titastory, Kepulauan Aru — Suasana berbeda terasa dalam momen Halal Bihalal yang digelar SMP Gwamar Dobo pada Rabu (7/5/2025). Dalam acara tersebut, para siswa-siswi membawakan seluruh rangkaian kegiatan menggunakan Bahasa Trangan Barat, salah satu bahasa ibu yang berasal dari Kepulauan Aru, Maluku.
Inisiatif ini dilakukan sebagai bentuk komitmen lembaga pendidikan dalam menjaga dan melestarikan bahasa daerah, khususnya Bahasa Aru, yang menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat setempat.
Kepala Sekolah SMP Gwamar, Nicho Atua, mengatakan bahwa pelibatan bahasa Trangan Barat dalam acara ini bukan sekadar simbolis, tetapi merupakan tanggung jawab nyata sekolah dalam merawat kebudayaan lokal.“Pada momen Halal Bihalal sebagai ungkapan syukur atas rahmat Tuhan ini, para siswa-siswi membawakan seluruh rangkaian acara dengan Bahasa Trangan. Ini adalah bentuk tanggung jawab kami sebagai lembaga pendidikan untuk turut menjaga dan melestarikan Bahasa Aru,” ujar Nicho.
Ia menambahkan, penggunaan bahasa ibu di ruang-ruang pendidikan adalah bentuk penghargaan terhadap identitas anak-anak yang tumbuh dengan budaya lokal. Dalam pandangannya, Bahasa Trangan bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga bagian penting dari jati diri yang perlu dilestarikan di tengah arus globalisasi.“Bahasa adalah identitas. Jangan sampai karena perubahan zaman yang cepat, bahasa sebagai kekayaan budaya kita justru lenyap,” terangnya.

Nicho menegaskan, perkembangan dunia yang semakin modern tidak boleh menjadi alasan untuk melupakan akar budaya. Justru di tengah arus tersebut, perlindungan dan pembiasaan penggunaan bahasa daerah menjadi penting, terutama bagi generasi muda.
“Mengingat pesatnya perkembangan dunia, Bahasa Ibu seperti Bahasa Trangan Barat harus tetap hidup. Jangan sampai hilang atau punah. Karena itu, siswa-siswi kami dorong untuk membiasakan diri menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari,” lanjutnya.

Lebih jauh, Nicho menekankan bahwa Indonesia sebagai bangsa yang kaya budaya seharusnya menjadikan perbedaan bahasa dan suku sebagai kekuatan, bukan sumber perpecahan.“Budaya adalah ciri khas setiap suku, dan ini harus dijaga oleh generasi muda. Dengan begitu, setiap suku tetap memiliki warna budayanya sendiri yang hidup dalam semangat persatuan Indonesia. Sebab perbedaan bukan akar perpecahan, melainkan kekayaan yang menyatukan,” pungkasnya.
Penulis: Johan Djamanmona