TitaStory, Ambon – Jusuf Kalla (JK) (Wakil Presiden Indonesia) ketika mewakili pemerintah Indonesia berpidato dalam Sidang ‘Majelis Umum – Perserikatan Bangsa-Bangsa’ (MU-PBB) yang ke 74 di ‘New York’ (Amerika Serikat) pada hari Jumat, tanggal 27 September 2019, menyatakan, bahwa : “….. Di usia PBB yang ke 74 ini, Indonesia mengkhawatirkan banyak komitmen Piagam PBB yang tidak dilaksanakan atau bahkan dilanggar oleh negara anggota PBB. Salah satu di antaranya adalah komitmen penghormatan terhadap kedaulatan negara lain. ….. Komitmen ini harus dihormati, saya ulangi, harus dihormati …..”. intinya, JK meminta negara anggota PBB untuk menghormati kedaulatan dan integritas teritorial Indonesia.
Setelah sebelumnya, sebagaimana yang dilansir oleh media online CNN Indonesia pada hari selasa, tanggal 29 Januari 2019 – dalam menanggapi tuntutan referendum di Papua – JK menyatakan, bahwa : “senjata bicara, jika dialog gagal”. Faktanya adalah, senjata sudah bicara sebelum dialog dimulai. Fakta ini sudah berlangsung sejak tahun 1961 yang hingga saat ini telah menelan korban sebanyak hampir kurang lebih 20.000 (dua puluh ribu) jiwa manusia Papua. ….. Bahkan – bukan sesuatu yang tidak mungkin – akan bertambah lagi korban jiwa manusia Papua di tahun 2020 ini ….. dan ditahun-tahun mendatang.
Perihal tersebut diatas dapat dikatakan demikian sebab Presiden Indonesia, ‘Joko Widodo’ (Jokowi) pada hari Selasa, tanggal 30 September 2019, baru menyatakan kesiapan Pemerintah Indonesia untuk bertemu tokoh Pro Referendum Papua. Itupun baru sebatas bertemu saja, seperti kata Jokowi : “Tidak masalah, bertemu saja kok” (belum dialog). Pertemuan dimaksud barulah sebatas wacana belaka, yang belum tentu terlaksana juga. Sementara itu – di tanah Papua – korban berjatuhan di mulut senjata yang terus bicara atas/nama : KEDAULATAN.
Revolusi Untuk Kedaulatan
Tidak hanya di Papua, korban jiwa manusia berjatuhan atas/nama kedaulatan. Tetapi sejak Koesno Sosrodihardjo alias Sukarno membentuk Indonesia sebagai suatu negara yang ber-kedaulatan, maka sejak itu pula korban jiwa manusia terus berjatuhan atas/nama kedaulatan. Dimulai dengan pembantaian terhadap orang-orang Ambon, Menado, Timor dan Indo yang oleh orang-orang Indonesia disebut sebagai ANJING-ANJING BELANDA dan/atau NICA.
Perihal tersebut di atas merupakan suatu konsekwensi logis dari suatu negara bernama Republik Indonesia yang kedaulatannya dibangun melalui jalan REVOLUSI Sekalipun berlawanan dengan ketentuan hukum internasional, dan tidak melalui jalan ‘PLEBISIT’ (Plebiscite) sebagaimana telah ditetapkan dalam hukum internasional sebagai suatu persyaratan (Starke, J. G.(2008)Pengantar Hukum Internasional I. Jakarta: Sinar Grafika, h. 224).
Kemerdekaan Indonesia yang dibangun melalui jalan Revolusi adalah sebagaimana dinyatakan oleh Tan Malaka dalam tulisan berjudul ‘Menuju Republik Indonesia’ (Naar de Republiek Indonesia) yang diterbitkan pada tahun 1925, bahwa : “Revolusi Indonesia bersifat revolusi nasional yang bertujuan untuk merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah Belanda”.
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas pula, Dr. Aidul Fitriciada Azhari menyatakan dalam halaman 12 dari buku berjudul UU Dasar 1945 Sebagai Revolutiegrondwet, Tafsir Postkolonial Atas Gagasan-Gagasan Revolusioner Dalam Wacana Konstitusi Indonesia yang diterbitkan di Yogyakarta pada tahun 2011 oleh penerbit Jalasutera, bahwa : “Gagasan pokok Revolusi ‘nasional’ (Indonesia–Penulis) pada dasarnya adalah ‘Dekolonisasi’ (Decolonization), yaitu penghancuran sistem kolonial dan menggantinya dengan sistem nasional”.
Sementara itu, proses dekolonisasi menurut ketentuan Hukum Internasional adalah sebagaimana yang diatur dalam Piagam PBB : Bab I, Pasal 1, ayat (2); Bab IX, Pasal 55; Bab XI, Pasal 73 – 74; Bab XII, Pasal 75 – 85; dan Bab XIII, Pasal 86 – 91; serta Resolusi MU-PBB tanggal 12 Desember 1958 tentang ‘Hak Untuk Menentukan nasib Sendiri’ (the Right of Self Determination) maupun Deklarasi mengenai Dekolonisasi yang tidak menghendaki REVOLUSI sebagai cara pelaksanaan dekolonisasi, tetapi menghendaki PLEBISIT sebagai mekanisme implementasi Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri dari rakyat dalam wilayah yang di-dekolonisasi.
Meskipun PLEBISIT sebagai mekanisme implementasi Hak Untuk Menentukan nasib Sendiri dari rakyat dalam wilayah Hindia-Belanda telah disepakati dalam perjanjian : Linggarjati (1946), Renville (1948), dan perjanjian-perjanjian yang dihasilkan dalam ‘Konperensi Meja Bundar’ (KMB) (1949); bahkan dalam Konstitusi ‘Republik Indonesia Serikat’ (RIS) (1950); tetapi Sukarno memutuskan jalan REVOLUSI sebagai satu-satunya pilihan untuk menegakkan kedaulatan Indonesia yang justeru mengingkari kesepakatan Sukarno sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang Sukarno sendiri telah setujui sebagaimana tersebut di atas.
Pengingkaran Sukarno tersebut di atas – kalau kita tidak ingin menyebutnya sebagai suatu pengkhianatan – adalah sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Sukarno dalam pidato berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita yang diucapkan di Jakarta pada hari Senin, tanggal 17 Agustus 1959, bahwa : “Nyatalah mereka tidak mengerti bahwa Revolusi justeru mengingkari ‘aksara!’ (perjanjian internasional dan/atau perjanjian-perjanjian tersebut di atas-Penulis)”.
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas, Mohammad Hatta dalam halaman 203 dari buku berjudul Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977) yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2015 oleh penerbit Kompas,menyatakan sikapnya yang sejalan dengan Sukarno, bahwa :“Revolusi tidak terhitung dengan bilangan yuridis-formal, melainkan dengan tenaga dan kekuatan yang ada”.
