titastory.id, seram bagian barat – Sengketa lahan seluas 300 meter di lahan Nusa Batai antara Negeri Nuruwe dan Negeri Waesamu, Kecamatan Kairatu Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) memasuki babak baru.
Lokasi sengketa antar dua negeri bertetangga ini adalah lahan yang dipakai oleh PT Spice Islands Maluku (SIM) sebuah perusahaan yang bergerak pada usaha perkebunan pisang abaka.
Saling komplain itu sudah berlangsung lama, bahkan PT SIM pun berniat angkat kaki karena tidak mendapat restu dari masyarakat dari Negeri Waesamu yang mengaku sebagai pemilik lahan.
Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah dan masyarakat dari Negeri Nuruwe tak mau tinggal diam dan mengambil langkah tegas dengan menggelar agenda sumpah adat di atas lahan tersebut. Namun menariknya, sumpah adat ini tanpa kehaditan Waesamu sebagai pihak yang bersengketa.
Sumpah adat dikoordinir oleh Raja Negeri Nuruwe, Simon Matital, berlangsung di lokasi sengketa , jumat (12/09/2024) pukul 12.00 Wit.
Acara adat ini juga dihadiri oleh sejumlah tua adat di sembilan negeri di Kabupaten SBB. Kehadiran mereka kabarnya dipimpin oleh Meki Lumosol dari Negeri Neniari gunung. Sedangkan pemimpin sumpah adat oleh Musa Tukane.
Sumpah adat tanpa pihak Waesamu ini terkesan sepihak , meskipun dihadiri Raja dari 9 negeri dari rumpun Alune yang mendiami kawasan dataran batang air Sapalewa.
Ikut dalam agenda adat ini, Pemerintah Kabupaten SBB yang diwakili Asisten II Setda SBB Bidang Perekonomian dan pembangunan J. M. Soukotta. Ada juga Kabag Ops. Polres SBB AKP. Jafar Lessy, Danramil Kairatu Kapten Inf, Agung Prabowo, Kabag Hukum Pemda SBB Kasat Pol PP Pemda SBB, Kapolsek Kairatu Barat, Bhabinkamtibmas, Babinsa dan sejumlah personel Polsek, Polres dan anggota TNI AD, Ketua Majelis Jemaat GPM Nuruwe.
Disela sela acara sumpah adat tersebut, Asisten II Setda SBB Bidang Perekonomian dan pembangunan J. M. Soukotta yang diberikan kesempatan memberikan sambutan menjelaskan pada prinsipnya pemerintah daerah mendukung semua aktifitas yang dilakukan perusahaan karena dampak positif pada masyarakat.
Dia berharap permasalahan antar dua kampung bertetangga tersebut dapat diselesaikan secara damai.
“Agar semua permasalahan dapat diselesaikan secara damai, karena semua hal ini adalah dari kita dan untuk kita,” kata Soukotta.
Dia menjelaskan semua desa di SBB adalah saudara. Harapnya agar saling membantu menyelesaikan masalah sehingga tidak menimbulkan atau gejolak.
“Dari dahulu kita semua adalah orang saudara. Dengan adanya musyawarah akan ada mufakat,” ulasnya.
Dia pun menerangkan semua pihak jika memiliki niat baik maka segala sesuatu akan menjadi lebih baik.
“Dalam sebuah sumpah adat, barang siapa melanggar sumpah maka adat akan memakannya sendiri, sehingga jika sumpah sudah di lakukan jangan ada yang melanggar-nya,” tegasnya.
Dia pun berharap semua pihak bisa mencari solusi dan diselesaikan dengan damai.
“Titipan, segala sesuatu berasal dari masyarakat dan kembali kepada masyarakat. Sehingga jika semuanya bisa diselesaikan secara baik pemerintah akan memberikan apresiasi,” tutupnya.
Sumpah adat dikabarkan merupakan salah satu solusi dalam kaitan dengan kepemilikan lahan. Untuk diketahui, pemerintah dan masyarakat Waesamu menolak aktivitas PT SIM. Mereka meminta agar perusahaan ini untuk angkat kaki dari SBB. Penolakan ini tidak mendapat dukungan dari sejumlah desa dan negeri yang lain.
Sejumlah alibi berdatangan karena kehadiran PT SIM membawa dampak kepada ekonomi masyarakat. Adapun desa yang menginginkan PT SIM beroperasi adalah Desa Waihatu, Lohiatala, Hatusua, dan Kawatu. (TS-03)