• Di tengah birunya Laut Banda dan tenangnya desa-desa di Pulau Kei Besar, atau yang disebut juga Nuhu Yut oleh masyarakat adat, dentuman alat berat terdengar pelan namun pasti.
• Hamparan pasir dan batu yang dulu menjadi bagian dari lanskap suci dan lestari itu, kini mulai dikuras dalam skala besar.
titastory, Kepulauan Kei — Aktivitas penambangan pasir dan batu di Pulau Kei Besar, Maluku Tenggara, menuai kritik publik. PT Batulicin Beton Asphalt, anak usaha Jhonlin Group milik Haji Isam, diduga menjadi pelakunya.
Aktivitas penambangan pasir dan batu skala besar di Pulau Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara, menuai gelombang protes di media sosial. Warganet menyoroti dugaan keterlibatan PT Batulicin Beton Asphalt, anak perusahaan dari Jhonlin Group milik pengusaha Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. Penambangan yang disebut berlangsung di wilayah seluas sekitar 550 kilometer persegi itu dianggap mengancam lingkungan dan masa depan generasi Kei.
Diduga kuat, operasi tambang tersebut dilakukan oleh PT Batulicin Beton Asphalt (BBA), anak perusahaan dari Jhonlin Group, konglomerasi milik Haji Isam alias Andi Syamsuddin Arsyad, yang selama ini dikenal sebagai raja bisnis energi dan infrastruktur di Kalimantan.
Luasan lahan tambang dikabarkan mencapai lebih dari 550 kilometer persegi. Aktivitas tersebut mulai jadi sorotan sejak foto-foto ekskavator, truk pengangkut, hingga tongkang pengangkut material tambang beredar di media sosial, salah satunya lewat akun Facebook milik Fiky Key. Dalam unggahannya, Fiky menulis satir:

“Mati tanam di Bumi, harga diri tanam di Langit. Eh, tanahnya sudah dieksploitasi besar-besaran, jadi solusinya tanam di laut, mumpung luasnya lebih besar dari daratan.”
Hashtag seperti #GenerasiMakanpujiMaluku dan #PTBatulicin menjadi kanal kritik warga digital yang menggambarkan ketegangan batin masyarakat terhadap kerusakan lingkungan dan ketimpangan kuasa.
Komentar publik pun mengalir deras. Nanda Martsia Rahalus Namart menulis tajam:
“Gali saja sekalian putus pulau Kei Besar. Demi kesejahteraan orang-orang pintar yang jual lahan dan batu dengan harga 10 ribu per kubik. Mereka pikir uang itu bisa dipakai makan sampai 10 abad.”
Kritik lain datang dari Sarah Amelia Refo, yang meminjam metafora ibu untuk menggambarkan tanah:
“Tanah itu seperti Mama, setiap detik memberi makan anak-anaknya. Seorang Mama akan menangis ketika anaknya lapar karena tanahnya dimiliki orang lain.”
Sementara Wai Tofan menyorot lebih luas:
“Hampir semua wilayah Indonesia Timur dieksploitasi. Tapi sampai sekarang, daerah ini tak pernah maju.”
Bahkan suara ketakutan datang dari netizen seperti Marfyn Ohoiledjaan,
“Kalau Kei Besar dilihat di peta, itu cuma dua garis. Kecil. Kalau begini terus, tidak lama lagi kita semua tenggelam.”
Di tengah amarah dan sindiran publik, muncul juga refleksi spiritual. Yoseph Rahail menyebut banjir dan bencana di Kei Besar sebagai peringatan dari alam dan leluhur:
“Leluhur menjaga alam untuk anak cucunya, tapi anak cucunya malah menghancurkannya. Tuhan dan leluhur melihat semua ini.”
Penulis : Redaksi