Dengan mengabaikan jalan Plebisit dalam menegakkan Kedaulatan Indonesia, maka Sukarno dan kawan-kawan telah menolak jalan DAMAI, suatu jalan yang menjadi salah satu dari 7 (tujuh) prinsip Hukum Internasional (raison d’etre) sebagaimana tersebut dalam Pasal 2, ayat (3) Piagam PBB. Sebaliknya, Dengan mengambil jalan REVOLUSI dalam menegakkan Kedaulatan Indonesia, maka Sukarno dan kawan-kawan telah mengambil jalan PEDANG, suatu jalan KEKERASAN yang belum selesai hingga saat ini – dan sesudah ini.
REVOLUSI BELUM SELESAI, adalah pernyataan Sukarno sendiri dalam pidato berjudul Laksana Malaikat Menyerbu Dari Langit, Jalannya Revolusi Kita yang diucapkan di Jakarta pada hari Rabu, tanggal 17 Agustus 1960, bahwa : “Ada orang-orang yang tidak mengerti logika Revolusioner. Itulah orang-orang yang di tengah jalan berkata : Revolusi sudah selesai. Padahal REVOLUSI BELUM SELESAI, dan masih berjalan terus, terus, dan sekali lagi terus”. Dan konsekwensi dari suatu REVOLUSI, adalah : “REVOLUSI MEMAKAN ANAK KANDUNGNYA SENDIRI”.
Revolusi memakan anak kandungnya sendiri tidak sekadar merupakan suatu kalimat kosong belaka, tetapi benar-benar terjadi dalam sejarah Indonesia. Perihal ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Almarhum Munir Said Thalib dalam kesempatan dengar pendapat di Kementerian Negara Urusan ‘Hak Asasi Manusia’ (HAM) Republik Indonesia pada hari Jum’at, tanggal 28 April 2000, bahwa : “Negara telah menghilangkan sedikitnya 16.000 (enam belas ribu) orang selama Orde Baru”.
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas pula, E. Armada Riyanto menyebutkan dalam halaman 98 dari buku berjudul Berfilsafat Politikyang diterbitkan di Yogyakartapada tahun 2014 oleh penerbit Kanisius, sejahrawan Ong Hok Ham menyatakan, bahwa : “Korban kekerasan selama 35 (tiga puluh lima) tahun terakhir – masa orde baru hingga menjelang reformasi – jumlahnya jauh lebih besar dari korban-korban selama 300 (tiga ratus) tahun penjajahan Belanda”.
Kemanusiaan Ditangan Kedaulatan
Dalam prakteknya, Konsep kedaulatan negara disusun melalui perjanjian perdamaian Westphalia pada tahun 1684 yang mengakhiri konflik keagamaan di Eropa dan menghasilkan ketentuan baru hukum internasional yang mendasari terbentuknya sistem negara modern. Dasar dari sistem negara modern adalah pengakuan atas karakter berdaulat dari suatu negara bangsa dan menolak adanya campur tangan pihak luar dalam masalah internal suatu negara (Rositawati, Dian (2009) Kedaulatan Negara Dalam Pembentukan Hukum Di Era Globalisasi. Hukum Yang Bergerak Tinjauan Antropologi Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, h. 47).
Namun demikian, pengertian kedaulatan tersebut di atas selalu dilebih-lebihkan pemakaiannya. Perihal ini dapat disebut demikian karena adanya berbagai usaha dari negara-negara Asia, Afrika, dan Negara-negara Sosialis dan/atau Komunis yang terlalu menonjolkan arti dan peranan kedaulatan negara dalam hubungan internasional (Syahmin A. K.(1992)Hukum Internasional Publik Dalam Kerangka Studi Analitis 1. Bandung: Binacipta,h. 7).
Sejak dimulainya perang dingin pada tahun 1950 hingga berakhirnya perang dingin di tahun 1989 – hampir kurang lebih 39 (tiga puluh sembilan) tahun lamanya – telah muncul banyak pemerintahan rezim otoriter dengan tangan besi dan militeristik pada hampir sebagian besar negara di dunia terutama pada negara-negara baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin, yang memerdekakan diri mereka dari ‘penjajahan’ (colonization), cenderung melakukan pelanggaran HAM(Awaludin, Hamid (2012) HAM, Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional. Jakarta: Kompas, h.44).
Data statistik menunjukkan bahwa, pada era 1980-an telah terjadi hampir kurang lebih 300.000 (tiga ratus ribu) kasus pelanggaran HAM oleh rezim otoriter terhadap warga negaranya sendiri yang diadukan melalui mekanisme PBB. Perihal ini merupakan akibat dari sebab masih menguatnya paham ‘menolak campur tangan’ (non intervention) atau paham ‘kedaulatan negara secara mutlak’ (absolute sovereignty of state), yang ditafsirkan bahwa apapun yang dilakukan negara dalam ‘wewenang hukumnya’ (domestic jurisdiction) tidak boleh dicampuri oleh pihak luar (Awaludin, 2012: 44).
Di Indonesia sendiri, meskipun kekuasaan rezim otoriter ‘Orde Baru’ (ORBA) dibawah pimpinan Jenderal Besar ‘Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat’ (TNI-AD) Muhammad Suharto telah diakhiri oleh gerakan Reformasi pada tahun 1998, namun peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dalam Orde Reformasi jumlahnya tidak menurun tetapi justeru mengalami peningkatan.
Disepanjang tahun 2015 saja, ‘Komisi Nasional’ (KOMNAS) HAM Indonesia telah menerima sebanyak hampir kurang lebih 7.000 (tujuh ribu) laporan kasus pelanggaran HAM dari masyarakat Indonesia, dimana Kepolisian Indonesia merupakan lembaga negara yang paling banyak melakukan tindakan pelanggaran HAM di Indonesia.
Tindakan pelanggaran HAM paling akhir yang diketahui dilakukan oleh aparat Kepolisian Indonesia adalah pada bulan September tahun 2019 di ‘Kendari’ (Sulawesi Tenggara), dimana aparat kepolisian Indonesia melepaskan tembakan peluru tajam kearah kumpulan mahasiswa dalam suatu demonstrasi damai yang menewaskan 2 (dua) orang mahasiswa dari Universitas Halu-Oleo, yaitu : Muhammad YusufQardawi dan Imawan Randy.
Sementara itu, dalam aksi #reformasidikorupsi di Jakarta pada hari Selasa, tanggal 24 September 2019 sampai/dengan tanggal 30 September 2019, aparat kepolisian Indonesia melakukan penganiayaan terhadap 3 (tiga) orang mahasiswa yang berakhir dengan tewasnya ketiga orang mahasiswa tersebut. Mereka itu, adalah : Maulana Suryadi, Bagus Putera Mahendra, dan Akbar Amasyah.
