HARI Selasa, tepat tanggal 25 April 2023, sebagai HUT ke 73 Republik Maluku Selatan (RMS). Hal ini karena pada tanggal 25 April 1950, para pendiri RMS atas nama rakyat Maluku Selatan memproklamasikan terbentuknya Negara RMS.
Pertanyaan pokok dalam pembahasan ini adalah apakah RMS sebagai Negara yang sah, ataukah RMS sebagai gerakan separatis terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Ternyata, tuduhan bahwa RMS sebagai gerakan separatis terhadap NKRI, telah dimainkan oleh para elit Jakarta untuk menyemangati penigkatan tensi konflik Maluku, agar anak negeri Maluku saling membunuh dan menghancurkan tanpa mengetahui penyebab dan tujuan pasti dari konflik itu. Jawaban terhadap pertanyaan dimaksud (apakah RMS sebagai Negara yang sah ataukah sebagai gerakan separatis), saya kutip dari sebagian materi pembelaan Kuasa Hukum Terdakwa Kasus RMS di Pengadilan Negeri Ambon Tahun 2020, dengan menampilkan para ahli sebagai berikut:
Hendry Reinhard Apituley sebagai ahli Hukum Internasional dan berulang menghadiri forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di bawah sumpah menguraikan di Pengadilan, pada intinya bahwa:
RMS yang diroklamasikan pada tanggal 25 April 1950, memenuhi semua syarat sah sebagai negara menurut hukum Internasional. Proklamasi RMS tanggal 25 April 1950, sebagai implementasi dari hak menentukan nasib sendiri oleh orang Maluku Selatan. Dalam hukum Internasional, Orang Maluku (Maluku Selatan) sebagai suatu bangsa yakni bangsa Maluku – Alifuru berhak untuk menentukan nasib sendiri sebagai suatu negara.
RMS sebagai negara yang sah kemudian ditaklukkan dengan cara aneksasi (dengan cara tidak sah) oleh NKRI yang pembentukannya baru dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1950. Pembentukan NKRI tahun 1950 tidak sah menurut hukum Internasional, oleh karena tidak dilakukan melalui penentuan pendapat rakyat sebagaimana yang diwajibkan oleh hukum Internasional. Penaklukan secara tidak sah Negara RMS oleh NKRI tidak menjadi penyebab Negara RMS menjadi hilang. RMS tetap ada dan diakui keberadaannya walaupun rakyatnya saat ini telah menjadi rakyat NKRI, wilayahnya saat ini telah menjadi wilayah NKRI (salah satu provinsi dari NKRI), dan pemerintahannya saat ini berada dalam pengasingan di Negeri Belanda. Hukum Internasional menentang, cara-cara pemaklukan suatu negara dengan cara aneksasi.
Ghazali Ohorella sebagai ahli Hukum Internasional dalan kedudukannya sebagai Ketua Masyarakat Adat Se Dunia di PBB, dalam persidangan Pengadilan Negeri Ambon di bawah sumpah menjelaskan antara lain:
Dari hasil penelitian yang dilakukan, ternyata RMS bukan singkatan dari Republik Maluku Salam, juga bukan singkatan dari Republik Maluku Sarane, namun singkatan dari Republik Maluku Selatan. RMS diproklamasikan atas kehendak masyarakat Maluku yang meliputi yang Muslim maupun yang Kristen.
Menurut Hukum Internasional dapat dikatakan bahwa deklarasi RMS pada tahun 1950 telah memenuhi syarat-syarat utama. Dimana 3 syarat utama itu berdasarkan perjanjian Montevideo. Syarat yang pertama adalah populasi, kedua adalah wilayah dan yang ketiga adalah pemerintahan, dan ketiga syarat itu sudah dipenuhi oleh RMS maka itu, kemerdekaan RMS dapat dilihat dan dapat diakui sebagai sesuatu kemerdekaan oleh Hukum Internasional.
Dari 3 syarat yang sudah dikemukakan di atas, dapat dilihat bahwa, syarat yang pertama yaitu adanya populasi, populasi ini semuanya masih ada di mana Orang Alifuru juga masih ada di Maluku, yang kedua masih ada juga karena berdasarkan perjanjian Montevideo diakui bahwa syarat wilayah harus berupa darat dan perairan tidak bisa wilayahnya berupa platform diluar 2 (dua) hal itu, dan yang ketiga bahwasannya pemerintahannya walaupun RMS tidak memiliki pemerintahan yang tetap, namun RMS tidak kehilangan statusnya untuk menjadi negara ketika salah satu dari ketiga syarat itu tidak ada.
