETARA Institute, LBH Jakarta, LBH Pers, hingga PPMAN.

error: Content is protected !!