titastory, Jakarta – Amnesty International Indonesia mengecam maraknya teror, intimidasi, dan kekerasan saat aksi protes menolak pengesahan revisi UU TNI di Jakarta dan sejumlah kota lainnya di Indonesia.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam rilis yang diterima titastory mengatakan, teror, intimidasi dan kekerasan terhadap aktivis, jurnalis, dan mahasiswa adalah cara yang melanggar hak asasi manusia, bahkan menunjukkan penguatan praktik-praktik otoriter terhadap suara-suara kritis di ruang sipil.
“Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya di Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Manado, polisi memakai kekuatan berlebihan seperti penggunaan pentungan, gas air mata, meriam air serta intimidasi dan kekerasan fisik yang tidak perlu ketika menghadapi aksi protes atas pengesahan RUU TNI,” jelasnya.

Sebelumnya, demonstrasi mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil menentang pengesahan revisi UU TNI pada Kamis (20/3) berlangsung serentak di beberapa kota, di antaranya Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Manado, dan lain-lain.
Namun aksi protes damai itu ada yang berakhir ricuh setelah polisi mengerahkan kekuatan berlebihan di beberapa kota. Muncul laporan beberapa orang luka-luka dan ditangkap.
Di Jakarta, menurut data yang dikumpulkan Amnesty International Indonesia, setidaknya empat orang yang mengalami luka-luka. Amnesty mewawancarai setidaknya tiga mahasiswa yang menjadi korban luka-luka. Ketiga mahasiswa itu, masing-masing berinisial D, DH dan RR. Mereka mengaku mengalami pukulan pentungan atau tongkat berkali-kali saat polisi membubarkan paksa massa aksi sekitar pukul 19.00 WIB.
D mengalami luka pukulan di bagian kepala, lengan dan paha kanan, hingga lutut. Sedangkan DH menderita pukulan di kepala dan pundak, serta kaca matanya hilang setelah terjatuh. Sementara RR luka-luka di bagian kepala, pundak dan tangan. Salah seorang korban saat ini bahkan masih dalam perawatan medis.
Selain itu, seorang pengemudi ojek online di kawasan Senayan dikeroyok sejumlah polisi yang menuduhnya sebagai peserta demo sehingga dia menderita luka-luka di kepala dan tangan.
Lalu seorang jurnalis IDN Times diintimidasi saat sedang merekam sejumlah polisi yang mengejar massa aksi demonstrasi tolak UU TNI di Senayan. Polisi menghampirinya dan berusaha merebut paksa ponsel serta kunci motornya.
Perlakuan kejam aparat kepada pendemo tak hanya di Jakarta, di berbagai daerah juga para pendemo mengalami hal serupa.
Di Semarang, media setempat melaporkan aksi demo di depan Gedung DPRD Jawa Tengah berakhir ricuh setelah polisi membubarkan paksa peserta demo dengan gas air mata. Empat orang ditangkap dan menderita luka-luka. Dua di antaranya yang ditangkap adalah mahasiswa, seorang sopir mobil komando dan seorang operator alat pengeras suara. Mereka ditahan beberapa jam.
Di Yogyakarta, polisi mengerahkan meriam air untuk membubarkan massa aksi. Hingga dini hari, mereka masih berupaya untuk melarikan diri ke rumah sakit dan tempat aman lainnya.
Sementara itu di Manado, tiga orang sempat ditahan dan diduga mendapat intimidasi selama diperiksa polisi. Setelah dibebaskan, seorang mahasiswa mengaku menerima empat kali pukulan di bagian dada dan perut serta diseret saat ditangkap polisi.
Penggunaan kekuatan berlebihan ini jelas bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3), UU No. 12/2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (1976), Kode Etik Aparat Penegak Hukum (1979), dan Pedoman Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api (1990), termasuk yang telah diadopsi oleh Peraturan Kapolri No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
“Seluruh landasan aturan ini mewajibkan polisi mematuhi prinsip-prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas dalam penanganan unjuk rasa,” ungkapnya.
Lebih dari sekadar kekerasan fisik terhadap demonstran, tindakan aparat juga melukai warga sipil yang kebetulan melintas di sekitar lokasi aksi, seperti yang terjadi di Jakarta. Sejumlah peserta aksi ditangkap tanpa dasar yang jelas.
Tidak sedikit yang menjadi korban luka akibat penggunaan kekuatan berlebihan aparat saat aksi damai berlangsung.
Ini belum termasuk perlakuan terhadap beberapa aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil yang menginterupsi pertemuan Panja RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta.
Rentetan kejadian ini menandai momen gelap dalam politik Indonesia yang menurut indeks demokrasi, tengah memasuki otokrasi elektoral. Kebebasan berekspresi yang jelas merupakan hak konstitusional warga negara, justru dihadapi dengan kekuatan berlebihan dan tindakan represif aparat.
Usman juga menyayangkan teror pengiriman paket kepala babi terhadap jurnalis perempuan sekaligus host siniar Bocor Alus Politik (BAP) Tempo, FCR, adalah bukti nyata serangan terhadap pers. Padahal pers adalah pilar ke-4 demokrasi.
“Amnesty mendesak kepolisian agar segera mengusut kejadian ini dan mengumumkan ke publik pelaku maupun dalangnya,” tuturnya.
Tempo dikenal sebagai media yang kritis terhadap isu-isu strategis termasuk sikap mereka yang tegas menolak revisi UU TNI. Teror ini jelas ingin menciptakan iklim ketakutan bagi para jurnalis dan kerja-kerja jurnalistik.
Selama ini kehawatiran masyarakat terhadap dominasi militer di ruang sipil bukan isapan jempol belaka. Jelang pengesahan RUU TNI yang memberi jabatan-jabatan sipil bagi anggota militer aktif, mereka yang bersuara kritis mengalami tekanan luar biasa.
Lebih dari itu, intimidasi terhadap jurnalis menunjukkan adanya upaya sistematis untuk menekan kebebasan pers. Negara tak boleh tinggal diam atas berbagai pelanggaran ini. Segera usut dan proses hukum aparat yang terlibat dalam tindakan represif terhadap aksi damai menolak pengesahan revisi UU TNI.
“Negara harus menjamin kemerdekaan untuk berkumpul, berpendapat, dan kemerdekaan pers termasuk dalam mengkritisi kebijakan dan rancangan undang-undang yang dibuat oleh DPR dan pemerintah,” tegasnya.
Penulis : Redaksi