Keseluruhan kasus pelanggaran HAM di Indonesia tersebut di atas, termasuk ribuan kasus pelanggaran HAM-Berat di Indonesia pada masa lalu, tidak pernah diselesaiakan secara tuntas oleh Pemerintah Indonesia hingga saat sekarang ini, sekalipun ketentuan mengenai HAM telah diatur dalam BAB XA tentang HAM, Pasal 28A sampai/dengan Pasal 28J ‘Undang-Undang Dasar’ (grondwet)Indonesia melalui amandemen kedua dari ‘Undang-Undang Dasar’ (UUD) Indonesia yang disahkan pada hari Jum’at, tanggal 18 Agustus 2000.
Demikian juga dengan janji pemerintah Indonesia pada bulan Januari tahun 2019 untuk memberikan izin mengunjungi Papua kepada ‘Michelle Bachelet’ (Komisioner Tinggi HAM-PBB) yang sampai dengan tulisan ini diterbitkan, izin mengunjungi Papua tidak kunjung diberikan oleh pemerintah Indonesia kepadaMichelle Bachelet. Meskipun Sidang MU-PBB ke 74 di ‘New York’ (Amerika Serikat) pada bulan September tahun 2019, telah menetapkan Papua sebagai salah satu dari 8 (delapan) wilayah konflik di dunia yang perlu mendapat perhatian serius PBB.
Atas dasar fakta tersebut di atas, dapat disebutkan dengan kata lain bahwa, pemerintah Indonesia secara konsisten masih tetap mempertahankan dan melaksanakan paham ‘menolak campur tangan’ (non-intervention) atau paham ‘kedaulatan negara secara mutlak’ (absolute sovereignty of state), yang ditafsirkan bahwa apapun yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam ‘wewenang hukumnya’ (domestic jurisdiction)tidak boleh dicampuri oleh pihak luar sebagaimana praktek sebagian besar negara di dunia terutama negara-negara baru merdeka dari ‘penjajahan’ (colonization)di Asia, Afrika dan Amerika Latin yang cenderung melakukan pelanggaran HAM.
Perihal tersebut di atas telah membuktikan dengan sendirinya akan pemakaian pengertian kedaulatan yang dilebih-lebihkan oleh pemerintah Indonesia, sebagaimana praktek negara-negara Asia, Afrika, dan negara-negara Sosialis dan/atau Komunis seperti China dan Korea Utara yang terlalu menonjolkan arti dan peranan kedaulatan negara dalam hubungan internasional.
Terhadap praktek kedaulatan oleh negara-negara sebagaimana tersebut di atas – termasuk Indonesia – Rositawati (2009: 47)menyatakan, bahwa : “Kedaulatan yang pada awalnya ditujukan sebagai rujukan bagi pembentukan hukum dalam suatu negara. Namun kemudian kedaulatan itu sendiri telah di-interpretasikan oleh sebagian orang sebagai kapasitas hukum yang menempatkan kewenangan negara di atas semua kewenangan hukum di luar negara”.
Pada awal mula penggunaannya oleh para pemikir dalam bidang politik, hukum, dan ketatanegaraan, kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan tertinggi yang mutlak, utuh, bulat, tidak dapat dipisah-pisahkan atau dibagi-bagi, dan oleh karena itu tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain (absolute sovereignty of State)(Parthiana, I Wayan (2003) Pengatar Hukum Internasional. Bandung, Mandar Maju, h. 90).
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, ternyata makna kedaulatan, khususnya kedaulatan negara, mengalami perubahan. Kedaulatan tidak lagi seperti dalam pengertian di atas, melainkan dalam batas-batas tertentu sudah tunduk pada pembatasan-pembatasan. Pembatasan-pembatasan itu tiada lain dan tiada bukan adalah dari hukum internasional maupun oleh kedaulatan sesama negara itu masing-masing (relative sovereignty of State)(Parthiana, 2003 : 90).
Relative Sovereignty of State dapat terlihat dalam peristiwa pemberian penghargaan Sir Ronald Wilson Human Rights Award dari ‘Australian Council for International Development’ (ACFID) kepada ‘Veronika Koman’ (Pengacara Aliansi Mahasiswa Papua) di ‘Sidney’ (Australia) pada hari Rabu, tanggal 23 Oktober 2019. Dimana ACFID menilai Veronika telah mengorbankan dirinya sendiri untuk terus melaporkan pelanggaran HAM di Papua, meski mendapat ancaman dan intimidasi.
Penghargaan tersebut di atas diberikan setiap tahun kepada individu dan organisasi yang telah memberikan kontribusi luar biasa untuk meningkatkan HAM. Direktur Eksekutif ACFID, Marc Purcell menyatakan, bahwa : “Penghargaan ini mewakili kekuatan dan keberanian semua orang yang telah membela HAM orang Papua. Penghargaan ini diberikan kepada Veronika untuk mewakili semua mereka yang terus berupaya agar HAM selalu dilindungi dan ditegakkan”.
Masalahnya adalah bahwa, penghargaan tersebut diatas diberikan oleh ACFID kepada Veronika Koman ketika status hukum Veronika di Indonesia sendiri adalah sebagai tersangka dugaan provokasi dan penyebaran informasi bohong insiden asrama mahasiswa Papua di ‘Surabaya’ (jawa Timur) oleh Kepolisian Indonesia Daerah Jawa Timur. Pihak Kepolisian menjerat Veronika dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang, nomor : 11 tahun 2008 tentang ‘Informasi Dan Transaksi Elektronika’ (ITE), dan ‘Kitab Undang-Undang Hukum Pidana’ (KUHP) maupun Undang-Undang, nomor : 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Bahkan nama Veronika Koman telah dicantumkandalam ‘Daftar Pencarian Orang’ (DPO) yang diterbitkan oleh pihak Kepolisian Indonesia setelah sebelumnya pihak kepolisian Indonesia telah memblokir akun media sosial dan rekening pribadi Veronika, dan meminta Direktorat Jenderal Imigrasi mencabut pasport Veronika yang oleh sejumlah aktivis HAM dianggap sebagai ‘tindakan terlalu jauh’ (tindakan yang berlebihan).
Pihak Kepolisian Indonesia telah juga mengirim surat ke pihak Divisi Hubungan Internasional ‘Polisi Republik Indonesia’ (POLRI) untuk menerbitkan ‘red notice’ (permintaan untuk menemukan dan menahan sementara terhadap seseorang yang berada di luar negeri hingga melakukan ekstradisi) ke 190 (seratus sembilan puluh) negara, tetapi ‘International Police’ (INTERPOL) tidak mengeluarkan red notice atas Veronika Koman karena berdasarkan konstitusi, Interpol dilarang bertindak jika ada hubungan dengan politik, agama, militer, dan Ras.
