Bekal Doa di Kali Yahe: Cerita Dibalik Pencarian Firdaus, Pendaki Asal Bogor

10/05/2025
Persiapan ritual yang dilakukan keluarga Firdaus di Air Yahe. titastory/ Sofyan Hatapayo.
  • Pencarian Firdaus Ahmad Fauzi di Gunung Binaiya, Maluku, berubah menjadi ziarah spiritual.

  • Dalam sunyi hutan hujan dan deras air Yahe, para sukarelawan menyampaikan doa dan azan untuk sang pendaki yang hilang.

Persiapan ritual yang dilakukan keluarga Firdaus di Air Yahe. titastory/ Sofyan Hatapayo.

Menembus Hening Menuju Yahe

Sore sedang jatuh perlahan saat kami tiba di Negeri Piliana, Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah. Angin sore menggerakkan ilalang di sekitar batu-batu besar yang menyebar di kaki pegunungan Binaiya. Di teras Balai Desa, seorang pemuda tertidur di atas kursi panjang dari gaba-gaba—pelepah sagu yang dikeringkan. Ia adalah Dayu Kinlihu (26), salah satu dari kami, sukarelawan pencarian Firdaus Ahmad Fauzi (27), pendaki asal Jawa Barat yang dua pekan lalu hilang dalam pendakian Gunung Binaiya.

Gunung ini adalah puncak tertinggi di Kepulauan Maluku—3.027 meter dari permukaan laut. Gunung suci, sebagian percaya. Lembah-lembahnya dijuluki surga oleh banyak pendaki, tetapi kini berubah menjadi ruang pencarian yang menggantung harap dan ketidakpastian.

Gunung Binaiya berada dalam kawasan Taman Nasional Manusela yang memiliki keragaman hayati tinggi. Sekitar 117 jenis burung ditemukan di sini, termasuk 14 spesies endemik. Kawasan ini juga menjadi rumah bagi tumbuhan unik seperti anggrek Binaiya, pohon-pohon meranti, dan rotan hutan. Dalam catatan Walker’s Mammals of the World, Binaiya menjadi habitat beberapa spesies mamalia endemik Maluku, menjadikan kawasan ini salah satu ekosistem pegunungan paling penting di Indonesia Timur.

Potret Puncak Binaiya memiliki ketinggian 3.027 mdpl dan berada di pulau Seram, Maluku. Sumber foto: akun facebook @MrOne

Di belakang saya, Felmi Lamasano (28), memanggil dengan tergesa. “Dayu. Bangun. Katong tiga temani kaka kandung Firdaus ke Air Yahe,” katanya. Kaka itu adalah Imam Fauzi, kakak kandung Firdaus, yang baru datang dari Jawa Barat beberapa hari sebelumnya. Ia ingin melangsungkan prosesi doa dan ritual adat di titik terakhir Firdaus dilaporkan terlihat: Kali Yahe.

Air Yahe bukan sekadar sungai kecil di antara lembah-lembah Manusela. Ia adalah simpul harapan, dan hari itu akan menjadi altar doa bagi seorang adik yang belum kembali.

Di Jejak yang Terbuka dan Tak Bertanda

Kami mulai mendaki sekitar pukul 15.00 WIT. Dari Piliana, jalur mendaki langsung menanjak melalui ladang warga dan jalur setapak berbatu. Yusuf (40-an), warga sekaligus pemandu pendakian terakhir yang membawa Firdaus dan enam pendaki lainnya pada April lalu, memimpin perjalanan.

Jalur yang kami lalui ternyata telah berubah. Banyak kebun baru dibuka warga, memotong alur lama. Felmi menyesalkan hal ini. “BTN (Balai Taman Nasional) harus lihat ini. Harus ada string, rambu, petunjuk,” katanya sambil menunjuk simpul-simpul kayu dan batu yang bisa dijadikan penanda alami.

Berfoto bersama Yusuf (memakai topi) di kediaman Iben Ilelapotoa. Foto: titastory/Iben.

Medan makin terjal saat kami melewati Air Tampayang, jalur satu-satunya menuju puncak Binaiya. Kami mendaki punggungan setinggi hampir 100 meter dengan kemiringan 50 derajat. Lutut saya sesekali mengenai dagu. Hutan di kiri-kanan makin rapat. Langkah harus pelan, napas ditakar.

Hujan deras turun tiba-tiba. Tirai pepohonan lebat tak bisa menahan derasnya air dari langit. Kami terus berjalan, kini dalam keadaan kuyup, menuruni ngarai yang licin dan penuh batu besar. Air sungai mengalir cepat, menyatu dengan tanah dan dedaunan, membuat jalanan seperti anak-anak sungai kecil yang berliku.

