Drone, Bom, dan Pengungsian Massal: HRW Soroti Operasi Militer di Papua

31/05/2025
Warga kampung Walenggaru, Distrik Gome Utara, Puncak, Papua Tengah terlihat berada di lokasi Sole Mosip (52) lansia yang meninggal karena diduga terkena bom udara dari Militer Indonesia. Foto: Istimewa

titastory, New York – Meningkatnya pertempuran antara pasukan keamanan Indonesia dan kelompok bersenjata Papua di wilayah Papua Barat terus menimbulkan kekhawatiran serius terhadap keselamatan warga sipil, sebagian besar orang asli Papua. Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya, Rabu, 28 Mei 2025, menyatakan semua pihak yang bertikai wajib mematuhi hukum humaniter internasional.

Konflik yang terus bereskalasi di wilayah Pegunungan Tengah, Papua Barat, diduga menewaskan dan melukai puluhan warga sipil akibat serangan udara menggunakan drone dan amunisi berat. HRW juga mencatat ribuan orang Papua mengungsi akibat operasi militer.

Sementara itu, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat—sayap bersenjata Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM)—mengklaim bertanggung jawab atas pembunuhan 17 orang yang diduga penambang pada 6–9 April lalu. Kelompok tersebut menuduh para penambang sebagai “suanggi” atau informan militer.

 

Penggunaan Drone dan Serangan Udara

Human Rights Watch menyebut militer Indonesia melakukan operasi militer intensif melalui Komando Operasi Habema di enam provinsi Papua. Sejumlah serangan dilaporkan mengenai rumah warga, gereja, dan menyebabkan kematian warga sipil. Pada 14 Mei, militer menyatakan telah menewaskan 18 anggota kelompok bersenjata di Intan Jaya.

Namun, HRW mengutip pernyataan pendeta Ronald Tapilatu dari Gereja Kristen Injili yang menyebut hanya tiga dari korban tewas yang merupakan anggota milisi bersenjata. Sisanya diyakini warga sipil. HRW juga mengantongi daftar nama 18 korban tewas.

“Militer Indonesia memiliki sejarah panjang pelanggaran HAM di Papua Barat. Pemerintah Indonesia dan kelompok bersenjata Papua sama-sama wajib mematuhi hukum perang,” kata Meenakshi Ganguly, wakil direktur Asia HRW.

Pertempuran di Pegunungan Tengah meningkat setelah serangan beruntun terhadap para penambang, yang dituduh kelompok bersenjata ini sebagai “suanggi” — tentara atau informan. Militer Indonesia meningkatkan kegiatan yang sedang berlangsung, yang disebut Komando Operasi Habema, di enam provinsi Papua Barat, terutama di Pegunungan Tengah, tempat berbagai kelompok militan Papua bergerak selama lebih dari empat dekade.

Pada tanggal 14 Mei, militer mengatakan telah menewaskan 18 militan Papua di Kabupaten Intan Jaya, dan menemukan senjata termasuk senapan, busur dan anak panah, alat komunikasi dan bendera Bintang Kejora, simbol perlawanan Papua Barat. Operasi militer lebih lanjut diduga mengakibatkan pembakaran kampung-kampung dan serangan terhadap gereja. Beberapa aktivis dan pendeta Papua mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa pasukan pemerintah cenderung memperlakukan semua orang asli Papua, yang biasa membawa dan menggunakan panah untuk berburu, sebagai kombatan.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Foto: Akun facebook Pengelola Balai Pusat KOMNAS TPNPB (@Helen Swann)

Kampung Dibom, Warga Terluka

Informasi tentang berbagai pelanggaran ini sulit untuk diverifikasi karena permusuhan enam dekade ini di daerah terpencil di Kabupaten Intan Jaya, Yahukimo, Nduga, dan Pegunungan Bintang. Pendeta dan wartawan lokal yang diwawancarai oleh Human Rights Watch mengatakan bahwa pasukan Indonesia menggunakan pesawat nirawak dan helikopter untuk menjatuhkan bom. Warga suku Korowai, yang dikenal dengan rumah pohon mereka yang tinggi, ikut terpengaruh dalam serangan ini, dan telah melarikan diri dari pertempuran. Orang kampung yang mengungsi, sebagian besar dari Intan Jaya, mencari perlindungan di Sugapa, ibu kota kabupaten tersebut.

Kelompok tersebut mengatakan bahwa serangan militer Indonesia pada tanggal 14 Mei, di mana militer mengklaim bahwa semua 18 orang yang tewas adalah militan, sebenarnya hanya 3 yang anggota mereka, sebagian besar adalah warga sipil yang terbunuh. Ronald Rischardt Tapilatu, pendeta Gereja Kristen Injili Tanah Papua, mengatakan bahwa setidaknya 3 warga sipil termasuk di antara 18 jenazah tersebut. Human Rights Watch memiliki daftar 18 korban tewas.

