Aru Tenggelam Pelan-Pelan

09/04/2025
Pemukiman warga di kawasan jalan Dok-Siwalima, Dobo yang terendam banjir Rob, Selasa (1/4). Foto: titastory/Johan.
“Dampak perubahan iklim akhirnya menjadi ancaman nyata bagi warga di daerah pulau-pulau kecil seperti Kepulauan Aru,” ungkap David, saat menyaksikan air pasang merendam ratusan rumah warga di Kelurahan Galay Dubu, Kecamatan Pulau-Pulau Aru.

Waktu menunjukkan pukul 15.59. Sore itu, anak-anak kecil tampak riang bermain air laut yang meluap pada Selasa (1/4). Mereka tak menggubris ancaman perubahan iklim. Yang penting bagi mereka adalah menikmati banjir tahunan yang membasahi pemukiman seluas 600 hektar. Sementara para orang tua sibuk menyelamatkan barang-barang berharga dari genangan air.

Kawasan Siwalima-Dok, di bagian timur Kota Dobo, selalu kerepotan setiap kali air pasang melampaui batas normal. Pemukiman padat yang berdiri di bantaran Sungai Dok memperparah kondisi. Ironisnya, bagi sebagian warga, air pasang justru memudahkan urusan membuang sampah. Timbunan sampah plastik mengapung dan hanyut bersama arus laut, tanpa perlu dikumpulkan terlebih dahulu. Seolah laut adalah tempat sampah terakhir yang tak berujung. Tak jelas siapa yang patut disalahkan—warga yang kurang sadar akan pencemaran lingkungan, atau absennya sistem pengelolaan sampah yang memadai?

Sary Gaite (35), warga RT.007/RW.003, tinggal di kawasan padat yang dulunya masih ditutupi hutan mangrove. Kawasan ini kini dikenal sebagai Dok, yang telah dibuka untuk perluasan pemukiman. Perempuan berambut keriting dengan tinggi sekitar 170 cm itu menjadi salah satu korban banjir rob. Air pasang yang mulai terjadi sejak 29 Maret 2025 dan mencapai puncaknya pada 2 April, membuat Sary tak bisa meninggalkan rumah.

“Kalau air sudah naik seperti begini, berarti harus tinggal di rumah supaya barang-barang tidak hanyut terbawa air,” ujarnya.

Potret Pemukiman warga di Keluarahan Galay Dubu yang sudah hampir terendam banjir rob, Selasa (1/4). Foto: titastory/Johan.

Rumah panggung miliknya setinggi tiga meter di atas tanah biasanya aman dari air pasang. Tapi kali ini, rumahnya ikut terendam hingga setinggi 20 sentimeter. Barang-barang harus segera dipindahkan agar tidak terendam. Sambil menghela napas, ia berkata, “Kalau sudah jadi begini, ya hanya bisa terima. Mau bagaimana lagi, karena ini fenomena alam, tidak bisa dihalangi.”

Dalam laporan USAID Oktober 2019, disebutkan bahwa Kabupaten Kepulauan Aru termasuk wilayah yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kenaikan suhu udara dan laut sudah terlihat, disertai banjir dan badai yang semakin sering terjadi. Sektor-sektor seperti pertanian, perikanan, perhubungan, air bersih, dan pemukiman berada dalam ancaman langsung.

Sary menunjuk rumah tetangganya yang lebih rendah dari rumahnya. “Setiap air naik pasti terendam. Tapi kalau mau naikkan tiang rumah, biayanya besar, hampir sama dengan bangun rumah baru,” tuturnya.

Ratusan Rumah Warga di Kepulauan Aru terendam Banjir Rob. Foto: Ist

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aru menunjukkan, topografi Kota Dobo yang datar hanya berada pada ketinggian 2–9 meter di atas permukaan laut. Tak heran jika banjir rob mudah menggenangi pemukiman. Sampah-sampah dari berbagai arah kerap terseret arus, dan sulit untuk menyalahkan siapa pun. Sary hanya bisa mengais-ngais sampah di sekitar rumahnya dengan sebatang kayu. “Satu-satunya jalan, lebih baik pindah saja,” ujarnya.

Peta Kabupaten Kepulauan Aru

Di lorong menuju kompleks Dok, dari gapura hingga bagian belakang yang berjarak sekitar 200 meter, air setinggi 50 sentimeter memaksa siapa pun yang lewat untuk melipat celana hingga paha.

