titastory.id,namlea – Tolak keras hutan digunduli. Pohon ditumbangkan. Begitu pernyataan tegas dari warga dari Desa Waehatta, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru yang secara tegas menolak aktivitas Perusahaan PT Wainibe Wood Industries (PT. WWI). Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pemanfaatan hasil hutan kayu.
Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat adat ini lantaran hutan dianggap menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat.
Sumber perekonomian masyarakat juga akan terancam bila hutan ini hilang dieksploitasi secara masif untuk kepentingan bisnis PT WWI. Selain itu beberapa tempat seperti hutan ke hutan Waelo, Waepoli, Kakupoton yang dianggap sakral terancam hilang jika perambahan hutan terus dilakukan
Salah satu warga Desa Waehatta, yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan, masuknya PT WWI telah memporak porandakan tatanan kehidupan masyarakat adat, dan tidak menghargai keberadaan hukum adat yang hidup sebagai sistem nilai dalam semangat persaudaraan dari generasi ke generasi.
Tidak hanya perusahaan, pemerintah juga disinyalir ikut andil dalam melunturkan sistem nilai masyarakat adat di bumi Bupolo , lewat perizinan, sementara yang menggantungkan kehidupan tidak mengizinkan.
“Hadirnya perusahaan untuk menumbangkan pohon di hutan, sekaligus menumbangkan sistem kekerabatan, menciptakan konflik sosial berujung sengketa antar mata rumah Waefefut, Kakunussa dan Ebjali, “ kata sumber.
Dia bilang, hutan yang dirambah, kayu diambil jadi ancaman pada situs- situs sejarah leluhur yang masih diakui sakralitasnya. Masyarakat adat menjaga, namun dengan gambpng dirusakan oleh mereka yang tidak tahu adat.
Terangnya, penolakan dilakukan dengan cara prosesi sasi adat, namun kekuatan kearifan lokal itu pun dijebol dan terjadi pro kontra di masyarakat Diduga karena hasutan , sehingga meterai adat yang tersirat berupa sasi tak miliki harga. Simbol sasi adat dibuka paksa.
Lazimnya, sejak perusahaan bercokol dampak terasa berupa banjir tak terhindarkan.
“Hutan adalah biodiversitas, hutan adalah rumah. Bukan hanya manusia tetapi spesies flora dan fauna ada disana. Mereka kini terancam. Ancaman ketidak seimbangan menghantui dengan raungan mesin pemotong,” katanya.
Perempuan SASI, Feronika Nurlatu/Latbual kepada titastory.id, angkat bicara terkait ancaman ekspoloitasi hasil hutan akan mengancam ruang hidup masyarakat adat di sana. Bagi masyarakat adat, hutan adalah sumber kehidupan.
Jika hutan hancur menurut Fero, tanaman endemik dan tanaman umur panjang seperti pinang, cengkih, cokelat, vanili dan hasil kebun masyarakat juga akan hilang, begitu juga dampak pada kualitas air memicu masalah dimasa datang.
“Pohon ditebang, kayu diambil, terjadilah ketidak seimbang ekosistem sebab akan mengurangi kemampuan hutan menyerap karbon dioksida yang dinilai berkontribusi pada perubahan iklim,” ulasnya.
Tumbangnya pohon sebagai penyangga hutan picu pengikisan oleh air hujan. Sungai akan tercemar dan mempengaruhi kualitas air, sebab yang dibawa adalah sedimen karena akar pohon tak lagi memiliki kuasa sebagai penahan aliran air kala hujan tiba.
Analoginya, pohon adalah sumber mata air pertama. Disaat hujan menyirami bumi pohon bertindak sebagai penyaring awal yang membantu penyerapan ke dalam tanah, sehingga tersedia cadangan air tanah.
Air dari langit (hujan) mengalir melalui daun, ranting, dahan, batang, akar dan selanjutnya masuk melalui pori pori tanah atau infiltrasi.
Berbeda saat tak ada pohon. Proses infiltrasi lambat , tumbukan air hujan langsung ke permukaan tanah akan mengakibatkan percikan tanah sehingga pori pori bumi tertutup dan air hujan mengalir deras ke daerah rendah. Penyerapan tanah sangat kecil dan cadangan air tanah akan kurang.
“Konteksnya, hutan gundul, tidak ada penyerapan air, disaat hujan terjadi banjir, disaat panas terjadi kemarau,”tegasnya.
Dia pun meminta persoalan berkaitan dengan lingkungan tidak disepelekan, sebab lambat laun menyusahkan. (TS-03)
Discussion about this post