Misalnya Jerman saat negara Jerman sedang penentuan Nazi di Jerman, pemerintahan Jerman tidak ada namun negara Jerman tidak kehilangan statusnya sebagai sebuah negara kemudian juga Somalia juga yang selama bertahun-tahun tidak memiliki pemerintahan yang berjalan efektif namun tidak kehilangan statusnya sebagai negara. Oleh krena itu maka dalam hal ini dilihat bahwa RMS masih tetap tidak kehilangan statusnya sebagai sebuah negara hanya karena dilihat bahwa pemerintahannya yang sudah tidak ada di Maluku.
Noelle Higgins (Dosen Fakultas Hukum dan Pemerintahan, Dublin City University) dalam tulisannya berjudul: ‘Opinion on the Status of the RMS’ yang telah diterjemahkan oleh Pusat Studi Bahasa Universitas Pattimura – Ambon (yang aslinya telah dimasukan pada persidangan) menjelaskan antara lain sebagai berikut:
Pendapat saya adalah Republik Maluku Selatan (RMS) mempunyai hak untuk merdeka berdasarkan hukum internasional. Pendapat tersebut akan dibahas pada bagian-bagian berikut ini:
Pertama, Dalam berbagai instrumen hukum, yakni Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville, dan Perjanjian Konferensi Meja Bundar, rakyat Maluku Selatan diberi hak untuk menentukan nasib sendiri.
Kedua, Masyarakat Maluku Selatan menggunakan hak-hak tersebut melalui suatu proklamasi kemerdekaan pada tahun 1950, dan terus berjuang untuk kemerdekaan itu setelah pemimpin mereka, Bapak Soumokil meninggal dunia pada tahun 1966.
Ketiga, Sementara itu, Pemerintah Indonesia menggunakan kekerasan secara ilegal untuk mengambil alih wilayah Maluku Selatan pada tahun 1950 dan tetap mempunyai kuasa secara de facto atas wilayah ini. Masyarakat Maluku Selatan membentuk pemerintahan mereka sendiri ketika diasingkan di Belanda, dengan kewenangan resmi wilayah RMS dipindahtangankan ke pemerintah Indonesia. Bapak J.G. Wattilete telah menjadi Presiden Pemerintah dalam Pengasingan sejak 17 April 2011. Maluku Selatan menjadi anggota Organisasi Bangsa dan Rakyat yang Tidak Terwakili pada tahun 1996 dan diwakili di sana oleh RMS.
Keempat, Pencaplokan secara ilegal oleh Pemerintah Indonesia atas wilayah Maluku Selatan tidak menghilangkan hak rakyat Maluku Selatan untuk menentukan nasib sendiri dan juga tidak menghapus keberadaan RMS yang telah diterima hukum berdasarkan yurisprudensi.
Kelima, Keberadaan RMS tidak bergantung pada pengakuan oleh Negara lain, di bawah doktrin pengakuan hukum internasional.
- Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Perjanjian Internasional
Perjanjian Linggarjati[1] ditandatangani pada tahun 1947 oleh Indonesia dan Belanda dan dimediasi oleh Inggris. Berdasarkan ketentuan perjanjian ini, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas Jawa, Sumatera dan Madura. Wilayah ini direncanakan untuk diberikan istilah ‘Negara Indonesia Serikat’. Hal ini dilakukan oleh pemerintahan Sukarno tanpa kesepakatan dari pihak masyarakat adat daerah tersebut. Namun referensi terhadap penentuan nasib sendiri disinggung dalam teks perjanjian tersebut.
Menurut Pasal 3[2] ‘Negara Indonesia Serikat terdiri dari seluruh wilayah Hindia Belanda dengan ketentuan bahwa dalam proses demokrasi, mereka yang tidak, atau belum bersedia bergabung dengan Republik Indonesia Serikat dapat menjalin hubungan khusus dengan Negara Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda. ‘
Dewan Keamanan membentuk United Nations Committee of Good Offices pada tahun 1947,[3] yang kemudian berganti nama menjadi United Nations Commission for Indonesia.[4] Komite tersebut dibentuk untuk memfasilitasi perundingan perdamaian antara Indonesia dan Belanda, dan terdiri atas Australia, Belgia dan Amerika Serikat. Pada tahun 1948, pekerjaan komite tersebut adalah untuk menjadi perantara Perjanjian Renville[5], yang disepakati di atas kapal milik Amerika Serikat, Renville. Perjanjian ini terdiri atas rencana gencatan senjata, dan berbagai prinsip yang direncanakan menjadi landasan bagi kesepakatan politik antara para pihak.[6] Perjanjian ini sekali lagi dipusatkan pada penerapan hak untuk menentukan nasib sendiri rakyat yang direncanakan menjadi Negara Indonesia Serikat. Butir 2 dari Perjanjian ini menyatakan:
‘Dipahami bahwa tidak ada pihak yang memiliki hak untuk mencegah kebebasan berekspresi gerakan sosial menjadikannya organisasi politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip Perjanjian Linggarjati.’