David Faturey (24), mahasiswa hukum semester tiga yang aktif dalam isu lingkungan di Kepulauan Aru, mengamini keresahan warga. “Kondisi ini tidak bisa dianggap sepele. Walaupun ini fenomena alami, warga harus mulai mengantisipasi. Jangan diterima begitu saja sebagai takdir hidup,” tegasnya.

David Faturey, ketika diwawancaria pada Jumat (4/4). Foto: titastory/Johan.

Bersama Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Aru, David mendorong kampanye penanaman mangrove sebagai salah satu bentuk mitigasi. Mereka telah beberapa kali melakukan penanaman mangrove secara swadaya, meski sering terhambat oleh keterbatasan biaya, terutama untuk membeli polibag dan perlengkapan lainnya. Saat ini, aksi itu pun terhenti.

David ingin menanam mangrove di sekitar tempat tinggalnya. Sayangnya, kepadatan pemukiman menjadi hambatan utama. Kalaupun berhasil ditanam, tanaman itu seringkali rusak akibat ekspansi rumah warga atau kurangnya pemahaman tentang pentingnya mangrove sebagai pelindung alami pesisir. Pulau Wamar, pusat administratif Kepulauan Aru dengan luas hanya sekitar 20 km², sangat bergantung pada keberadaan ekosistem ini.

Data citra penginderaan jauh dan peninjauan lapangan USAID menunjukkan luas ekosistem mangrove di Kepulauan Aru mencapai 1.923,82 km², tersebar di seluruh kecamatan. Kecamatan Pulau-Pulau Aru memiliki cakupan mangrove seluas 140,62 km². Namun, belum ada data pasti soal tingkat kerusakan, meski abrasi dan penebangan liar terus berlangsung.

Foto tangkapan layar dari peta data Global Forest Watch menunjukkan bahwa pada tahun 2001, Kepulauan Aru memiliki 614 ribu hektar hutan primer, namun pada 2023 kehilangan 178 hektar hutan primer, setara dengan emisi 140 ribu ton CO₂. Sumber: Global Forest Watch

Kajian tersebut juga memperkirakan bahwa pada tahun 2100, permukaan air laut akan naik sekitar 70–80 sentimeter secara global. Dampaknya mencakup genangan permanen, abrasi meningkat, dan intrusi air laut ke estuari serta lapisan air tanah.

“Kondisi daerah ini rendah sekali,” jelas David. “Kalau tidak segera dilakukan mitigasi, berarti tinggal tunggu waktu sampai kawasan ini tenggelam. Sebab setiap tahun permukaan laut terus berubah.”

Foto tangkapan layar dari peta data Global Forest Watch menunjukkan bahwa pada tahun 2001, Kepulauan Aru memiliki 614 ribu hektar hutan primer, namun pada 2023 kehilangan 178 hektar hutan primer, setara dengan emisi 140 ribu ton CO₂. Sumber: Global Forest Watch

Hingga saat ini, belum ada laporan kerugian besar akibat banjir rob, namun bagi David, peran pemerintah sangat krusial untuk merespon masalah ini. Mitigasi harus segera dilakukan untuk menyelamatkan wilayah yang dihuni oleh 43,12 persen dari total penduduk Kepulauan Aru, yang pada 2020 tercatat sebanyak 102.237 jiwa.

Ekosistem mangrove harus dipulihkan sebagai benteng alami terhadap air pasang. Ini sangat penting, mengingat karakteristik Kepulauan Aru yang datar dan terdiri dari pulau-pulau kecil, dengan hanya satu pulau besar berukuran 2.000 km². Daerah ini jelas rentan terhadap dampak perubahan iklim.

“Di hulu Sungai Dok masih ada kawasan mangrove,” harap David. “Semoga masyarakat bisa membatasi penebangan agar yang tersisa bisa menjadi penyangga terakhir, pembentuk ekosistem baru.”

Hamparan Hutan Mangrove di Aru Tengah. (Foto: Christ belseran)

Warga memang mengeluh rumah mereka tergenang. Tapi mereka juga masih bersyukur, pasang kali ini tak disertai angin kencang seperti sebelumnya. Jika keduanya terjadi bersamaan, wilayah pesisir barat yang langsung menghadap lautan lepas mungkin tak akan seberuntung sekarang.

Penulis: Johan Djamanmona
Editor : Christ Belseran
error: Content is protected !!