titastory.id, jakarta – Resistensi antimikroba (AMR) merupakan salah satu tantangan terbesar di dunia kesehatan saat ini. Menurut Dr. Robert Sinto, Sp.PD, K-PTI, anggota Tim Komite PPRA RS Cipto Mangunkusumo, resistensi antimikroba terjadi ketika bakteri, virus, atau jamur menjadi kebal terhadap antibiotik dan obat antimikroba lainnya.
“Dulu, sebelum penemuan antibiotik, infeksi sederhana bisa berakibat fatal. Namun, dengan berkembangnya waktu, bakteri juga berkembang menjadi kebal terhadap antibiotik yang kita miliki,” jelas Dr. Robert. Masalah ini semakin serius karena meskipun jumlah antibiotik baru terus dikembangkan, laju perkembangan bakteri yang resisten jauh lebih cepat.
Salah satu kelompok yang paling rentan terhadap AMR adalah bayi prematur. dr. Arifiato, Dokter Spesialis Anak, menekankan bahwa bayi yang baru lahir, terutama yang prematur, sangat mudah terkena infeksi, termasuk infeksi nosokomial yang sering terjadi di ruang perawatan intensif.
“Bayangkan, bayi prematur yang dirawat di inkubator atau dengan ventilator, mungkin masuk rumah sakit hanya karena masalah pernapasan. Namun, mereka bisa meninggal bukan karena masalah paru-paru, tapi karena infeksi bakteri yang sudah kebal terhadap antibiotik,” jelas Dr. Arifiato.
Menurutnya, masalah ini juga tidak hanya terjadi pada bayi, tetapi pada anak-anak yang mengalami infeksi serius seperti pneumonia yang tidak bisa disembuhkan dengan antibiotik biasa karena sudah terjadi resistensi.
Penggunaan Antibiotik yang Tidak Tepat
Penyebab utama dari resistensi antimikroba adalah penggunaan antibiotik yang tidak tepat, baik karena penyalahgunaan (misuse) maupun penggunaan berlebihan (overuse). Dr. Robert Sinto menekankan bahwa pemberian antibiotik tanpa indikasi yang tepat adalah hal yang sering terjadi, baik di kalangan pasien maupun tenaga medis.
“Pasien sering kali memaksa dokter untuk memberikan antibiotik meskipun tidak diperlukan, hanya karena mereka merasa nyaman dengan pengobatan tersebut,” ujarnya. Selain itu, penggunaan antibiotik yang tidak dihabiskan sesuai durasi juga menjadi masalah. Hal ini sangat berisiko dalam pengobatan penyakit seperti tuberkulosis (TBC), yang membutuhkan pengobatan selama 6 bulan untuk mencegah resistensi.
Peran Apoteker dalam Pengendalian AMR
Apt. David Wijaya, S.Farm, seorang influencer kesehatan, juga mengingatkan tentang pentingnya peran apoteker dalam pengendalian AMR.
“Apoteker adalah garda terdepan dalam memastikan obat diberikan dengan benar. Mereka bisa memberikan informasi yang penting kepada pasien tentang cara penggunaan obat, termasuk antibiotik, sehingga mengurangi risiko resistensi,” ujarnya.
David juga menyarankan agar masyarakat lebih kritis terhadap penggunaan antibiotik dan tidak ragu untuk bertanya kepada dokter jika mereka merasa tidak yakin tentang resep antibiotik yang diberikan.
Peran Kolaborasi
Pengendalian resistensi antimikroba bukanlah tugas yang bisa dihadapi oleh satu pihak saja. Rita Mahyona, Deputi Bidang Pengawasan Obat dan NAPPSA Badan POM RI, menegaskan bahwa kolaborasi antar semua stakeholder sangat penting.
“Pengendalian AMR membutuhkan kerjasama antara pemerintah, pelaku usaha, tenaga kesehatan, dan masyarakat. Kami juga mendorong pelaku usaha untuk berpartisipasi dalam program CSR yang mendukung pengelolaan sampah obat dengan benar,” jelas Rita.
