Oleh: Ishak R. Boufakar
KITA hidup di abad sunami informasi. Segalanya bergerak cepat, mengalir deras, lalu menghilang. Dalam tongkrongan, dalam grup-grup diskusi, percakapan melompat dari satu isu ke isu lain, dari tragedi ke tren, dari duka ke dagelan. Waktu bicara menjadi begitu pendek, dan ruang untuk bertanya—siapa yang mengendalikan arah obrolan ini? – jarang dihidupkan. Dalam kecepatan itu, perhatian publik kerap tergelincir, dari substansi ke simbol, dari akar ke permukaan.
Tragedi kematian Firdaus Ahmad Fauzi di Gunung Binaya adalah contoh terang. Duka mendalam segera berganti dengan riuh debat soal nama: usulan mengganti Lembah Aimoto menjadi “Lembah Firdaus.” Sebuah niat yang tampak mulia, namun juga menyimpan risiko penghapusan memori lokal. Sebab dalam setiap nama, ada sejarah yang hidup, ada identitas yang melekat. Dan ketika sejarah lokal diganti dengan narasi baru yang belum sempat disepakati, ada trauma kolektif yang tak diajak bicara.

Namun perdebatan “nama” hanyalah pintu masuk. Tragedi Firdaus sesungguhnya membuka jendela yang lebih luas: tentang bagaimana ruang hidup di Maluku dikelola, siapa yang mengambil alih tanggung jawab ketika nyawa hilang, dan bagaimana solidaritas bisa jadi topeng dari kegagalan struktural.
Ardiman Kelihu, dalam tulisannya di Facebook (18 Mei 2025), dengan lugas menggugat ketidakhadiran elit dan pemerintah daerah. Ia menyebut gerakan solidaritas dan donasi yang meluas sebagai bukti dari kealpaan negara. Bukan karena rakyat lebih peduli, tapi karena negara memilih tak peduli. Dua pekan kemudian, lewat “Berkongsi di Binaya,” ia mengingatkan pola lama yang terus berulang: tragedi dipakai sebagai pintu masuk bagi investasi, atas nama penyelamatan, padahal yang terjadi adalah pemindahan paksa, seperti dalam kasus Mausu Ane. Di balik empati, terselip motif ekonomi yang tak pernah benar-benar dibuka ke publik.

Solidaritas di Maluku, katanya, kerap direduksi jadi slogan “orang basudara.” Romantis, tapi sering menutupi luka struktural yang dibiarkan terbuka. Kita saling bantu, ya, tapi tanpa menyentuh akar: pengelolaan ruang yang timpang, absennya kebijakan yang adil, dan elite yang tak tersentuh kritik.
Fadel Rumakat, aktivis lingkungan turut menyoroti lemahnya gerakan pelestarian lingkungan di Maluku. Dalam wawancaranya dengan Tajukmaluku.com (25 Mei 2025), Fadel mengkritik bahwa banyak kegiatan pecinta alam sekadar bersifat seremonial. Tidak ada strategi advokasi jangka panjang, tidak ada tekanan terhadap perusak hutan dan laut. Hutan ditebang, laut dicemari, ruang adat digadaikan—tapi gerakan lingkungan jalan di tempat, sibuk berkemah tanpa arah.
Semua ini menyingkap kenyataan: bahwa tragedi Firdaus adalah bagian dari pola besar. Pola yang menunjukkan bagaimana ruang hidup kita—gunung, hutan, laut, kampung—semakin hari makin direbut, sedikit demi sedikit, dalam diam yang nyaris tanpa perlawanan.
Dalam dunia yang riuh ini, siapa yang sebenarnya mengendalikan arah percakapan kita? Mengapa kita ramai pada simbol, tapi sepi pada struktur? Michel Foucault pernah mengingatkan: kekuasaan yang paling berbahaya bukan yang membungkam, tapi yang mengarahkan pembicaraan ke hal-hal yang tak penting. Kekuasaan modern tak melarang bicara, ia justru mendorong kita terus bersuara—asal bukan tentang penggusuran, tentang tanah adat, tentang perampasan ruang hidup.

Dan memang, kita jarang bicara tentang itu. Kita jarang menyoal penggusuran 66 kepala keluarga di Batu Merah, Ambon (Patty, 2023). Tak banyak yang menggugat pengukuran sepihak kawasan adat oleh BPKH Maluku di Seram (Matinahoruw, 2023). Suara kita juga nyaris tak terdengar saat tanah warga Laha diklaim militer untuk Bandara Pattimura (Leiwakabessy et al., 2021), atau ketika lahan adat Marafenfen di Aru diambil untuk pangkalan militer (AMAN, 2020).

Sementara itu, wilayah-wilayah di Maluku terus ditekan oleh industri ekstraktif. PT. Bintang Lima Makmur masuk ke Desa Sepa. CV Sumber Berkat Makmur membidik hutan adat Sabuai. Perusahaan migas dan tambang nikel mengepung Seram Barat di Kawasan Taniwel. Di Ambon, warga Batu Dua tak dilibatkan dalam perencanaan Lumbung Ikan Nasional. Semua ini terjadi dalam senyap. Tanpa obrolan. Tanpa gaduh.

Lalu, mengapa kita tak segaduh sekarang saat warga kehilangan tanah mereka?
Mungkin karena percakapan kita sudah diarahkan jauh dari yang penting. Kita marah, tapi cepat lupa. Kita peduli, tapi tak sempat mendalam. Kekuasaan hari ini tak lagi menekan dari luar; ia bekerja dari dalam, lewat obrolan kita sendiri—yang sibuk bicara banyak hal, tapi tak menyentuh inti.
Tragedi Firdaus seharusnya jadi titik balik. Bukan hanya untuk mengingat namanya, tapi untuk memulihkan kesadaran kita: bahwa ruang hidup di Maluku bukanlah ruang netral. Ia diperebutkan, dimanipulasi, dijual atas nama pembangunan. Dan percakapan kita, kalau tidak hati-hati, bisa ikut jadi alat kekuasaan untuk membungkam perlawanan yang sebenarnya penting.
Tragedi Firdaus membuka luka yang lebih dalam dari sekadar duka: tentang kuasa atas ruang, dan absennya negara saat nyawa hilang. Ketika publik sibuk memperdebatkan nama lembah, masyarakat adat justru menjawab dengan tindakan. Penegasan Raja Piliana untuk menutup jalur pendakian Gunung Binaiya adalah akumulasi dari rasa lelah dan marah atas pengabaian struktural. “Kami sudah capek dengan sikap BTN Manusela yang semena-mena,” ujar Agustinus Ilelapotoa, Raja Negeri Piliana (TITASTORY.ID, 22 Mei 2025).

Tindakan ini adalah pengingat bahwa Binaiya bukan tanah kosong. Ia adalah ruang hidup yang beradat dan penuh ingatan. Dalam konteks ini, pertanyaan “Gunung Binaiya milik siapa?” menjadi refleksi kritis atas sejarah perampasan yang sering luput dari percakapan publik (TITASTORY.ID, 11 Mei 2025).
Di tengah obrolan yang makin cepat dan cetek, masyarakat adat menjawab dengan tenang namun tegas: ruang hidup bukan komoditas. Binaiya memanggil kita bukan hanya untuk peduli, tapi untuk bertanya lebih jauh: siapa yang punya kuasa?
Ishak R. Boufakar merupakan anggota penuh KAC 1995 Ambon dan Mahasiswa Cultural Studies UNHAS. Saat ini berdomisili di Makassar.
            