Negara Jadi Satpam Perusahaan, Masyarakat Adat Wayamli Diterjang Gas Air Mata

02/05/2025
Foto tangkapan layar anggota Polisi yang diduga bekerja sebagai security PTS STS. Sumber: akun facebook @Ismu Al Teluk Buli'i

titastory, Halmahera Timur – Di kaki Gunung Memeli, aparat negara berganti seragam. Polisi berdiri sebagai satpam tambang, pejabat pemerintah menjabat sebagai humas perusahaan. Di tengah barisan aparat bersenjata lengkap, ratusan warga adat Wayamli dan Yawanli berjalan kaki menembus jalan berbatu menuju kantor perwakilan PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Desa Baburino, Kecamatan Maba Tengah, Maluku Utara.

Alih-alih disambut ruang dialog, aspirasi warga ditanggapi dengan tembakan gas air mata. Tuntutan mereka sederhana: cabut izin tambang PT STS, hentikan perusakan hutan adat, dan pulihkan kebun kelapa yang telah digusur tanpa persetujuan. Namun, yang mereka temui bukan meja musyawarah, melainkan barikade negara.

Julfikar Sangaji dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara menyebut situasi ini sebagai “kejahatan struktural”. “Polisi kini berdiri di sisi korporasi, bukan rakyat. Negara gagal menjalankan mandat konstitusional untuk melindungi masyarakat adat,” ujarnya.

Menurut catatan warga, PT STS telah beroperasi di wilayah hutan adat tanpa sepengetahuan pemilik hak ulayat. Berulangkali warga melakukan pelarangan dan blokade jalan tambang, namun operasi terus berjalan dengan pengawalan aparat. Warga juga menyebutkan bahwa beberapa anggota polisi aktif bertugas sebagai satpam perusahaan, sementara aparatur sipil daerah menjabat sebagai humas tambang.

Sorotan juga datang dari Ismu, aktivis lingkungan di Buli. Ia menuding sejumlah aparat kepolisian bertugas sebagai satpam perusahaan, sementara pejabat pemerintah daerah justru menjabat sebagai humas perusahaan.

“Mereka bukan lagi penegak hukum atau abdi negara, tapi sudah jadi pelayan perusahaan,” tulis Ismu dalam unggahannya di Facebook. Ia menyindir keberadaan figur ‘Marten’, yang disebut sebagai “putra mahkota Halmahera Timur” karena dilindungi oleh para elit dan aparat seperti anak raja.

“Kalau Marten bikin salah, tidak ada yang berani tegur. Orang tuanya, pejabat, dan aparat semua lindungi dia,” tulisnya, menyamakan posisi istimewa ini seperti ‘Gibran Rakabuming versi Haltim’.

Foto tangkapan layar anggota Polisi yang diduga bekerja sebagai security PTS STS. Sumber: akun facebook @Ismu Al Teluk Buli’i

Sindiran itu menggambarkan kedekatan dan kolusi antara perusahaan, aparat keamanan, dan elite pemerintah daerah yang menurutnya telah melahirkan figur-figur kebal hukum di tengah masyarakat.

Ismu, aktivis lingkungan dari Buli, menyebut kondisi ini sebagai “perkawinan kotor” antara aparat negara dan perusahaan. Ia menuding ada pembiaran dan keterlibatan aktif aparat keamanan dan birokrat dalam melanggengkan perampasan ruang hidup masyarakat adat.

“Ini bukan konflik biasa. Ini soal kehormatan warga adat dan pelanggaran terhadap hak konstitusional mereka,” katanya.

Puluhan aparat gabungan TNI-Polri terlihat menghadang aksi massa yang melakukan aksi protes pada Perusahan Tambang Nikel. PT. STS di Halmahera Timur, Senin (28/4/2025). Para demonstran merupakan masyarakat adat Wayamli dan Buli, Halmahera Timur.

Eksploitasi tambang nikel di Halmahera Timur, terutama oleh STS, bagian dari gelombang besar ‘Nickel Rush’ di Indonesia, didorong permintaan global untuk baterai kendaraan listrik. Ironisnya, produk yang digadang-gadang sebagai solusi hijau dunia justru menyisakan luka ekologis dan sosial di kampung-kampung adat yang jauh dari sorotan pusat.

Warga Wayamli dan Yawanli menolak tunduk. Mereka melawan dengan cara mereka—berjalan, menuntut, dan bertahan di tanah yang telah diwariskan turun-temurun. Mereka percaya, jika tanah adat hilang, maka hilang pula identitas dan masa depan anak cucu mereka.

error: Content is protected !!