Program MBG Kembali Bermasalah, Koalisi Pemuda Desak Evaluasi Serius

08/05/2025
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan (BEM FIKES) Universitas Ibnu Khaldun Bogor bersama Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) mengadakan diskusi terbuka guna mengevaluasi efektivitas dan implementasi program MBG. Foto: Ist

titastory, Jakarta – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah pada awal tahun 2025 untuk mengatasi stunting dan malnutrisi kembali mendapat sorotan tajam. Kasus keracunan makanan yang terjadi di sejumlah daerah telah memicu kekhawatiran publik, khususnya terkait dengan standar keamanan pangan dalam pelaksanaan program ini.

Menanggapi hal tersebut, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan (BEM FIKES) Universitas Ibnu Khaldun Bogor bersama Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) mengadakan diskusi terbuka guna mengevaluasi efektivitas dan implementasi program MBG.

Nalsali Ginting, Advocacy Officer IYCTC, menilai bahwa meski masih terlalu dini untuk menilai keberhasilan program secara menyeluruh, pengawasan sejak awal perlu diperkuat sebagai bentuk kontrol dan keseimbangan dalam pelaksanaan.

“Tujuan program ini sangat mulia: membantu keluarga prasejahtera mendapatkan keringanan beban finansial, memberikan asupan makanan bergizi bagi anak-anak untuk menunjang prestasi belajar, sekaligus menggerakkan ekonomi UMKM,” ujar Nalsali, Senin (6/5/2025).

Namun, ia menekankan pentingnya penyesuaian menu makanan dengan kearifan lokal dan karakteristik wilayah sasaran. Menurutnya, pendekatan kontekstual terhadap budaya makan masyarakat menjadi kunci keberhasilan adaptasi program.

“Indonesia memiliki kekayaan pangan yang luar biasa. Di daerah pesisir, misalnya, konsumsi ikan menjadi prioritas, sementara di wilayah pedalaman, sumber karbohidrat bisa berupa ubi, kentang, atau sagu, bukan nasi. Menu MBG harus selaras dengan realitas lokal,” jelasnya.

Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi stunting di Indonesia masih berada di angka 21,6%, yang berarti 1 dari 5 anak Indonesia mengalami kondisi tersebut. Ini menjadi hambatan serius dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

Suasana pembagian makanan gratis oleh personil TNI dari Kodam XV Pattimura kepada para pelajar MTS Al Muhajirin, Waiheru Ambon, Senin (6/1). Foto: Pendam XV Pattimura

Nalsali juga menggarisbawahi pentingnya peran keluarga dalam mendukung keberhasilan program. Ia mengajak para orang tua untuk tidak sepenuhnya bergantung pada MBG, melainkan tetap menjaga pola makan sehat di rumah dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak.

“Jangan sampai anak sehat di sekolah karena MBG, tapi di rumah justru terpapar asap rokok dari orang tuanya. Kita tahu, paparan asap rokok bisa berdampak negatif pada tumbuh kembang anak, belum lagi gangguan konsentrasi saat belajar,” tambahnya. Ia berharap bantuan MBG juga dapat meringankan pengeluaran keluarga sehingga bisa dialihkan untuk pemenuhan gizi dan pendidikan anak.

Sementara itu, Nailah Alifah Auliyaa, Kepala Departemen Keilmuan dan Pendidikan BEM FIKES Universitas Ibnu Khaldun Bogor, menekankan pentingnya regulasi dan standar operasional prosedur (SOP) dalam pelaksanaan program MBG. Ia menyebutkan bahwa tanpa payung hukum yang jelas, pelaksanaan, distribusi, dan evaluasi program akan sulit terkontrol, termasuk dalam aspek keamanan pangan.

“Program ini harus dilengkapi dengan SOP yang memastikan dapur produksi higienis dan berkualitas. Pengawasan terhadap pekerja dapur juga penting agar tidak ada paparan zat berbahaya, seperti rokok. Residu asap rokok bisa menempel pada permukaan dan mencemari makanan,” ujar Nailah.

Ia merujuk pada data yang menunjukkan lebih dari 1.000 kasus keracunan makanan terkait MBG, dengan Jawa Barat mencatat jumlah tertinggi. Nailah mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh dan memperkuat sistem keamanan pangan.

“Pemerintah harus sadar bahwa mencegah satu kasus pun sangat penting. Ini bukan sekadar soal persentase keberhasilan 99,99%, tetapi soal nyawa dan kesehatan individu yang tak boleh dikompromikan,” tegasnya.

Selain itu, Nailah mendorong agar alokasi anggaran MBG difokuskan pada kelompok paling rentan, terutama dalam fase 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), seperti ibu hamil dan balita. Menurutnya, pendekatan ini lebih berdampak nyata ketimbang menjadikan MBG sebagai program simbolik belaka.

error: Content is protected !!