Badan POM kata Rita, juga bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengedukasi masyarakat mengenai cara pembuangan obat yang aman dan benar.
Menurut Rita Mahyona, pengendalian resistensi antimikroba sudah bukan hanya masalah Indonesia, tetapi masalah global yang memerlukan perhatian semua pihak.
“Kami berharap ada kesadaran yang lebih besar untuk kembali mengaktifkan program pengelolaan sampah obat yang sudah mulai kami gerakkan pada 2019. Dalam hal ini, seluruh masyarakat, termasuk pelaku usaha, harus bekerja sama,” ungkapnya.
Dampak Ekonomi dari AMR
David Wijaya juga memperingatkan tentang dampak ekonomi yang sangat besar akibat AMR. “Jika resistensi antimikroba ini terus berkembang, biaya pengobatan akan semakin tinggi, dan prosedur medis yang lebih rumit seperti cangkok organ atau operasi bedah akan semakin berisiko,” jelas David. Ia menambahkan bahwa resistensi yang berkembang pesat bisa memicu resesi ekonomi global karena biaya pengobatan yang membengkak. Langkah-langkah kecil yang kita lakukan hari ini, seperti penggunaan antibiotik yang bijak, dapat mengurangi dampak yang lebih besar di masa depan.
Menghadapi ancaman resistensi antimikroba membutuhkan tindakan bersama dari berbagai pihak, mulai dari tenaga medis, apoteker, pelaku usaha, hingga masyarakat. Kolaborasi ini harus dimulai dengan edukasi yang tepat mengenai penggunaan antibiotik dan pengelolaan sampah obat yang aman. Masyarakat juga harus lebih kritis terhadap pengobatan yang diterima, memastikan bahwa antibiotik diberikan hanya ketika benar-benar diperlukan dan sesuai durasi yang tepat. Dengan kesadaran dan kerjasama, kita bisa mencegah dampak yang lebih buruk di masa depan.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia, Prof. Dr. Taruna Ikrar, M.Biomed, mengungkapkan kekhawatiran serius terkait meningkatnya resistensi antimikroba di Indonesia. Dalam seminar Aksi Nyata Pengendalian Resistensi Antimikroba yang digelar di Jakarta, Jumat (30/11/2024), ia menegaskan bahwa penggunaan antibiotik yang tidak bijak dapat membawa Indonesia pada krisis kesehatan yang mengancam jiwa.
“Awalnya, antibiotik seperti penisilin dikenal sebagai obat ajaib yang mampu menyembuhkan banyak penyakit. Namun, kini kita menghadapi ancaman besar karena penyalahgunaan antibiotik yang menyebabkan resistensi mikroba,” ujar Prof. Taruna.
Prof. Taruna menyoroti ketidaktepatan penggunaan antibiotik di Indonesia sebagai faktor utama penyebab resistensi. “Banyak orang menganggap antibiotik sebagai solusi untuk semua penyakit, termasuk yang disebabkan oleh virus, padahal ini keliru,” katanya. Tidak hanya masyarakat awam, beberapa tenaga kesehatan juga dinilai teledor dalam meresepkan antibiotik untuk penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan.
Lebih lanjut, ia mengkritik kemudahan akses masyarakat terhadap antibiotik tanpa resep dokter.
“Saya bahkan menguji sendiri dengan mendatangi apotek tanpa memperkenalkan diri sebagai dokter. Saya bisa mendapatkan antibiotik kelas tinggi tanpa resep. Ini menunjukkan betapa longgarnya pengawasan distribusi antibiotik di negeri kita,” tegasnya.
Dampak dari resistensi antibiotik sangat nyata. Prof. Taruna memberikan contoh sederhana, seperti infeksi pasca-operasi kecil yang dapat berujung fatal jika antibiotik tidak lagi efektif. “Bayangkan, operasi kecil seperti mencabut kuku bisa menyebabkan kematian jika bakteri penyebab infeksi sudah resisten terhadap antibiotik,” jelasnya.