Pendeta dan jurnalis lokal yang diwawancarai HRW melaporkan penggunaan drone dan helikopter untuk menjatuhkan bom. Salah satu korban adalah Deris Kogoya, pelajar 18 tahun yang tewas akibat mortir di dekat gereja di Ilaga, Kabupaten Puncak.

Kelompok bersenjata tersebut telah membuat tuduhan, yang tidak dapat dibuktikan oleh Human Rights Watch, bahwa serangan militer Indonesia telah melukai warga sipil. Human Rights Watch melaporkan bahwa serangan mortir atau roket dekat sebuah gereja di Ilaga, Kabupaten Puncak, mengenai dua pemuda pada tanggal 6 Mei.

Dalam laporan tersebut, seorang perempuan asal Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, juga mengaku ibunya, Hetina Mirip, ditemukan tewas setelah serangan militer. Ia menyebut tentara berusaha membakar dan menguburkan jenazah sang ibu. Militer membantah tuduhan ini.

Militer TPNPB menuding Sole Mosip (52) lansia meninggal akibat serangan Bom udarayang dilancarkan militer Indonesia pada 26 Mei lalu. Jasadnya ditemukan terbakar bersama rumahnya yang terkena ledakan bom pada hari ini 28 Mei 2025 di kampung walenggaru, distrik gome utara, kabupaten Puncak, Papua Tengah. Foto: aku facebook @Shon_Adii

Pengungsian Massal dan Krisis Kemanusiaan

Kelompok pembebasan United Liberation Movement for West Papua melaporkan setidaknya tujuh kampung di Ilaga menjadi target serangan udara. Serangan ini mendorong ribuan warga, termasuk perempuan dan anak-anak, mengungsi ke daerah aman seperti Sugapa.

Laporan ini memperkuat kekhawatiran akan pelanggaran hukum humaniter internasional, yang mengharuskan semua pihak membedakan antara kombatan dan warga sipil. Serangan terhadap warga sipil dan objek sipil seperti rumah dan sekolah dilarang keras.

Salah satu dampak nyata dari pertempuran yang kembali terjadi adalah ribuan orang asli Papua terpaksa meninggalkan tanah leluhur mereka. United Liberation Movement for West Papua, yang berpusat di Vanuatu, melaporkan bahwa militer telah menyerang tujuh kampung di Ilaga dengan pesawat nirawak dan serangan udara, yang memaksa banyak perempuan dan anak meninggalkan rumah mereka. Laporan media menyebutkan ada serangan di Gome, Kabupaten Puncak.

Hukum humaniter internasional mewajibkan semua pihak yang bertikai untuk selalu membedakan antara kombatan dan warga sipil. Warga sipil tak boleh menjadi sasaran serangan. Pihak yang bertikai diharuskan untuk mengambil semua tindakan pencegahan yang memungkinkan untuk meminimalkan kerugian bagi warga sipil dan objek sipil, seperti rumah, toko, dan sekolah. Serangan hanya boleh menyasar kombatan dan sasaran militer. Serangan yang menargetkan warga sipil atau gagal membedakan antara kombatan dan warga sipil, atau yang akan menyebabkan kerugian yang tidak proporsional bagi penduduk sipil dibandingkan dengan keuntungan militer yang diantisipasi, dilarang. Pihak-pihak harus memperlakukan setiap orang dalam tahanan mereka secara manusiawi, tidak menyandera, dan memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan.

Foto: tangkapan layar dari video akun YouTube @ManusKripPAPUA berjudul Tragedi Intan Jaya: Aparat TNI-POLRI Diduga Bunuh Lansia, Kubur Jenazah Secara Keji!

Kepentingan Tambang di Tengah Konflik

Organisasi Papua Merdeka telah memperjuangkan penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan di Papua Barat sejak awal 1960an. Alasannya, Penentuan Pendapat Rakyat yang dikendalikan pemerintah Indonesia pada tahun 1969 tak sah dan tak melibatkan orang asli Papua. Gerakan ini menganjurkan penyelenggaraan referendum, adil, dan transparan, serta mendukung perlawanan bersenjata.

Daerah konflik, termasuk Intan Jaya, berada di sisi utara Gunung Grasberg, membentang dari Sugapa hingga Oksibil di Kabupaten Pegunungan Bintang, dengan panjang sekitar 425 kilometer. Sugapa juga dikenal sebagai lokasi Blok Wabu, yang menyimpan sekitar 2,3 juta kilogram emas, menjadikannya salah satu dari lima cadangan emas terbesar di Indonesia. Saat ini, Blok Wabu sedang dalam proses perizinandi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia.

“Orang Papua mengalami rasisme sistemik selama puluhan tahun, yang meningkatkan kekhawatiran akan kekejaman lebih lanjut,” kata Ganguly. “Baik militer Indonesia maupun kelompok bersenjata Papua perlu mematuhi standar internasional yang melindungi warga sipil.”

Keterangan gambar: Warga desa yang melarikan diri dari pertempuran antara militer Indonesia dan militan Papua Barat ke Sugapa, ibu kota Kabupaten Intan Jaya. © 2025 Suara Papua/HRW
error: Content is protected !!