Selain itu, terdapat 2 (dua) firma hukum internasioal yaitu, ‘Lawyers for Lawyers’ (L4L) di Belanda, dan ‘Lawyers Rights Watch Canada’ (LRWC) di Canada yang telah mengirimkan surat kepada ‘Joko Widodo’ (Presiden Republik Indonesia) pada hari Kamis, tanggal 12 September 2019 yang menyerukan pihak berwenang Indonesia untuk menarik dakwaan pidana terhadap pengacara HAM Veronika Koman.
Disamping itu pula, terdapat 5 (lima) ahli independent dibawah naungan ‘Kantor Komisi Tinggi HAM-PBB’ (Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR)) menerbitkan ‘News Release’ (NR) pada hari Senin, tanggal 16 September 2019 yang berisi seruan kepada Pemerintah Indonesia untuk melindungi hak-hak Veronika Koman dan aktivis lainnya yang mengadvokasi demonstrasi di Papua.
Namun Demikian, Kepolisian Indonesia Daerah Jawa Timur menyesalkan ‘Non Governmental Organization’ (NGO)-NGO dan/atau ‘Lembaga Swadaya Masyarakat’ (LSM)-LSM yang membela Veronika Koman dengan dalih Veronika adalah aktivis HAM. Menurut pihak Kepolisian Indonesia, perihal tersebut merupakan suatu bentuk intervensi terhadap proses hukum yang sedang ditegakkan polisi.
Terhadap opini pihak kepolisian Indonesia tersebut di atas, KOMNAS HAM menilai desakan PBB bukanlah bentuk intervensi asing terhadap hukum serta kedaulatan Indonesia. Dalam hubungan dengan perihal ini pula, Rusli, seorang pengamat hubungan internasional di suatu lembaga riset terkenal di Jakarta yang tidak bersedia disebutkan identitas aslinya, menyatakan, bahwa : “Makanya di PBB, kita selalu bicara menggunakan kacamata ‘Kedaulatan’ (Sovereignty) bukan pada persoalan yang lebih menyentuh akar masalah”.
Perihal yang paling mengganggu absoluditas kedaulatan ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (NKRI) adalah ketika pemerintah kota Sidney di Australia memberikan izin untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora di gedung Balai Kota Leichhardt pada setiap tanggal 1 Desember yang diperingati sebagai hari Kemerdekaan Bangsa Papua.
Peristiwa yang telah berlangsung selama 10 (sepuluh) tahun itu oleh Suhendra Hadikuntono, seorang pengamat politik Indonesia dinyatakan sebagai campur tangan Australia terhadap urusan dalam negeri Indonesia. Suhendra kemudian menyatakan bahwa seharusnya pemerintah Australia tidak membiarkan peristiwa itu terjadi sebab pemerintah Australia dan pemerintah Indonesia sudah menandatangani LombokTreaty pada tahun 2014 yang salah satu isinya adalah saling mengakui dan menghormati kedaulatan masing-masing negara.
Meskipun demikian, pada hari Sabtu, tanggal 14 Desember 2019 dalam ‘Konperensi Tingkat Tinggi’ (KTT) kepala negara dan pemerintahan Negara-negara Afrika, Karibia dan Pasifik (ACP) ke – 9 di ‘Nairobi’ (Kenya), telah dikeluarkan suatu resolusi tentang Krisis HAM di Papua Barat untuk mendukung resolusi yang sebelumnya telah dikeluarkan oleh ‘Forum Kepulauan Pasifik’ (Pasific Islands Forum (PIF)) pada bulan Agustus 2019.
Dalam perkembangan yang paling akhir, konsep kedaulatan tersebut tidak lagi dibatasi oleh ‘wilayah dan/atau teritorial’ (territory). Namun, lebih substantif menyangkut aspek kemanusiaan. Perihal ini terlihat dalam putusan hakim ‘International Court of Justice’ (ICJ) yaitu, Vereshchetin(separate opinion), dan Skubiszewski(dissenting opinion), dalam ‘perkara Timor Timur’ (the Case Concerning East Timor) tahun 1975, tentang the delimitation of the continental shelf, antara Portugal melawan Australia dan Indonesia (Thontowi, Jawahirdan Pranoto Iskandar(2006) Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: Refika Aditama, h. 175).
Dimana Portugal menolak keabsahan perjanjian antara Australia dan Indonesia sebagai negara pelanggar atas hak rakyat Timor-Timur terhadap penentuan nasib sendiri. Hakim ICJ, Skubiszewski menyatakan bahwa: “East Timor has not been well served by traditional interest and sovereignities of the strong ….. (While) both Paerties invoked the interest of the East Timorese People ….. they presented us with little or no evidence of what the actual wishes of that people were”(Thontowi & Iskandar, 2006: 175).
Pandangan hakim Skubiszewski tersebut di atas, dipertegas lagi oleh Robert McCorquodale yang menyatakan bahwa kemanusiaan menjadi bahasa universal dalam roh hukum internasional yang mengikis batas-batas teritorial. Dengan kata lain dapat disebutkan, bahwa, kedaulatan dapat dipahami sebagai kedaulatan bagi seluruh umat manusia, bukan untuk disalahgunakan oleh penguasa tiran sebagai tameng untuk perlindungannya menghadapi tekanan dari luar (Thontowi & Iskandar, 2006: 175).
Searah dengan penegasan Robert McCorquodale tersebut di atas, Lung Chu Chen dalam Sefrianimenyatakan dalam halaman 124 dari buku berjudul Hukum Internasional Suatu Pengantaryang diterbitkan di Jakartapada tahun 2011 oleh penerbit Rajawali Pers, bahwa : “Integritas teritorial tidaklah boleh menjadi tameng bagi pemerintahan tirani atau diktator, untuk menjadi instrumen dibenarkannya tindakan-tindakan pencabutan HAM, dan tindakan-tindakan penekanan pada kelompok minoritas. Negara-negara nasional dan batas-batas wilayah datang dan pergi, tetapi tuntutan kemanusiaan terhadap ‘kebebasan’ (freedom) dan ‘harkat kemanusiaan’ (human dignity) akan tetap kuat”.
Keputusan hakim ICJ tersebut di atas mengingatkan dunia untuk tidak melupakan latar belakang lahirnya konsep kedaulatan negara sebagaimana diteorikan oleh Jean Bodin de Saint Armand(1530-1596) maupun Thommas Hobbes(1583-1679) yaitu, paham ‘individualisme’ (individualism) dan ‘liberalisme’ (liberalism) yang pada prinsipnya dikembangkan untuk melawan ‘pemerintahan sewenang-wenang’ (despotism) dan sistem sosial dan/atau politik ‘Feodalisme’ (Feodalism) disepanjang ‘Abad Pertengahan’ (500-1500) (Kusumohamidjojo, Budiono (1987) Hubungan Internasional Kerangka Studi Analitis. Jakarta: Binacipta, h. 143).