Ia juga menyinggung kasus infeksi saluran pernapasan seperti bronkopneumonia yang tidak bisa disembuhkan meskipun telah diberikan antibiotik terbaik. “Akhirnya, pasien yang seharusnya bisa sembuh meninggal karena infeksi yang tak terkendali,” tambahnya.
Dalam seminar tersebut, Prof. Taruna membandingkan pengawasan penggunaan antibiotik di Indonesia dengan Amerika Serikat.
“Di sana, setiap resep antibiotik diawasi secara digital oleh FDA. Jika seorang dokter meresepkan antibiotik terlalu sering, mereka akan mendapat peringatan,” ujarnya. Ia menyayangkan kondisi di Indonesia, di mana bahkan tukang ojek bisa membeli antibiotik dengan mudah.
Sebagai solusi, Prof. Taruna menyerukan peningkatan regulasi dan pengawasan ketat terhadap distribusi antibiotik. Ia juga menekankan pentingnya edukasi masyarakat tentang bahaya penggunaan antibiotik tanpa resep.
“Jika kondisi ini tidak segera diatasi, saya khawatir Indonesia akan menghadapi lonjakan kematian akibat penyakit infeksi yang seharusnya bisa dicegah,” tutupnya.
Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai prosedur di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Data dari tahun 2021 hingga 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 75% antibiotik dikonsumsi tanpa resep dokter, mengancam kesehatan masyarakat secara luas. Resistensi antimikroba (AMR) kini menjadi ancaman global yang tidak bisa diabaikan, termasuk di Indonesia.
Antibiotik bekerja dengan menyerang bakteri melalui berbagai mekanisme, seperti menghancurkan dinding sel atau menghambat sintesis protein. Namun, penggunaan yang berlebihan atau tidak sesuai indikasi dapat menyebabkan bakteri beradaptasi dan menjadi kebal. Banyak pasien yang tidak memerlukan antibiotik, seperti yang hanya mengalami inflamasi tanpa infeksi, tetap memaksa menggunakan obat ini, menciptakan resistensi yang berbahaya.
Budaya masyarakat yang menganggap antibiotik sebagai “obat wajib” untuk segala jenis penyakit memperburuk situasi. “Pengobatan seolah tidak sah jika tanpa antibiotik,” ujar seorang narasumber. Padahal, antibiotik bukan obat untuk semua penyakit, dan penggunaannya harus sesuai dengan jenis infeksi. Sayangnya, kesadaran ini masih minim di tengah masyarakat.
Di tingkat pelayanan kesehatan, seperti puskesmas dan apotek, peran tenaga kesehatan sangat penting. Namun, kenyataan menunjukkan hanya sekitar 52,32% apotek di Indonesia yang memiliki apoteker. Hal ini memperbesar kemungkinan penjualan antibiotik tanpa resep dokter. Pemerintah telah memperingatkan apotek agar tidak menjual antibiotik secara bebas, namun praktik ini masih terjadi secara luas.
Rangkaian kegiatan ini juga menyajikan talkshow interaktif yang menghadirkan narasumber dari internal dan eksternal BPOM. Topik yang dibahas dalam talkshow adalah seputar bahaya resistansi antimikroba; upaya nyata dari regulator, praktisi, tenaga kesehatan dan pelaku usaha di bidang kesehatan; serta penyebarluasan materi edukasi tentang cara mengenali resistansi antimikroba dan cara mencegahnya.
Melalui rangkaian kegiatan Semarak Aksi Nyata Pengendalian Resistansi Antimikroba ini ditutup dengan pembacaab Ikrar yang diucapkan oleh 4000 peserta baik secara tatap muka maupun daring.
“Pembacaan ikrar AMR ini saya harap bukan hanya sekadar janji, tapi dapat menjadi pemacu kita bersama untuk meningkatkan komitmen, semangat, dan motivasi untuk secara konsisten berperan aktif dalam pengendalian AMR,” tukas Taruna Ikrar.
(TS-01)
Discussion about this post