titastory, Bajawa – Ribuan umat Katolik di seluruh Kevikepan Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, turun ke jalan dalam aksi damai memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Kamis, 5 Juni 2025. Mereka membawa salib, spanduk, dan doa, namun juga menyuarakan satu pesan keras: menolak proyek panas bumi Mataloko yang dinilai merusak bumi dan mengusir manusia dari tanahnya sendiri.
“Aksi ini bukan sekadar seremoni Hari Lingkungan Hidup, tapi panggilan iman untuk menjaga rumah bersama,” kata Romo Reginald Piperno, dari Tim Advokasi Gerakan Menolak Geotermal Keuskupan Agung Ende. Ia menyebut proyek PLTP Mataloko sebagai “luka ekologis yang terus dibiarkan menganga.”
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mataloko merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional yang digadang-gadang akan mengantar Pulau Flores menuju kemandirian energi. Namun, sejak pengeboran dimulai pada 1998, proyek ini justru menimbulkan malapetaka bagi masyarakat sekitar: semburan lumpur panas, kawah di ladang, hingga warga yang terpaksa mengungsi dari rumah mereka sendiri.
“Warga Mataloko dipaksa menjadi pengungsi di kampungnya sendiri,” ujar Romo Piperno. “Dan ketika operasi gagal, masyarakat yang harus menanggung kerugiannya seumur hidup.”

Menurut data yang dikutip dari berbagai media, hingga April 2025 proyek PLTP Mataloko telah rampung 79,57 persen: mencakup empat wellpad, gudang peralatan, dan jalan akses sepanjang 3 dari 7 kilometer. Di tengah penolakan publik, narasi pembangunan hijau terus dikumandangkan pemerintah. Namun, warga menyebut narasi itu menutupi ancaman nyata: udara beracun, atap rumah yang cepat keropos, tanah yang tercemar limbah B3, hingga hilangnya sumber air bersih.
“Jika ini terus dilanjutkan, negara akan berubah menjadi penjahat kemanusiaan,” kata Piperno lantang.
Pemerintah Daerah Bungkam
Selain mengecam proyek geotermal, massa aksi juga mempertanyakan sikap Bupati Ngada, yang dinilai abai terhadap aspirasi masyarakat. Pada 12 Maret 2025 lalu, perwakilan umat telah menyampaikan tuntutan resmi, namun hingga kini belum ada jawaban.
Aksi yang diinisiasi Keuskupan Agung Ende itu bukan hanya bentuk perlawanan terhadap proyek energi, tetapi juga kritik moral terhadap kebijakan pembangunan yang abai pada keberlanjutan dan suara rakyat kecil. Isu lain yang diangkat dalam aksi damai kali ini mencakup persoalan sampah plastik serta penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang telah merusak tanah dan mencemari air.
“Bumi ini sudah sakit karena keserakahan manusia. Saatnya kita bertobat secara ekologis,” ujar seorang biarawati di tengah long march.
Aksi Serentak di Seluruh Flores
Bajawa bukan satu-satunya yang bergerak. Di Flores, aksi serupa meletup di Ende, Nagekeo, dan Manggarai. Umat Katolik, aktivis lingkungan, petani, dan komunitas adat bersatu menyatakan sikap menolak proyek geotermal yang dianggap mengancam ruang hidup.
Di Ende, aksi dimulai dari Rumah Kevikepan. Vikaris Episkopal menjelaskan bahwa gerakan ini bukan anti-pembangunan, tapi seruan moral untuk menyelamatkan ekosistem yang kian rusak. Di Nagekeo, Forum Peduli Lingkungan Hidup menyampaikan kekhawatiran soal eksplorasi panas bumi yang bisa merusak sumber air bersih dan wilayah adat.
Sementara di Manggarai, para petani menyuarakan pentingnya mempertahankan praktik pertanian tradisional yang lebih ramah lingkungan dibanding pertanian kimia. Aksi juga diselingi kegiatan bersih lingkungan dan edukasi pengelolaan sampah plastik.
Flores Menolak Dilukai Lagi
Gerakan serentak ini menjadi simbol konsolidasi masyarakat Flores dalam mempertahankan ruang hidup yang sehat dan berkeadilan ekologis. Dalam semangat solidaritas dan iman, umat Katolik dan berbagai elemen masyarakat berharap suara mereka tak hanya bergema di altar gereja dan jalanan, tapi juga sampai ke telinga para pengambil kebijakan di Jakarta.
“Tanah kami bukan proyek. Bumi ini bukan komoditas. Ini rumah yang harus kami jaga,” ucap seorang peserta aksi, memegang salib dengan tanah yang mulai retak di sekitarnya.
