titastory, Bulungan — Ketegangan kembali pecah di Desa Mangkupadi, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, pada Jumat pagi (14/6), saat PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI), didampingi aparat Kepolisian, berupaya melakukan pembongkaran paksa bangunan milik warga. Bangunan tersebut berdiri di atas tanah pribadi milik Siti Rabiah, seorang perempuan paruh baya yang telah menggarap lahannya sejak 1997 dan mengantongi SPPT sejak 2012.
Upaya penggusuran berhasil digagalkan berkat solidaritas puluhan warga yang berjaga di lokasi. Namun, peristiwa ini memperpanjang daftar intimidasi dan kekerasan yang dilakukan atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Industri Hijau Tanah Kuning–Mangkupadi, seluas 30.000 hektare, yang masuk dalam RPJMN 2025–2029.

Koalisi Masyarakat Sipil SETARA (Selamatkan Kalimantan Utara) mengecam keras tindakan PT KIPI dan aparat keamanan yang dinilai melanggar hak-hak konstitusional warga. Rivaldo dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltara menyatakan bahwa pola represi terhadap warga adalah sistematis, untuk mempercepat penguasaan lahan di kawasan PSN.
“Kriminalisasi warga adalah bagian dari desain besar industrialisasi yang mengabaikan hak dasar masyarakat. Ini bukan insiden tunggal, melainkan pola,” tegasnya.

Rivaldo dari JATAM Kaltara menyatakan bahwa kriminalisasi warga oleh PT KIPI dan aparat terjadi secara sistematis (by design) untuk memperlancar penguasaan lahan. Sebelumnya juga ada beberapa masyarakat telah menjadi korban represi serupa. Beberapa warga sebelumnya telah menjadi korban diataranya:
Pak Aris, ditangkap Oktober 2022 saat mematok lahannya sendiri. Ia divonis enam bulan penjara dengan dakwaan membawa senjata tajam. (Putusan No. 36/Pid.Sus/2023/PN Tjs); Hamsa alias Atong, dihukum tiga tahun penjara dan denda Rp3 miliar karena membuka lahan dengan cara membakar. (Putusan No. 206/Pid.B/LH/2022/PN Tjs); Daeng Mattiro, divonis lima bulan penjara atas tuduhan pemalsuan surat. (Putusan No. 96/Pid.B/2024/PN Tjs); Pak Ahmad Tang, pemilik lahan bersertifikat 6 hektare, ditahan tiga hari tanpa proses hukum jelas. Ia akhirnya menjual lahannya dengan harga rendah karena tekanan dan kekhawatiran terhadap keselamatan keluarganya.
Nasrul dari Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari (PLHL) menilai tindakan aparat dan PT KIPI mencerminkan wajah asli PSN yang jauh dari prinsip keadilan.
“Ini bukan pembangunan, tapi penyerobotan yang dibungkus narasi investasi hijau. Negara gagal hadir untuk melindungi rakyatnya sendiri,” ujar Nasrul.
Muhammad Asrul, S.H., kuasa hukum warga dari Green of Borneo (GoB), menegaskan bahwa proyek PSN tetap wajib tunduk pada hukum nasional dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, termasuk menghormati hak kepemilikan warga.
Asrul juga menyerukan agar Kapolda Kalimantan Utara segera memeriksa aparat di lapangan yang terlibat dalam penyerbuan dan intimidasi terhadap warga sipil yang sah secara hukum atas tanahnya.
“Jangan sampai aparat menjadi alat pemaksa korporasi dan melanggar konstitusi,” tegas Asrul.
Koalisi SETARA menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat sipil untuk bersatu mendesak penghentian penggusuran paksa di kawasan Tanah Kuning dan menuntut peninjauan ulang proyek PSN yang mengorbankan hak hidup dan ruang hidup masyarakat lokal.
Penulis : Redaksi