titastory, Jakarta — Pernyataan Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Kristomei Sianturi, yang menyebut Abral Wandikbo sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan tewas karena jatuh ke jurang saat melarikan diri, menuai kecaman luas. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus HAM di Yuguru, Nduga, menyatakan pernyataan tersebut menyesatkan dan memperkuat praktik impunitas yang telah lama terjadi di Tanah Papua.
Dalam rilis resmi yang diterima redaksi, Jumat, 20 Mei 2025, koalisi menyebut klaim TNI justru mengaburkan tanggung jawab negara atas pelanggaran hak asasi manusia. Abral Wandikbo, menurut mereka, bukan anggota kelompok bersenjata, melainkan seorang petani berusia 27 tahun yang tinggal di Distrik Mebarok, Nduga. Ia dikenal warga sebagai sosok yang aktif membantu TNI dalam pembangunan kembali lapangan terbang Yuguru—sarana vital bagi masyarakat di wilayah terisolasi tersebut.

Theo Hesegem, salah satu aktivis HAM Papua yang tergabung dalam koalisi, menyebut Abral tidak fasih berbahasa Indonesia dan sehari-hari merawat ayahnya yang sakit. “Klaim bahwa ia menunjukkan lokasi senjata dan aktif dalam interogasi sangat tidak masuk akal,” ujarnya. Keterangan ini juga dikuatkan oleh pernyataan keluarga yang memastikan Abral bukan bagian dari gerakan pro-kemerdekaan Papua.
Penangkapan Abral terjadi pada 22 Maret 2025. Saat itu, aparat TNI melakukan penyisiran paksa ke rumah-rumah warga tanpa surat perintah, tanpa pendamping hukum, dan tanpa kehadiran ahli bahasa. Menurut kesaksian keluarga, Abral dipukuli dan dilucuti pakaiannya saat ditangkap di rumah. Keluarganya yang mencoba membela juga mendapat kekerasan fisik.
Selama dalam tahanan, keluarga tidak diberi akses untuk menemui Abral. TNI menjanjikan bahwa pemuda itu akan dikembalikan dalam keadaan hidup. Namun dua hari kemudian, jasadnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan: tubuh melepuh, telinga dan hidung dimutilasi, mulut rusak parah, serta tangan terikat kabel ties. Ia juga ditemukan mengenakan gelang bergambar bintang kejora yang tak pernah dikenakannya sebelumnya—menambah dugaan bahwa semua itu direkayasa.
Koalisi juga menyoroti lemahnya dasar tuduhan yang disampaikan TNI. Bukti-bukti yang diklaim—seperti foto seseorang memegang senjata tanpa wajah yang jelas, atau poster yang tak menunjukkan identitas, serta video helikopter—semuanya berasal dari media sosial yang bukan milik korban dan tidak pernah diverifikasi secara independen.
Kasus ini, tegas koalisi, adalah contoh nyata praktik pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) dan penyiksaan yang terus berulang di Tanah Papua. Tuduhan sepihak terhadap warga sipil sebagai bagian dari OPM kerap digunakan untuk membenarkan kekerasan yang terjadi. Praktik semacam ini didasarkan pada asumsi, bukan proses hukum yang sah, dan mencerminkan stigma rasial terhadap Orang Asli Papua.
Dalam negara hukum, tidak ada satu pun institusi yang berhak mengambil nyawa seseorang tanpa melalui proses peradilan. Koalisi menilai, sikap TNI yang menolak akuntabilitas hanya akan memperparah kekerasan, menghambat penyelesaian kasus, dan menutup jalan menuju keadilan. Narasi yang dibangun TNI, menurut mereka, adalah bentuk pengingkaran tanggung jawab.
Koalisi pun mendesak agar negara segera mengusut kasus ini secara independen dan menyeret semua pelaku ke pengadilan umum yang terbuka. Mereka juga meminta Komnas HAM menetapkan peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM berat dan segera memulai penyelidikan pro justitia. Negara juga diminta menghentikan pendekatan militeristik di Tanah Papua karena justru memperdalam luka kemanusiaan yang tak kunjung sembuh.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kasus HAM di Yuguru terdiri dari sejumlah organisasi hak asasi dan bantuan hukum, antara lain Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP), Amnesty International Indonesia, Biro Papua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), KontraS, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Asia Justice and Rights, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, PBHI, serta YLBHI.
Penulis : Redaksi