Neo-Feodalisme Dibalik Kedaulatan
Muhammad Hatta (2015: 135) mengemukakan, bahwa: “Jika kita perhatikan alam Indonesia pada umumnya di masa lalu, maka kita tidak akan mendapati suatu pemerintahan demokrasi, melainkan peraturan-peraturan otokrasi dan feodalisme yang dilakukan oleh raja-raja (Negara-negara Indonesia lama adalah negara feodal, yang dikuasai oleh raja theokrat (Muhammad Hatta, 2015: 253)). Keadaan feodalisme inilah yang mencelakakan rakyat Indonesia sampai diperintah oleh bangsa asing”.
Namun demikian, setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya sebagai suatu negara pada hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 1945, pendekatan feodalisme ternyata tidak dengan secara serta merta dan/atau tidak dengan secara sendirinya dan/atau tidak dengan secara otomatislangsung diakhiri, tetapi masih terus dilakukan. Bahkan pendekatan feodalisme – atau lebih tepat lagi disebut sebagai pendekatan paternalisme – dilakukan justru oleh ‘para pendiri’ (founding fathers) Negara Republik Indonesia itu sendiri.
Pendekatan Neo-feodalisme dimulai ketikaSukarno melawankan demokrasi dengan keadilan. Sukarno berpendapat bahwa keadilan sosial harus diciptakan terlebih dahulu sedangkan demokrasi diciptakan belakangan. Terhadap gagasan Sukarno ini, Frans Magnis Suseno dalam halaman 34 dari buku berjudul Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme, Bunga Rampai Etika Politik Aktual yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2015 oleh penerbit Kompasmenyatakan,bahwa: “Melawankan demokrasi dengan keadilan sosial, gagasan bahwa keadilan sosial harus diciptakan terlebih dahulu, dan demokrasi baru belakangan, menurut saya adalah salah kaprah. Bayangan ini masih diresapi oleh pendekatan feodalisme atau lebih tepat, paternalisme”.
Sukarno kemudian melangkah lebih jauh lagi ke arah pendekatan Neo-feodalisme dengan mengartikan HAM sebagai ekspresi individualisme (mengikuti alur pikir paham negara Integralistik menurut Supomo). Perihal ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno dalam halaman 190 dari buku berjudul Berebut Jiwa Bangsa, Dialog Perdamaian, dan Persaudaraan yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2015 oleh penerbit Kompas, bahwa: “Mengartikan HAM sebagai ekspresi individualisme merupakan salah paham yang fatal juga, dan dalam kenyataan hanyalah suatu akal-akalan elite neo-feodalisme untuk melegitimasikan privilese-privilese mereka”. Dalam hubungan dengan perihal ini juga Frans Magnis Suseno (2015: 197) berpendapat, bahwa: “Begitu pula salah-konsepsi Sukarno yang melawankan ‘kedaulatan rakyat dengan kedaulatan individu’ (seakan-akan rakyat bisa berdaulat, apabila orang-orangnya takut bersuara)”.
Dalam beberapa perihal yang sangat prinsipil, Hatta berbeda pandangan secara substantive dengan Sukarno. Disamping perbedaan pandangan mengenai sistem kenegaraan, dimana Hatta adalah seorang pendukung konsep ‘negara Serikat’ (Federation State) sementara Sukarno adalah seorang pendukung konsep ‘negara Kesatuan’ (Unity State), Hatta dan Sukarno juga berbeda pandangan mengenai sistem sosial dan/atau politik Indonesia, dimana Sukarno adalah seorang pendukung feodalisme dalam bentuknya yang baru (neo-feodalism) sedangkan Hatta adalah seorang yang sangat anti feodalisme dalam segala bentuknya (Suseno, 2015: 192).
Setelah rezim ‘Orde Lama’ (ORLA) pimpinan Sukarno diruntuhkan oleh Suharto yang kemudian membentuk rezim ‘Orde Baru’ (ORBA) pada tahun 1968, keadaan Indonesia tidak juga berubah ke arah yang lebih baik. Suharto dalam kedudukannya sebagai Presiden kedua Republik Indonesia bahkan memimpin Indonesia secara oligarki melalui pendekatan Neo-feodalisme dengan korupsi sebagai sistem. Terhadap kepemimpinan Suharto ini, Frans Magnis Suseno (2015: 62) mengemukakan, bahwa: “Neo-feodalisme bukan jalan keluar. ….. Tidak mungkin negara seluas dan semajemuk Indonesia dikuasai secara Neo-feodal”.
Kemudian, setelah rezim Orde Baru pimpinan Suharto ditumbangkan oleh gerakan reformasi pada hari Kamis, tanggal 21 Mei 1998, keadaan Indonesia – alih-alih menjadi lebih baik – ternyata justeru sebaliknya menjadi jauh lebih buruk lagi, sekalipun Indonesia di era reformasi ini, hingga tahun 2020 (kurang lebih 24(dua puluh empat) tahun (1998-2020) lamanya) telah dipimpin oleh 5 (lima) orang presiden, yaitu: Profesor Dr. Ing. Baharuddin Jusuf Habibie (21 Mei 1998-1999); Kiai Haji Abdurrachman Wahid (1999-2001); Megawati Sukarnoputeri (2001-2004); Jenderal TNI-AD Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009); dan Joko Widodo (2019-2024).
Perihal tersebut di atas adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Frans Magnis Suseno (2015: 60) bahwa: “Sesudah gerakan reformasi menuliskan pemberantasan ‘Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme’ (KKN) di atas panji-panjinya; Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme malah semakin merajalela. Kelas politik memberikan tontonan yang memalukan dan mengkhawatirkan kepada masyarakat. Dan sejauh kita layangkan pandangan, tidak kelihatan suatu visi, cita-cita luhur, maupun keberanian dalam kepemimpinan”. Bahkan reformasi politik yang dilakukan di era reformasi ini, dianggap sebagai kesesatan Liberalisme, padahal Demokrasi dan HAM adalah hasil paling mengagumkan – hasil satu-satunya – dari reformasi (Suseno, 2015: 62).
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas, Fahri Hamzah, seorang politikus Indonesia dari ‘Nusa Tenggara Barat’ (NTB) yang menjabat sebagai Wakil Ketua ‘Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia’ (DPR-RI) sejak tahun 2014, mengemukakan dalam wawancara di suatu media online pada awal bulan Oktober tahun 2019, bahwa : “Feodalisme di Indonesia itu nyata ….. Budaya Pemerintah Indonesia itu Feodal”.
Apa yang dikemukakan oleh Fahri Hamzah tersebut di atas, sebelumnya telah dikemukakan juga padahari selasa, tanggal 9 januari 2018oleh pengamat politik Rocky Gerung dalam acara ‘Indonesia Lawyers Club’ (ILC) di stasiun televisi TV-ONE, Jakarta, bahwa : “Kultur Politik ‘Kita’ (Indonesia-Penulis) Masih Feodal”.
