Kegaduhan di Hatiwe Besar Berlanjut ke Proses Hukum, de Fretes Cs Terancam Dipidana

16/06/2025
Puluhan masyarakat yang menggelar aksi di Depan Kantor Negeri Hatiwe Besar. Mereka mendesak agar marga de Fretes dimasukan sebagai bagian dari mata rumah parenta di Negeri Hatiwe Besar.Foto : Ist

titastory, Ambon – Peristiwa kegaduhan yang terjadi di Negeri Hatiwe Besar, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon, pada Kamis, 13 Juni 2025, dipastikan akan berlanjut ke ranah hukum. Demmyard P. de Fretes alias Dedy bersama sejumlah rekannya terancam dipidana atas tuduhan melakukan pembohongan publik dan provokasi.

Ketua Saniri Negeri Hatiwe Besar, Richard Syatauw, dalam siaran pers yang diterima titastory pada Minggu, 15 Juni 2025, menyatakan bahwa proses hukum terhadap de Fretes dan kelompoknya akan segera dilakukan. Pemerintah Negeri Hatiwe Besar disebut akan terlibat dalam proses tersebut.

Ketua Saniri Negeri Hatiwe Besar. Foto ; Ist

“Dalam waktu dekat akan ada tindakan hukum terhadap saudara Demmyard P. de Fretes alias Dedy dan rekan-rekannya. Kami akan mempidanakan mereka karena telah melakukan pembohongan publik. Ia menggunakan nama mata rumah Istana Mandalisa di Negeri Hatiwe Besar untuk meyakinkan bahwa dirinya adalah anak adat setempat, padahal mata rumah tersebut merupakan milik marga de Queljoe di Negeri Kilang. Selain itu, de Fretes juga memprovokasi hingga menyebabkan kegaduhan di Negeri Hatiwe Besar,” tegas Syatauw.

Aksi di depan Kantor Hatiwe Besar, 13 Juni 2025. Foto : Ist

Syatauw menilai aksi yang terjadi pada 13 Juni 2025 disebabkan oleh ambisi pribadi. Kelompok tersebut tidak puas dengan keputusan pemerintah negeri, lalu memblokade lokasi Galian C.

“Saya pastikan tidak ada pengaruhnya terhadap penetapan mata rumah parentah. Dasar kami kuat, bahwa marga de Fretes merupakan anak adat dari Negeri Kilang, bukan dari Negeri Hatiwe Besar,” ujarnya.

Saniri Negeri Hatiwe Besar Ungkap Pertimbangan

Pernyataan tersebut berkaitan dengan surat yang dikirimkan de Fretes kepada Kepala Kecamatan Teluk Ambon pada 10 Februari 2025, yang juga ditembuskan kepada Pemerintah Negeri Hatiwe Besar. Dalam surat itu, kelompok de Fretes meminta agar marga mereka diakui sebagai mata rumah parentah di Negeri Hatiwe Besar.

1. Namun, menurut Saniri, terdapat beberapa pertimbangan yang membuat permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi:

2. Surat Bukan Ditujukan ke Pemerintah Negeri
Surat bertanggal 10 Februari 2025 tersebut ditujukan kepada Kepala Kecamatan Teluk Ambon, bukan Pemerintah Negeri Hatiwe Besar. Pemerintah negeri hanya menerima tembusan, sehingga seharusnya surat itu ditindaklanjuti oleh pihak kecamatan.

3. Status Marga de Fretes
Dalam sistem pranata adat Negeri Hatiwe Besar, marga de Fretes bukan merupakan marga adat setempat, terlebih dengan klaim mata rumah Istana Mandalisa yang bukan milik mereka. De Fretes dinilai sebagai anak adat Negeri Kilang, termasuk dalam Soa Reamoa, dan memiliki tanah dati di wilayah tersebut.

4. Klaim Sejarah yang Tidak Relevan
Meski dalam sejarah abad ke-16 marga de Fretes pernah memimpin Negeri Hatiwe Besar, hal itu dianggap tidak relevan. Marga tersebut diyakini merupakan pemberian Portugis kepada warga lokal, dan tidak memiliki kesinambungan genealogis maupun kultural dengan marga de Fretes dari Negeri Kilang.