Doa Tiga Mata Angin

Pukul 16.19 WIT, kami tiba di mulut gua kecil di pinggir Kali Yahe. Imam dan Iksan segera masuk ke air untuk berwudu. Tanpa sajadah, mereka menunaikan salat Asar di atas batu-batu licin. Lalu berdiri, menghadap tiga arah mata angin.

Dalam ritual, Imam menghadap barat—arah puncak Binaiya, tempat adiknya terakhir menuju. Iksan berdiri ke utara, ke arah kepala Kali Yahe. Sedangkan Felmi menghadap selatan, ke kaki sungai. Mereka bertiga melantunkan doa, dzikir, lalu azan dikumandangkan dari ketiga arah. Lembah Yahe menjadi hening. Langit menggelap. Hutan seperti menunduk.

“Dari tiga arah itu, kami bacakan doa selamat untuk Firdaus,” ucap Imam.

Air Yahe yang keruh mengalir deras. Doa mengapung bersamanya. Kami diam. Sekitar kami, hanya suara air dan desah napas. Dalam tradisi Islam, azan bukan hanya panggilan salat. Ia juga dipercaya mampu mengusir gangguan yang tak terlihat. Hari itu, azan menjadi panggilan bagi yang hilang.

Felmi dan Crew titastory berdiri di tengah Air Yahe saat mengantar keluarga Firdaus. Foto: titastory/Dayu Kinlihu.

Ritual selesai. Kini Iksan dan Dayu menyusuri hulu sungai, memanggil nama Firdaus. Di sisi lain, Imam, Felmi, dan Iben berjalan ke hilir. Di antara batu-batu sebesar mobil, lembah dalam dan tebing curam, suara mereka menggema.

“Daus… Daus!” teriak mereka.

Tak ada jawaban. Hanya air yang terus mengalir, lebih deras dari sebelumnya.

Pukul 17.09 WIT, mereka semua kembali ke titik kumpul. Imam mengeluarkan sebungkus rokok Downhill dari saku. Rokok itu milik Firdaus, katanya. Ia membagikannya, tembakau tinggal sedikit. Sebatang disulut, asap mengepul di antara kabut hujan.

“Hari hampir gelap. Waktunya kembali,” kata Yusuf, pemandu kami.

Firdaus Ahmad Fauzi (27), pendaki yang dilaporkan hilang di Gunung Binaiya | Istimewa

Di Balik Tirai Hutan

Kami kembali menembus hutan yang semakin gelap, menyusuri jalur licin dan punggungan basah. Langkah demi langkah, dengan penerang seadanya. Hutan Binaiya seperti hidup di malam hari. Di antara desir angin, kami mendengar tonggeret, burung liar, dan suara anjing dari kejauhan.

Untuk dua jam berikutnya, kami seperti berada dalam ruang terowongan waktu—dimana hanya suara dan napas kami yang nyata. Kami tiba di Piliana dalam gelap.

Bekal doa di Yahe mungkin tak membawa pulang Firdaus hari itu. Tapi ia adalah ikhtiar—doa yang ditiupkan pada semesta, dititipkan pada air yang mengalir, pada pohon-pohon yang menyimpan sunyi, dan pada kabut yang turun pelan.

Gunung Binaiya, dengan lembah-lembahnya yang megah dan nyaris mistis, kini menunggu jawaban. Kami, para pendaki dan pencari, menunggu dalam doa.

Gunung Binaiya, dengan puncaknya 3.027 meter, berdiri megah dalam kawasan Taman Nasional Manusela. Ia adalah rumah bagi ratusan spesies burung dan tumbuhan endemik, salah satunya Pakis Binaiya (Chintea binaya). Tapi gunung juga menyimpan misteri, menuntut penghormatan.

Hari itu, kami tak menemukan Firdaus. Tapi kami meninggalkan sesuatu: doa, azan, dan harapan. Bekal paling manusiawi yang bisa kami titipkan di tengah belantara. Mungkin suatu hari, ketika waktu mengizinkan, ia akan pulang. Atau setidaknya, alam akan menjaganya dalam damai.

Suasana rapat sepuluh negeri (desa) adat di Kecamatan Tehoru membahas proses pencarian dan pertolongan pendaki yang hilang di Gunung Binaiya, Sabtu, 10 Mei 2025. Duduk berjejer bagian kiri–bersebelahan dengan pihak TN Manusela, Iksan (baju putih), Imam (Abu-abu), dan Yusuf (baju kuning). Foto: titastory/Sofyan Hatapayo.
Penulis: Sofyan Hattapayo
Editor : Christ Belseran
error: Content is protected !!