Poin 3 lebih lanjut menyatakan bahwa telah dipahami bahwa keputusan mengenai perubahan administrasi wilayah harus dibuat hanya dengan persetujuan penuh dan bebas dari penduduk di wilayah tersebut …’
Pada November 1949 Perjanjian Konferensi Meja Bundar dinegosiasikan di Den Haag di bawah naungan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk merumuskan agenda
pengalihan kedaulatan dari pemegang kekuasaan kolonial sebelumnya, Belanda, ke Negara Indonesia Serikat sesuai dengan prinsip Renville. Pasal 2 (1) Perjanjian Ketiga (Langkah-langkah Transisi) dari Konferensi menyatakan:
‘Pembagian Republik Indonesia Serikat menjadi negara-negara bagian pada akhirnya akan ditetapkan oleh Majelis Konstituante sesuai dengan Konstitusi Sementara Negara Indonesia Serikat, dengan pemahaman bahwa pemungutan suara akan diadakan di antara penduduk wilayah-wilayah yang ditunjukkan oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat atas rekomendasi Komisi Amerika Serikat untuk Indonesia, atau salah satu organ Perserikatan Bangsa-Bangsa di bawah pengawasan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia atau Perserikatan Bangsa-Bangsa lain yang dimaksud, mengenai persoalan pembentukan negara komponen yang terpisah.
Pasal 2 (2) menyatakan:
‘Setiap negara bagian harus diberi kesempatan untuk meratifikasi konstitusi sah. Dalam hal negara komponen tidak meratifikasi konstitusi, maka diperbolehkan untuk merundingkan hubungan khusus negara bagian tersebut dengan Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda. ‘
Setelah mengatur pengalihan kedaulatan dari wilayah Hindia Belanda ke Indonesia yang telah merdeka, dalam Perjanjian ini, Belanda membentuk lima belas negara bagian federal. Konstitusi Federal dibuat pada tahun 1949[7] dan dokumen ini juga membahas secara singkat masalah penentuan nasib sendiri. Konstitusi ini mengizinkan ‘penentuan nasib sendiri internal’ yang dipahami sebagai hak dari setiap orang untuk memutuskan status mereka dalam struktur federal Negara Indonesia Serikat.[8] Hindia Belanda secara resmi tidak ada lagi pada tanggal 27 Desember 1949 dan Republik Indonesia Serikat didirikan. Saat masuk PBB tahun 1950, RIS telah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semua instrumen hukum tersebut menjanjikan hak untuk menentukan nasib sendiri masyarakat Maluku Selatan. Rakyat Maluku Selatan telah memilih untuk menggunakan hak ini melalui proklamasi kemerdekaan.
- Proklamasi Kemerdekaan RMS
Pada tanggal 25 April 1950, sebelum Proklamasi Republik Indonesia, masyarakat Maluku Selatan mendeklarasikan berdirinya negara mereka, Republik Maluku Selatan yang terdiri dari wilayah orang Maluku. Republik ini mendeklarasikan pemisahannya dari Indonesia Timur dan Negara Indonesia Serikat. Menanggapi hal tersebut, Republik Indonesia berusaha untuk merundingkan kesepakatan dengan RMS. Ketika upaya negosiasi gagal, Republik Indonesia mengerahkan pasukan bersenjata ke Kepulauan Buru dan Seram di Maluku untuk memadamkan perlawanan terhadap Indonesia Serikat dan menguasai wilayah tersebut dengan kekerasan. Pasukan Maluku tidak mampu menahan serangan gencar tersebut.[9]
Penting untuk dicatat bahwa Maluku Selatan tidak pernah resmi ‘bergabung’ dengan Republik Indonesia Serikat, dimana Republik Maluku Selatan telah berdiri sebelum Republik Indonesia terbentuk.[10] Pemungutan suara untuk menentukan keinginan rakyat Maluku, seperti yang dijanjikan dalam berbagai instrumen termasuk Perjanjian Linggarjati, tidak pernah dilaksanakan. Presiden Republik Indonesia, Soekarno, mulai bergerak untuk mempersatukan seluruh Indonesia, melawan keinginan pihak-pihak yang lebih menyukai Indonesia untuk tetap sebagai negara federal. Ketika pemerintah Jakarta mulai menggabungkan wilayah negara bagian federal lainnya ke dalam Republik Indonesia melalui ketetapan dan bahkan penggunaan kekerasan, gagasan pembentukan negara kesatuan mendapat banyak perlawanan di banyak daerah, termasuk Maluku Selatan. Oleh karena itu, RMS bukanlah gerakan separatis, melainkan sebuah negara berdaulat, yang telah mendeklarasikan kemerdekaannya sebelum pembentukan negara kesatuan Indonesia.
