Jetty Diduga Ilegal, Aktivitas PT STS Jalan Terus: Penegak Hukum Bungkam

04/05/2025
Lokasi Operasi penambangan nikel oleh PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Desa Pekaulang, Kecamatan Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara. Foto: titastory

titastory, Halmahera Timur – Operasi penambangan nikel oleh PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Halmahera Timur, Maluku Utara, menuai sorotan tajam akibat dugaan pelanggaran hukum yang serius. Perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Esteel Enterprise PTE Ltd asal Singapura ini diduga melakukan pembangunan terminal khusus (jetty) di pesisir Memeli, Desa Pekaulang, Kecamatan Maba, tanpa izin lingkungan yang sah dan tanpa sosialisasi kepada masyarakat setempat.

Said Marsaoly, Ketua Salawaku Institute menjelakan rentetan peristiwa yang terjadi di Halmahera Timur ini dimulai pada 13 April 2025, saat PT STS mulai memobilisasi alat berat ke lokasi tersebut tanpa pemberitahuan kepada warga.

Menurutnya, pembangunan jetty ini tidak hanya menggusur kebun-kebun warga tanpa persetujuan, tetapi juga dilakukan tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang diwajibkan oleh undang-undang.

“Kepala Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Timur, Harjon Gafur, telah memerintahkan penghentian aktivitas pada 22 April 2025, perusahaan tetap melanjutkan proyeknya hingga 1 Mei 2025,” Ungkapnya.

Lokasi Operasi penambangan nikel oleh PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Desa Pekaulang, Kecamatan Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara. Foto: titastory

Kata Said, Warga yang terdampak menolak skema ganti rugi sepihak yang ditawarkan perusahaan sebesar Rp10.000–Rp15.000 per meter persegi, yang dianggap tidak layak. Proyek ini juga dikawal ketat oleh aparat kepolisian dan preman sewaan, menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat.

Selain itu, kata Warga Teluk Buli ini, PT STS ditengarai melanggar berbagai ketentuan hukum, termasuk Pasal 22, 36, 69, dan 109 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Pasal 385 KUHP tentang penyerobotan lahan. Perusahaan juga diduga menggunakan wilayah pesisir tanpa izin sesuai UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014, dan melanggar hak-hak masyarakat adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945.

Protes masyarakat adat Wayamli terhadap aktivitas PT STS telah berlangsung sejak 21 April 2025, dengan aksi blokade dan tuntutan penghentian operasi perusahaan. Namun, mediasi yang difasilitasi oleh pemerintah daerah pada 30 April 2025 gagal mencapai kesepakatan, dan perusahaan tetap melanjutkan aktivitasnya tanpa mengindahkan aspirasi warga.

Aktivitas Tambang Nikel yang merusak Sungai dan Tanaman Masyarakat Desa Pekaulang. Foto: titastory

Pemerintah dan Aparat Terkesan Abai

Pertemuan yang dimediasi oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur pada 30 April 2025 di Sofifi gagal menjawab substansi pelanggaran yang terjadi. Alih-alih menegakkan hukum, pertemuan tersebut terkesan hanya meredam kemarahan warga yang telah lama menyaksikan ketidakadilan di wilayah mereka.

Said Marsaoly, Ketua Salawaku Institute, mendesak Kepolisian Resor Halmahera Timur untuk segera menghentikan seluruh aktivitas ilegal PT STS, memasang garis polisi di lokasi proyek, dan menyita alat berat yang digunakan. Ia juga meminta agar proses hukum dijalankan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.Selain itu, Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan diminta untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap PT STS.

Lumpur Ore Nikel yang merusak Sungai dan Tanaman Pangan Milik Warga Desa Pekaulang, Kecamatan Maba, Halmahera Timur. Foto: titastory

“Kami mendesak Kepolisian Resor Halmahera Timur untuk segera mengambil tindakan tegas dengan menghentikan seluruh aktivitas ilegal PT STS, memasang garis polisi di lokasi proyek, serta menyita alat berat yang digunakan. Kami juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin dan operasional PT STS,” Tegas warga Teluk Buli ini.

error: Content is protected !!