titaStory.id, ambon – Meneropong perilaku, ucapan dan sikap Gubernur Maluku Murad Ismail sebagai pejabat publik selama ini tentu menarik, karena bila mau jujur, masih jauh dari nilai-nilai etika kehidupan berbangsa.
Contoh kasus pelanggaran etika yang dilakukan misalnya, pernah melontarkan narasi provokatif untuk membenturkan masyarakat dengan kelompok mahasiswa, menantang para demonstran untuk duel berkelahi, joget di tempat umum yang tidak selayaknya, jarang masuk kantor hingga memproduksi narasi kontroversi dengan menjustifikasi Ketua DPRD Maluku tidak layak memimpin.
Fenomena para pejabat publik yang berbicara melahirkan kegaduhan, dan keresahan dalam masyarakat sebenarnya juga terjadi di daerah lain di Indonesia. Tetapi tidak sama seperti yang dilakukan oleh Gubernur Maluku dalam beberapa tahun terakhir. Fakta empiris membuktikan bahwa Gubernur Maluku mengalami defisit etika sebagai pejabat publik, karena berbicara tanpa memahami esensi permasalahan dan tidak menyadari terjadi implikasi negatif di masyarakat.
Etika Gubernur Murad Ismail sebagai pejabat publik seyogianya diimplementasikan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak pandai bertopeng sosial, tidak berpura-pura, tidak arogan, tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif, tidak melakukan kegaduhan, tidak melakukan tindakan tercela dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.
Sikap, perilaku dan ucapan seorang pejabat publik apakah sebagai seorang Gubernur, Bupati/Walikota atau wakil rakyat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, tentunya tidak luput dari sorotan publik. Oleh karena itu, seorang kepala daerah harus mempunyai moral dan mental spiritual yang baik.
Etika pejabat publik sebenarnya adalah kembali kepada perilaku, ucapan dan sikap dalam menjalankan tupoksinya. Sebagai Gubernur harus tau tugas pokoknya, berbicara mencerminkan identitas sebagai seorang pejabat publik. Gubernur tidak boleh memproduksi narasi di luar kendali akal sehat, yang melunturkan harkat dan martabatnya.
Landasan Etika Pejabat Publik
Secara normatif etika pejabat publik sudah dirumuskan dalam Ketetapan TAP MPR RI Nomor VI/MPR tahun 2001 tentang etika kehidupan berbangsa. Etika pejabat publik adalah etika yang selaras dengan visi dan misi Indonesia masa depan. Mulai dari bagaimana penyelenggara negara dan pejabat publik harus bersikap jujur, amanah, adil, bijaksana, keteladanan, disiplin, menjaga kehormatan dan martabat diri serta yang paling penting tidak munafik.
Di dalam Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, ditegaskan bahwa etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk memiliki budi pekerti, siap melayani, berjiwa besar. Selain itu, rendah hati, tangguh, santun, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan pelanggaran.
Dalam TAP MPR RI tahun 2001 telah mengandung nilai-nilai etika, yang harus diimplementasikan oleh setiap pejabat publik. Etika berbangsa jika diterjemahkan dalam konteks lokalitas dan kontemporer, maka Gubernur sebagai penyelenggaraan pemerintahan di daerah harus transparan, bertanggung jawab pengelolaan keuangan daerah. Selain itu, merawat hubungan harmonis dengan lembaga DPRD sebagai mitra kerja Pemerintahan, tidak lari dari tanggung jawab saat sidang paripurna dan harus punya budaya malu.
Kemudian menurut ketentuan Norma Pasal 65 Ayat (1) huruf b sebagaimana termaktub secara eksplisit dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 9 tahun 2015 tentang pemerintahan daerah. Menyebutkan bahwa “memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat”.
Selanjutnya, kewajiban Gubernur selaku kepala daerah harus menaati norma hukum maupun norma etika sesuai amanat ketentuan Norma Pasal 67 huruf b dan d. Menurut ketentuan huruf b menyebutkan kepala “mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Sedangkan bunyi huruf d “menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah”. Itu artinya, Norma Pasal 67 huruf d menegaskan seorang pejabat publik tidak hanya patuhi norma hukum tapi juga norma etika. Tetapi faktanya, Gubernur tidak menaati norma hukum maupun tidak menjaga norma etika. Karena tidak mampu memelihara ketentraman dan ketertiban dalam dinamika sosial.
Gubernur Harus Memiliki Etika, Bukan Hanya Patuhi Hukum
Di Indonesia bukanlah hanya sekedar Negara menjunjung tinggi norma hukum (Legal Norm) sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi norma Pasal 1 Ayat (3). Tetapi juga menjunjung tinggi norma etika (Legal Ethics), yang dirancang sedemikian rupa, agar dipahami oleh setiap warga Negara Indonesia maupun pejabat publik sebagai cerminan dari “Ethics in Public”.
