titastory, Maluku Tengah – Ketua DPRD Malteng, Herryman Karel Haurissa menegaskan tentang pentingnya pengakuan kedaulatan masyarakat adat termasuk hak atas tanah dan hutan oleh negara.
Penegasan itu disampaikan Haurissa dalam studi meeting yang digelar pada momentum Sidang Klasis GPM Telutih ke-46, mengusung tema, Advokasi Tanah, Hutan dan Masyarakat Adat, yang berlangsung di gedung Gereja Betheden Jemaat GPM Negeri Hatumete, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Maluku, Minggu (23/03), dilansir dari https://sinodegpm.id.
Sebagai narasumber dalam studi meeting, Ketua DPRD Malteng, Herryman Karel Haurissa, Dosen Fakultas Hukum Unpatti, Jemmy Pietersz, Wakil Sekretaris Umum (Sekum) Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode, Pdt Rudolf Rahabeat, dan moderator, Ketua Majelis Jemaat Piliana, Pdt Carlos Titahena.

“Negara harus mengakui kedaulatan masyarakat adat termasuk hak atas tanah dan hutan,”kata Haurissa.
Ia menegaskan bahwa masyarakat juga berhak melindungi warisan pusaka leluhurnya, termasuk adat istiadat.
Konstitusi juga telah mengamanatkan pembentukan UU Tentang Masyarakat Adat melalui pasal 188 ayat (2) UUD tahun 1945, yang menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara yang diatur dalam UU.
Sedangkan Jemmy Pitersz menekankan tentang pentingnya Peraturan Negeri (Perneg), agar dapat melindungi hak-hak masyarakat adat dalam menghadapi gempuran pembangunan dan investasi yang semakin masif.
Masyarakat adat kedepan juga akan menghadapi berbagai ancaman, seperti perampasan lahan, kriminalisasi dan deforestasi, karena lemahnya pengakuan pemerintah atas wilayah adat.
“Semua negeri yang ada dalam wilayah klasis Telutih harus memiliki peraturan negeri, ini penting agar hak dan kedaulatan adat, tanah dan hutan bisa terjaga,’ ungkapnya.
Ketua Panita Sidang Klasis GPM Telutih ke 46, Bennard Lilihata dalam kesempatan itu meminta agar pemerintah dan gereja harus memperhatikan keberadaan masyarakat adat di kawasan Seram Selatan.
“Kami meminta pemerintah dan gereja memperhatikan keberadaan masyarakat adat di Seram Selatan. Tanah dan Hutan kami adalah warisan leluhur yang akan kami jaga sampai kapan pun, “ kata Lilihata yang juga adalah Ketua Latupati Kecamatan Tehoru, dan Raja Negeri Hatumete.
Permintaan ini disampaikan bertepatan dengan perjuangan 10 negeri adat di Kecamatan Tehoru-Telutih, yang sedang mempertahankan tanah adat, hutan dan kebun mereka yang secara sepihak dimasukkan dalam kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) oleh Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH).
Pemasangan patok HPK ini menimbulkan keresahan, karena eksistensi dan ruang hidup masyarakat adat semakin terjepit.
Deklarasi penolakan telah dilakukan oleh hampir seluruh negeri yang ada di Kecamatan Tehoru. Mereka rencananya akan melakukan hearing dengan DPRD Malteng untuk menolak pemasangan patok HPK dan mendesak pengesahan Perda adat.
Dåalam acara seremonial agenda Tahunan GPM di Klasis Telutih, Ketua Klasis GPM Telutih Pdt, Handry Rehy dalam pidato pembukaan menegaskan tentang beberapa isu strategis, diantaranya isu lingkungan hidup, gerakan keluarga menanam dan memasarkan, masalah pendidikan dan masalah terkait era digital.
Penulis : Redaksi Editor : Dianthi Marta