Feodalisme telah membuat wajah demokrasi di Indonesia menjadi seperti kata Aristoteles (348-322) dalam POLITICS, sebagai : PALING BURUK. Bukan karena Demokrasi itu buruk, tetapi karena para pemimpin Indonesia bukanlah para ‘Pecinta Kebijaksanaan’ (FILSUF) sebagaimana Negara Ideal Plato (429-…..) dalam REPUBLIK.
Indonesia cenderung dikuasai oleh para ‘Pemain Kata-Kata’ (SOPHIS) yang sering berdebat kusir dengan Rocky Gerung. Semoga bung Rocky Gerung tidak sampai bernasib sama seperti Socrates (…..-399) yang berakhir di secangkir cawan beracun. Dan semoga pula, bung Rocky juga tidak sedang berhutang seekor ayam kepada seseorang, sebagaimana Socrates berhutang ayam kepada Asklepios, dan meminta Crito untuk membayarnya.
Ignas Kleden, salah seorang Sosiolog ‘Universitas Indonesia’ (UI), dan pendiri ‘Komite Indonesia untuk Demokrasi’ (KID) dalam suatu diskusi demokrasi tentang mengurai persoalan krusial politik di Indonesia yang dilakukan di Kantor media online Tribun-Timur.com Jalan Cendrawasih, ‘Makasar’ (Sulawesi Selatan), pada hari Jumat, tanggal 9 Maret 2012, menyatakan, bahwa, Sistem politik yang berlaku – di Indonesia – masih menjadi milik orang Jawa, sebab Jawa adalah mayoritas di Indonesia. Sistem politik itu adalah sistem Feodal Jawa yang anti Luar Jawa. Otak kita sudah terpukau dengan sistem politik Feodal dan/atau Paternalistik berbasis pertanian, khususnya di pulau Jawa. Tancapan sistem Feodalisme Jawa itu diperparah lagi dengan ketiadaan roh politik bernama ideologi dan disfungsi pranata politik.
Feodalisme Jawa adalah sebagaimana yang tergambar dengan sangat jelas dan terang dalam dunia pewayangan, yang oleh Frans Magnis Suseno (2015: 199) dinyatakan,bahwa: “Wayang itu feodal sampai ke tulang sumsumnya”. Bahkan Frans Magnis Suseno (2015: 197) dalam pengantar di awal tulisannya telah membuat suatu kesimpulan, bahwa: “Wayang justeru tidak cocok untuk didekati secara moralistik. Wayang menyediakan gambar-gambar untuk dunia fantasi yang membuat penonton berefleksi sendiri”.
Frans Magnis Suseno (2015: 202) selanjutnya mengemukakandalam bagian akhir tulisannya, bahwa: “Dalam wayang, darah mengalir bebas, ambil lakon Dursasana Jambak. Begitu pula fungsi para Buto misalnya – tambahan Jawa terhadap cerita-cerita asli – pantas direnungkan: Mereka dapat, dan harus, dibunuh tanpa ampun, dengan gembira, sebagai sesuatu yang lucu. Dalam Islam, dan dalam Kristianitas tidak ada padanannya”.
Di negara ‘kita’ (Indonesia) yang tercinta ini pun banyak darah mengalir, terlalu banyak. Tahun 1948, 1965, dan 1966, dan kemudian sewaktu-waktu, termasuk genosida saat kehadiran ‘kita’ (Indonesia)di Timor-Timur menyebabkan ¼ dan/atau 25% penduduk negara kecil itu mati. Betapa gampang darah orang dicurahkan, juga di Aceh, masih juga di Papua(Suseno, 2015: 202).
Pembebasan dari hukuman dan/atau impunitas (Impunity) – terhadap aparatur ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’(NKRI) yang melakukan tindak kejahatan kemanusiaan – dengan sombong dipamerkan. Atau ambil reaksi di sebagian masyarakat: waktu para korban setelah tahun 1965-1966 akan direhabilitasi, mereka malah marah dan mulai mengancam lagi. Kaitan dengan wayang?. Wayang cerminan suatu segi gelap di hati manusia?. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab, tetapi tidak boleh dikuburkan begitu saja! (Suseno, 2015: 202).
Dalam hubungan dengan keseluruhan perihal tersebut di atas, dr. Willem Karel Tehupeiory – yang pada tahun 1909 mendirikan Ambonese Studiefons – pada tahun 1942 telah memberikan peringatan keras dan tegas kepada tokoh-tokoh kelompok ‘rakyat/bangsa/etnis’(people) Maluku (selatan) yang masih yakin dan percaya pada pemerintahan di-bawah kekuasaan tokoh-tokoh kelompok ‘rakyat/bangsa/etnis’ (people) Jawa, bahwa: “kekuasaan Kolonial Belanda adalah lebih baik daripada kekuasaan Feodal Jawa” (de Fretes, 2007: 39);
Kedaulatan Tak Mati (?)
Kenyataan tentang adanya neo-feodalisme dibalik kedaulatan Indonesia sebagaimana tersebut di atas, merupakan bukti bahwa wajah Kedaulatan Indonesia sekarang ini adalah wajah kedaulatan seperti pada Abad Pertengahan di Eropa, yang dalam abad itu berlangsung pula suatu Zaman yang disebut sebagai ‘Zaman Kegelapan’ (Dark Age/Saeculum Obscurum), yaitu suatu zamanfeodalisme yang berlangsung selama hampir kurang lebih 1000 (seribu) tahun lamanya (Ham, Ong Hok (2019) Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang. Jakarta: Gramedia, h. 36). Wajah Kedaulatan Indonesia saat ini telah menyerupai binatang peliharaan Thommas Hobbes : LEVIATHAN.
Leviathan merupakan personifikasi dari ‘Kedaulatan Absolut’ (Absolute Sovereignty) yang berdiri di atas ucapan Gnaeus Domitius Annius Ulpianus(170-223) seorang ahli hukum Romawi Kuno: “Princeps Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex”, dan yang mewujud dalam diri Louis XIV (1642-1715) seorang Kaisar Perancis yang berucap : “l’etat c’est moi” (Pramana KA, Pudja (2009) Ilmu Negara. Yogyakarta: Graha Ilmu, h. 118).Kedaulatan Absolut itu sendiri dibangun oleh ThommasHobbes di atas dasar ‘Negara kekuasaan’ (machtsstaatsgedachte/Machiavellismus) menurut Niccollo Machiavelli (1469-1527) seorang penganut Naturalisme (Ridwan, Juniarso & Achmad Sodik (2010) Ahli Pikir Negara & Hukum. Bandung: Nuansa, h. 137).