Itu sebabnya, hampir semua Undang-undang yang mengatur organ-organ Negara, baik di rumpun cabang kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif atau organ Negara campuran telah mengadopsi mengenai kode etik dan komite majelis-majelis kehormatan penegak kode etik. Dengan demikian, Gubernur Maluku kedepan untuk menjamin supaya mewujudkan pemerintahan Maluku, yang bermartabat dan berkemajuan tidak hanya diimbangi oleh tegaknya “Rule of Law” tapi juga “Rule of Ethics”
Sementara dalam konteks global pejabat pemerintahan di berbagai Negara saat ini, bukan hanya mengikuti Prosedur aturan main (Rule of The Game) saja, melainkan harus menggunakan etika. Begitu pentingnya etika dalam kehidupan sebuah Negara, sekarang ini hampir semua Negara di dunia berlomba-lomba untuk memperkenalkan sistem etika, yaitu “Etika Pejabat Publik”. Negara-negara seperti Inggris, Amerika, Australia, sudah punya Undang-undang tentang “Ethics of Public Officer”.
Menurut Jimly Ashiddiqie, etika lebih luas dari pada hukum yang sempit. Karena itu, setiap pelanggaran hukum dapat dikatakan juga merupakan pelanggaran etika, tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Bahkan dapat dipahami etika sebagai basis sosial bagi kerjanya sistem hukum. Sehingga untuk membangun Pemerintahan yang modern dan bersih, maka hukum perlu ditopang dan dibangun kembali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sistem etika publik.
Berdasarkan pendapat Jimly Ashiddiqie di atas, menurut hemat penulis hukum dan etika tidak bisa di lepas pisahkan. Keduanya ibarat pondasi dan bangunan, bangunan hukum tidak akan berdiri kokoh dan kuat jika pondasi etika nya rapuh. Sehingga aneka kesalahan dan ragam pelanggaran Gubernur Maluku selama ini, tidak boleh dilihat dari optik hukum semata tapi juga harus dari perspektif etika. Jika ada dalil argumentasi membenarkan pelanggaran etika sebagai sesuatu yang lazim, dan tidak perlu dipersoalkan karena bukan pelanggaran hukum. Maka pandangan semacam itu, sangat keliru dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Seperti contoh Gubernur mengomentari ketua DPRD Maluku tidak layak, dan memilih absen pada sidang paripurna karena menghadiri acara pernikahan di Jakarta. Memang secara subjektif ada yang menafsirkan sepihak bukan pelanggaran hukum, tetapi merupakan bentuk pelanggaran etika dan tidak boleh dibiarkan berkembang biak dalam tubuh birokrasi pemerintahan. Ucapan dan sikap Gubernur Maluku berpotensi memicu keretakan dengan mitra kerja Pemerintahan.
Lazimnya seorang Gubernur meninggalkan urusan pemerintahan dalam hal tidak menghadiri sidang paripurna DPRD, karena sedang menjalankan tugas yang lebih penting diluar tanggung jawab yang ada. Misalnya menghadiri undangan resmi dari Presiden, Wakil Presiden atau para Menteri untuk membahas agenda strategis demi kepentingan Nasional dan Maluku, bukan menghadiri acara remeh temeh pernikahan.
Sikap Gubernur Maluku yang demikian sangat tidak mendasar, karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Apalagi agenda yang dihadiri sama sekali tidak berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum dan tidak memberikan kemanfaatan untuk daerah.
Ketidakhadiran Gubernur tersebut telah mendegradasi dan melecehkan marwah dan wibawa forum Paripurna DPRD. Oleh karenanya, penting Gubernur dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab urusan pemerintahan, tidak cukup dengan pendekatan “Sense of Regulation”, tetapi juga harus “Sense of Ethics”.
Manifestasi dari tegaknya “Rule of Ethics” Gubernur mestinya menjadi Role Model, memiliki budi pekerti yang tinggi dan mempunyai kesadaran etis, bukan seakan-akan seperti pemimpin tiran berdarah dingin dan diktator. Ironisnya, sikap demikian dianggap sebagai ciri khas karakter asli pemimpin Maluku, sehingga tidak perlu di ribut kan lagi. Padahal setiap perilaku, sikap dan ucapan seorang pejabat publik harus disesuaikan dengan tempat dan situasi.
Kesadaran etis seorang pejabat publik, sangat penting dalam menjalankan tugas dan urusan pemerintahan. Tidak boleh Gubernur dapat mengorbankan etiket atau sopan santun demi melanggengkan sikap arogansi dalam kepemimpinan. Sebagai seorang Gubernur selain memiliki kesadaran etis, juga memiliki kompetensi, dan integritas.
Integritas ini menjadi basis dan menuntunnya untuk melakukan amanat suci yang diembankan kepadanya dengan baik dan benar. Namun, jika Gubernur sudah tidak kompeten, tidak berintegritas dan tidak memiliki kesadaran etis, tentu hasilnya juga tidak akan membuahkan apa yang dituntut oleh masyarakat terhadapnya sebagai pejabat publik.
Jadi, kalau Gubernur Maluku Murad Ismail tidak mengerti bagaimana harus ia bertingkah laku, dan bertutur kata yang layak di masyarakat dalam posisinya sebagai pejabat publik. Berarti ia mengalami defisit etika dan tidak siap menjadi pejabat publik. Apalagi tidak kompeten, tidak berintegritas, dan tidak memiliki kesadaran etis maka seharusnya jabatan tersebut, ditolak atau kembali diletakkan dengan cara mengundurkan diri.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Publik Indonesia