5. Prosedur Penjaringan Mata Rumah Parentah
Pemerintah negeri telah melakukan proses terbuka untuk penjaringan mata rumah parentah, termasuk seminar dengan partisipasi seluruh marga dan penandatanganan pernyataan menerima keputusan pemerintah. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan hukum.

6. Keterbukaan Proses
Penetapan mata rumah dilakukan secara terbuka dan sesuai Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 8, 9, dan 10 Tahun 2017.

7. Kekecewaan atas Aksi Massa
Pemerintah negeri merasa prihatin dan kecewa atas aksi demonstrasi kelompok yang mengklaim sebagai anak adat, padahal berasal dari Negeri Kilang.

8. Penegasan Penolakan
Pemerintah negeri secara tegas menolak mengakui marga de Fretes dan tidak menganggap mereka sebagai bagian dari pranata adat Negeri Hatiwe Besar.

“Kami akan menempuh jalur hukum atas tindakan pembohongan publik yang telah menimbulkan kekisruhan,” kata Syatauw.

Penolakan Penjelasan, Blokade Galian C

Syatauw menjelaskan bahwa penjelasan pemerintah negeri telah disampaikan saat pertemuan mediasi dengan perwakilan pendemo, namun tidak diterima. Massa tetap memaksakan kehendak tanpa menghormati proses yang telah dilalui berdasarkan regulasi.

Kekecewaan atas penjelasan tersebut membuat massa mengalihkan isu dari penetapan mata rumah parentah ke persoalan pengelolaan Penghasilan Asli Desa (PAD). Mereka menuntut pertanggungjawaban penggunaan anggaran dari Galian C dan usaha perikanan jaring bobo.

“Padahal, mekanisme pertanggungjawaban keuangan dilakukan secara resmi saat musrenbang negeri yang dihadiri semua komponen masyarakat,” jelasnya.

Massa kemudian mendatangi lokasi Galian C dan memblokade akses masuk. Mereka meminta keterangan langsung dari pengelola. Sayangnya, keterangan tersebut disalahartikan dan berujung pada pemberitaan yang dinilai tidak akurat.

“Pemberitaan yang menyebut setoran Galian C mencapai Rp400 juta per tahun adalah tidak benar. Pengelola tidak pernah mengeluarkan pernyataan demikian. Kami memiliki catatan resmi setiap setoran yang masuk ke bendahara negeri,” ujarnya.

Menurut data Saniri, setoran tahunan sangat variatif: Tahun 2021: Rp400.350.000; Tahun 2022: Rp330.000.000; Tahun 2023: Rp463.000.000; Tahun 2024: Rp361.000.000. Setoran bulanan pun bergantung pada jumlah penjualan material.

Dana Pinjaman dan Klarifikasi PAD

Terkait pinjaman dana Rp100 juta dari pengelola Galian C, Syatauw menjelaskan bahwa hal itu dilakukan akibat keterlambatan pencairan Alokasi Dana Desa (ADD) tahap 3 tahun 2024. Dana tersebut dipakai untuk membayar insentif perangkat negeri menjelang Natal dan Tahun Baru.

“Keputusan pinjaman diambil dalam rapat bersama Saniri dan pemerintah negeri, dengan kesepakatan akan dikembalikan setelah dana desa cair. Ketua Saniri hanya mengetahui dan menjadi saksi kebijakan tersebut,” katanya.

Siap Diperiksa Inspektorat

Untuk merespons tuduhan penyelewengan keuangan, pihaknya siap diaudit oleh Inspektorat.

“Kami akan minta Inspektorat periksa keuangan negeri, agar tuduhan terhadap pemerintah negeri dan Saniri dapat dijawab dengan data. Kami punya integritas untuk mengabdi bagi negeri,” pungkas Syatauw.

Penulis: Edison Waas
error: Content is protected !!