Dalam konteks bernegara di Indonesia, perihal tersebut di atas lalu kemudian menjadi suatu ironi kalau kita tidak ingin mengatakannya sebagai suatu Tragedi, ketika dalam Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar NKRI mengenai Sistem Pemerintahan Negara ditetapkan, bahwa : “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat)”, sementara apa yang diamanatkan oleh konstitusi tersebut di atas, dalam pelaksanaannya masih jauh panggang dari api; Jauh harapan (das solen) dari kenyataan (das sein); Rechtsstaat masih mengambil rupa machtsstaat; Rupa Absolute Sovereignty; Rupa : LEVIATHAN.
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas, Indonesia sebagai suatu negara masih sangat jauh dari bentuk negara al-Madinah al-Fadhilah, suatu bentuk Negara Ideal sebagaimana dikonsepkan dalam karya monumental berjudul Ara’ Ahli al-Madinah al-Fadhilah yang ditulis oleh Abu Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Farabi (872-950) alias Alpharabius seorang filsuf berkebangsaan Arab-Turki kelahiran ‘Farab’ (Kazakhstan) (Muthhar, Mohammad Asy’ari (2018) The Ideal State, Perspektif Al-Farabi Tentang Konsep Negara Ideal. Yogyakarta: IRCiSoD, h. 173).
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas pula, Goenawan Mohamad menulis dalam bagian sinopsis dari buku Ong Hok Ham berjudul Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2019 oleh penerbit Gramedia, bahwa : “Ditulis dengan bahasa yang sederhana, karya ini seolah menegaskan bahwa ‘bangsa ini’ (Indonesia-Penulis), peradaban yang tidak membawa kita ke arah yang lebih baik”.
Jika peradaban Indonesia tidak sedang menuju ke arah yang lebih baik, maka peradaban Indonesiasedang menuju ke arah yang sebaliknya, yaitu : TIDAK LEBIH BAIK. Suatu arah yang sedang menuju kepada kematian kedaulatan, yaitu : “Terpisahnya konsep kedaulatan dari realitas politik, yang diharapkan dapat memberikan ekspresi hukum” (Nasution, Dahlan (1984) Perang atau Damai Dalam Wawasan Politik Internasional. Bandung: Remaja Karya, h. 162).
Namun demikian, untuk mencegah kematian Kedaulatan Indonesia, alih-alih Pemerintah Indonesia berupaya agar konsep kedaulatan tidak terpisah dari realitas politik, pemerintah Indonesia malahan justeru melakukan suatu tindakan yang bersifat Chouvenisme sebagaimana terbaca dari pernyataanNKRI HARGA MATI yang merupakan representasi dari ‘Negara Kekuasaan’ (machtsstaat) yang diatasnya berdiri ‘Kedaulatan Absolut’ (absolute sovereignty)dengan wajah : LEVIATHAN.
Dalam konsep Kedaulatan Absolut, negara lalu menjadi identik sama dengan kedaulatan. Perihal ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Suryo Sakti Hadiwijoyodalam halaman 42 dari buku berjudul Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum Internasional yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2011 oleh penerbit Kompas, bahwa : “Kedaulatan merupakan atribut dan ciri khusus dari suatu negara”.
Artinya, jika kedaulatan suatu negara mati, maka negara itu turut mati bersama matinya kedaulatan – sekalipun Hukum Internasional melalui Konvensi Montevideo tahun 1933 tentang hak dan kewajiban negara tidak menyebut kedaulatan sebagai salah satu syarat bagi suatu entitas untuk dapat disebut sebagai negara (Kansil, C. S. T. (1992) Ilmu Negara. Jakarta: Sinar Grafika, h. 168; Gaffar, Janedjri M, (2012) Demokrasi Konstitusional Praktik Ketata-Negaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, h. 4).
Chauvenisme yang muncul dari pandangan-pandangan Machiavelli adalah suatu ‘paham’ (isme) pen-dewa-an terhadap negara dan/atau men-Tuhan-kan negara yang meniadakan aspek moralitas ke-Tuhan-an melalui jalan tujuan menghalalkan cara demi tegaknya kedaulatan negara dengan mengabaikan hak-hak warganegara dimana negara selalu benar sekalipun negara melakukan kesalahan. dalam konteks ini, adalah bukan merupakan suatu perbuatan kejahatan jika negara mengorbankan warganegara demi tegaknya Kedaulatan Negara. Artinya, bukan negara untuk manusia, tetapi manusia untuk negara.
Jargon NKRI HARGA MATI merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk menjaga agar Kedaulatan Indonesia tidak sampai mati, sebab kematian Kedaulatan Indonesia adalah Kematian NKRI. NKRI hendak dipertahankan hidupnya minimal 1000 tahun lagi sebagaimana coretan pena Chairil Anwar dalam puisi berjudul ‘Aku’ : “Aku ingin hidup 1000 tahun lagi”, tapi Chairil mati di usia 27 tahun, terlalu muda untuk keinginan hidup 1000 tahun, atau sama seperti mimpi Adolf Hitler tentang kekaisaran 1000 tahun yang menjadi nyata hanya dalam 5 tahun, terlalu cepat untuk terbangun dari mimpi 1000 tahun.
Dibanding dengan Chairil Anwar maupun Adolf Hitler, NKRI lebih beruntung sebab dapat mencapai usia 75 tahun pada tahun 2020 ini – dan mungkin akan hidup lebih lama lagi untuk satu atau dua tahun ke depan – dengan memberangus semua ramalan tentang kematian NKRI. NKRI pernah diramalkan runtuh mengikuti keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991 atau mengikuti keruntuhan Yugoslavia dan Czekoslovakia di tahun 1992 atau bersamaan dengan runtuhnya rezim ORBA pada tahun 1998, menurut perhitungan : Teori Efek Domino. NKRI pernah juga diramalkan runtuh pada tahun 2015 menurut perhitungan siklus 70 tahun kehidupan beberapa kerajaan di pulau Jawa.
Akan tetapi ramalan kehancuran NKRI tersebut di atas belum usai sampai di situ, sebab Emannuel Alexander alias Arkand Bodhana Zeshaprajna seorang Doktor lulusan University of Metaphysics International Los Angeles, California, Amerika Serikat, masih meramalkan kehancuran NKRI pada tahun ini : 2020. Peter Warren Singer – yang ramalannya dikutip oleh calon Presiden NKRI : Prabowo Subianto – dalam novel berjudul Ghost Fleet meramalkan kehancuran NKRI pada tahun 2030. Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya – yang ramalannya tentang pendudukan Jepang atas Hindia Belanda telah menjadi kenyataan – meramalkan kehancuran NKRI pada tahun 2050. Dan Vangelia Pandeta Dimitrova alias Baba Vanga – yang ramalannya tentang penyerangan gedung kembar ‘World Trade Centre’ (WTC) di Amerika Serikat pada hari Selasa, tanggal 11 September 2001 telah menjadi kenyataan – juga meramalkan keruntuhan NKRI.
