Mendesak Payung Hukum untuk Masyarakat Adat: Menafsir Hak-Hak Tradisional dalam Konstitusi

19/04/2025
Masyarakat Adat Negeri Hatumete yang berada di Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) Maluku, yang telah menggelar ritual sasi tanah adat, atau yang dikenal dengan sebutan Anapoha Kaitahua, pada Senin (17/2) lalu. Foto : titastory.id

titastory, Jakarta – Lebih dari dua dekade setelah amandemen UUD 1945, pengakuan terhadap masyarakat adat di Indonesia masih berjalan tertatih-tatih. Frasa “hak-hak tradisional” yang termuat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 belum kunjung menemukan tafsir yang utuh dalam kerangka hukum nasional. Dalam ruang kekosongan itu, masyarakat adat terus berjuang sendiri mempertahankan ruang hidup, budaya, dan kearifan lokal mereka.

Diskusi publik bertajuk “Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat dan Urgensinya terhadap Upaya Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat” yang digelar oleh Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Kamis, 17 April 2025, menjadi cermin dari kegelisahan itu. Di tengah dorongan agar negara hadir lebih tegas, para pembicara menegaskan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah jalan keluar paling masuk akal untuk mengatasi ketimpangan perlindungan hukum terhadap masyarakat adat.

“RUU ini adalah perintah konstitusi, bukan sekadar aspirasi kelompok minoritas. Tanpa payung hukum yang kuat, pengakuan terhadap masyarakat adat akan selalu bersifat sektoral, inkonsisten, dan rawan disalahgunakan,” ujar Rina Mardiana, akademisi dari IPB University dalam diskusi tersebut.

Menurut Rina, masyarakat adat bukan sekadar “komunitas lokal” seperti yang selama ini didefinisikan dalam sejumlah kebijakan pembangunan. Mereka adalah masyarakat otokton yang secara historis memiliki hubungan erat dengan wilayah geografis tertentu, dengan sistem nilai, hukum adat, dan budaya yang berbeda dari masyarakat dominan.

“Mereka bukan pecahan kerajaan atau bagian dari negara. Mereka adalah entitas berdaulat yang hak-haknya melekat secara kolektif dan turun-temurun,” tegasnya.

Bentuk penolakan oleh masyarakat adat Negeri Saunalu terkait pemasangan patok Hutan Produksi Konfersi (HPK) di wilayah petuanan Adat mereka. Foto : titastory.id

Frasa “hak tradisional” sendiri merupakan hasil kompromi dalam sidang-sidang perubahan UUD 1945. Erwin, dari Perkumpulan HuMa, yang juga tergabung dalam koalisi, menjelaskan bahwa tidak adanya definisi eksplisit dalam risalah amandemen adalah cerminan kehati-hatian para penyusun konstitusi agar makna hak tradisional tetap fleksibel dan tidak dibatasi secara sempit oleh logika hukum modern.

Namun justru di sinilah letak masalahnya. Ketika tafsir “fleksibel” tidak disertai regulasi konkret, masyarakat adat terus diposisikan dalam ruang abu-abu: mereka diakui secara konstitusional, namun hak-haknya tak terlindungi secara faktual.

“Pemerintah punya kewajiban untuk memperjelas, menegaskan, dan melindungi hak-hak tersebut dalam bentuk undang-undang. Dan itu harus dijabarkan secara substansial, bukan administratif,” kata Erwin.

Ketiadaan regulasi nasional menyebabkan masyarakat adat kehilangan akses atas ruang hidup mereka sendiri. Di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, komunitas adat terancam kehilangan sumber daya agraria karena tak punya dasar hukum yang diakui negara. “Kami dijadikan penghambat pembangunan hanya karena mempertahankan tanah leluhur,” ujar Triawan Umbu Uli Mekahati dari Koppesda Sumba.

Ia menambahkan, masyarakat adat di sana telah lama menerapkan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan melalui musyawarah adat. Namun, tanpa regulasi, praktik baik itu tidak memiliki legitimasi di mata negara.

Situasi serupa juga terjadi di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Harnilis, tokoh adat Dayak Meratus, menyuarakan kekhawatiran atas rencana pemerintah menetapkan wilayah adat mereka sebagai taman nasional. “Kami bukan menolak konservasi, tapi jangan jadikan konservasi sebagai alasan mengambil tanah adat kami,” ujarnya.

Potret Masyarakat adat Meratus, Foto: Dony.

Harnilis menegaskan bahwa bagi masyarakat adat, hutan bukan hanya tempat tinggal atau sumber ekonomi. “Hutan adalah bagian dari jiwa kami. Jika hutan hilang, maka lenyap pula identitas kami,” katanya.

Ia menambahkan bahwa pelestarian lingkungan di Meratus selama ini justru dijaga lewat kolaborasi antara laki-laki dan perempuan, tua dan muda. “Tidak ada yang lebih penting dari yang lain. Kami saling melengkapi dan itulah kekuatan kami,” tambahnya.

Situasi-situasi tersebut menunjukkan bahwa ketiadaan RUU Masyarakat Adat adalah pengabaian terang-terangan terhadap mandat konstitusi. Negara tak hanya lalai melindungi, tapi juga secara tidak langsung membiarkan ketidakadilan sistemik berlangsung.

Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) per April 2025 menunjukkan bahwa dari lebih dari 26 juta hektare wilayah adat yang teridentifikasi, baru 2 juta hektare yang mendapat pengakuan formal. Angka itu mencerminkan stagnasi dan fragmentasi kebijakan di tengah pesatnya ekspansi investasi sektor sumber daya alam.

“Selama belum ada UU, pengakuan hanya akan tergantung pada goodwill kepala daerah atau menteri. Itu berbahaya,” tegas Erwin.

RUU Masyarakat Adat diharapkan tidak hanya menjadi regulasi administratif, tetapi juga instrumen pemulihan hak konstitusional dan alat rekonsiliasi nasional antara negara dan masyarakat adat. Dalam draft usulan koalisi, RUU ini memuat pengakuan kolektif atas identitas, wilayah, kelembagaan, hingga sistem hukum masyarakat adat.

Namun tantangannya besar. Di Senayan, RUU ini telah masuk dalam Prolegnas sejak 2009 dan hingga kini belum disahkan. Sementara di lapangan, perampasan wilayah adat terus terjadi, kriminalisasi meningkat, dan kebijakan konservasi kerap bertabrakan dengan realitas sosial komunitas adat.

Yulia Pihang dari Solidaritas Kuasa Hukum Masyarakat Adat menyebut, “Jika DPR dan Pemerintah masih enggan mengesahkan RUU ini, maka mereka sama saja mengingkari UUD 1945. Negara tidak boleh kalah dari korporasi.”

RUU Masyarakat Adat adalah cermin dari keseriusan negara dalam menjunjung keadilan sosial. Dan seperti kata Harnilis, “Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”

Penulis: Johan Djamanmona
error: Content is protected !!