Ramalan-ramalan tersebut di atas dapat gagal, dan telah terbukti bahwa beberapa dari ramalan itu memang tidak pernah menjadi kenyataan. Tetapi yang pasti, tidak ada negara yang kekal dan/atau abadi dalam Sejarah. Perihal ini terbukti dengan kenyataan runtuh dan matinya Negara-negara paling besar dan kuat yang pernah ada dalam sejarah dunia di masa lampau, seperti : Kerajaan Babilonia yang dibangun oleh Nebuchadnezzar II pada tahun 605 SM, akhirnya hancur pada tahun 539 SM; Kerajaan Media-Persia yang dibangun oleh Cyrus II pada tahun 539 SM, akhirnya hancur pada tahun 333 SM; Kerajaan ‘Makedonia’ (Yunani Kuno) yang dibangun oleh ‘Alexander Agung’ (Alexander the Greath) pada tahun 333 SM, akhirnya hancur pada tahun 323 SM; Kekaisaran Romawi yang dibangun pada tahun 45 SM oleh Julius Caesar, akhirnya hancur pada tahun 1453 M.
Di masa kini, perihal tersebut di atas terjadi juga pada negara-negara seperti negara Czekoslovakia yang dibangun oleh Joseph Tiso pada tahun 1939, akhirnya hancur pada tahun 2004; Yugoslavia yang dibangun oleh Joseph Brosz Tito pada tahun 1945, akhirnya hancur pada tahun 2003; bahkan Negara ‘besar dan kuat’ (super power) seperti Union of Soviet Socialist Republics(USSR)atau Uni Soviet yang dibangun oleh Vladimir Ilych Lenin pada tahun 1917 -dan yang kerap dianalogikan seperti beruang merah ganas dengan dibentengi oleh tirai besi- akhirnya hancur pada tahun 1991.
Atas dasar kenyataan sejarah tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa, setiap negara – termasuk NKRI – yang telah dibangun di dunia ini pada masa lalu, pada masa kini maupun yang akan dibangun pada masa depan adalah ‘tidak kekal dan/atau tidak abadi’ (imortal), karena setiap negara berpotensi untuk dapat hancur dan/atau mati pada suatu waktu tertentu. Tidak ada satu pun negara di muka bumi ini yang bersifat ‘kekal dan/atau abadi’ (mortal), hanya Tuhan sajalah satu-satunya entitas kekal/abadi di alam semesta, sedangkan yang kekal/abadi di dunia ini hanyalah ‘perubahan’ (change).
Dengan demikian, dapat disebutkan dengan kata lain pula bahwa, narasi NKRI HARGA MATI merupakan suatu pengingkaran dan/atau penyangkalan terhadap kenyataan sejarah. Frasa NKRI HARGA MATI pada hakekatnya mempertontonkan wajah ideologi ‘fasisme’ (fascism) yaitu ‘pemujaan terhadap ‘bangsa’ (nation) dan/atau ‘negara’ (state) secara berlebihan’ (extreme nationalism) yang merupakan suatu bentuk ancaman sangat berbahaya bagi kemanusiaan, keamanan, dan perdamaian dunia.
Perihal tersebut di atas adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdurahman Syekbubakar, Ketua ‘Institute for Democracy Education’ (Ide) dalam suatu wawancara di media on-line BRAVOS (Digital Radio) pada bulan November tahun 2019, bahwa : “Kecenderungan watak otoritarianisme ini memang semakin menguat. Bahkan lebih kuat daripada orde baru atau Suharto”. Bahkan saya mengatakan, bahwa : “Sebenarnya, ‘kita’ (Indonesia-Penulis) ini tidak kembali ke era otoritarianisme tetapi sudah masuk ke era FASISME”. Rocky Gerung, salah seorang pendiri Setara Institute juga menyatakan perihal yang sama di stasiun televisi TV ONE, Jakarta dalam acara ‘Indonesia Lawyers Club’ (ILC) pada bulan November tahun 2019.
Fasisme pernah dianut dan diterapkan di Italia oleh Benito Amilcare Andrea Mussolini; di Jerman oleh Adolf Hitler; di Jepang oleh Hideki Todjo; di Yunani oleh Ioannis Metaxas; di Brasil oleh Getulio Dornelles Vargas; di Spanyol oleh Francisco Paulino Hermenegildo Teodulo Franco Bahamonde; di Portugal oleh Antonio de Oliveira Salazar; dan di Argentina oleh Juan Domingo Peron.Fasisme adalah ideologi yang paling bertanggungjawab atas tewasnya hampir kurang lebih sebanyak 60.000.000 (enam puluh juta) umat manusia di seluruh dunia dalam peristiwa Perang Dunia II yang berlangsung selama kurang lebih 5 (lima) tahun, yaitu dari tahun 1939 hingga tahun 1945.
Di Indonesia – sebagaimana Neo-Feodalisme – Fasisme bersembunyi dengan tenang dibalik Kedaulatan. Tetapi bagaimanapun juga caranya Fasisme itu bersembunyi, Keberadaannya tetap tampak dari pernyataan NKRI HARGA MATI, dan kehadiran Fasisme itu juga akan tetap terbukti dari jumlah korban jiwa manusia yang berjatuhan sebagaimanapernyataan Franz Magnis Suseno dalam halaman 67 dari buku berjudul Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme, Bunga Rampai Etika Politik Aktual yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2015 oleh penerbit Kompas, bahwa : “Baik pemerintahan Sukarno maupun Suharto telah menempatkan Indonesia ke suatu jalur dinamika politik yang menghasilkan tragedi nasional teramat mengerikan dengan jumlah korban luar biasa besar dari warganegara Indonesia itu sendiri”.
Para pecinta dan pengabdi NKRI HARGA MATI mengamini dan mengimani bahwa kedaulatan NKRI akan kekal/abadi melampaui kekekalan/keabadian TUHAN, sementara TUHAN sendiri telah ber-Firman : “AKU yang membuat bangsa-bangsa bertumbuh, lalu membinasakannya”.Pertanyaan prinsipnya, adalah : “Jika TUHAN yang menentukan kehidupan dan kematian bangsa-bangsa, maka untuk apa menumpahkan darah manusia – ciptaan TUHAN – guna mempertahankan hidup suatu bangsa yang pada hakekatnya akan mati juga?”. Pemerintah NKRI pasti tidak memiliki seorangpun pecinta kebijaksanaan untuk menjawab pertanyaan ini. Artinya – dalam ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (NKRI) – kita masih akan terus menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri, korban Kemanusiaan di atas altar Neo-Feodalisme dengan menggunakan pisau Revolusi demi memuliakan Kedaulatan. Sementara itu, mulut senjata masih akan terus bicara atas/nama : KEDAULATAN.
Penulis Adalah : Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Ambon
Discussion about this post