Tindakan Soekarno yang menggunakan kekerasan untuk menguasai Maluku Selatan setelah proklamasi kemerdekaan Republik Maluku Selatan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Maluku Selatan dan pelanggaran hak penentuan nasib sendiri rakyat dari wilayah tersebut.
- Pemerintah dalam Pengasingan
RMS bertindak sebagai pemerintahan dalam pengasingan di Belanda setelah para pemimpinnya melarikan diri dari Maluku pada tahun 1950-an. Pemerintah dalam pengasingan ini terus berjuang dalam berbagai bentuk dan terus menuntut kemerdekaan sejak saat itu. Perjuangan ini berlanjut setelah pemenjaraan dan eksekusi pemimpin RMS, Bapak Soumokil pada tahun 1960-an dengan maksud dan tujuan yang sama. Sejak itu, RMS terus menentang kekuasaan pemerintahan Indonesia atas Maluku Selatan meski terputus-putus. RMS dihidupkan kembali pada akhir 1990-an, dengan tuntutan-tuntutan baru untuk kemerdekaan Maluku. RMS terus berlanjut sebagai badan pemerintah sejak didirikan, dan telah mengambil kembali kuasa atas wilayah Maluku Selatan. Pemerintah Indonesia sudah melarang kelompok tersebut dan telah mengambil tindakan keras. Mereka dan siapapun yang dicurigai menjadi anggota RMS atau siapapun yang mengibarkan bendera RMS akan ditangkap. Perlakuan terhadap anggota RMS oleh pemerintah Indonesia terkadang memaksakan RMS untuk tidak menonjolkan diri, namun meskipun demikian, mereka tidak pernah menyerahkan kewenangan atas wilayah tersebut kepada entitas lain dan secara konsisten mempertahankan tuntutannya untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan dari Indonesia.
Dengan adanya pengakuan negara-negara baru, keputusan untuk memberikan pengakuan kepada pemerintah dalam pengasingan seringkali merupakan keputusan politik. Mengenai masalah pemerintahan dalam pengasingan selama Perang Dunia II, Oppenheimer menyatakan bahwa
‘Pengakuan berbagai pemerintah yang berada di London setelah invasi negara mereka di Eropa, jelas sesuai dengan prinsip Hukum Internasional yang lama dan sudah jelas, bahwa okupasi militer tidak mempengaruhi kedaulatan negara tersebut. Pihak yang mempunyai kekuasaan pada masa itu bukanlah penerus kedaulatan yang sah di wilayah pendudukan, tetapi merupakan pemerintahan yang didasarkan pada pemaksaan yang dilakukan sebagai tindakan perang. Menolak pengakuan tersebut juga akan bertentangan dengan makna Kovenan Liga Bangsa-Bangsa dan prinsip Pakta Briand-Kellogg bahwa perang dilarang sebagai instrumen kebijakan nasional dan bahwa baik kekerasan maupun penaklukan militer bukanlah hak yang sah untuk memperoleh wilayah. ‘[11]
Keberadaan RMS agak berbeda dengan negara-negara Eropa yang diduduki selama Perang Dunia II di mana negara-negara Eropa tersebut adalah negara-negara yang sudah sah dan menjadi negara berdaulat yang independen untuk sejumlah waktu sebelumnya, sedangkan persoalan status RMS tidak pernah diperjelas pada saat berdirinya negara Indonesia. Meskipun demikian, Pemerintah Indonesia telah menguasai wilayah tersebut pada tahun 1950 setelah deklarasi kemerdekaan RMS melalui penggunaan kekerasan secara ilegal. Oleh karena itu, okupansi ini dapat dilihat sebagai tindakan yang agresif, dan pemerintah RMS dalam pengasingan adalah sebagai perwakilan yang sah dari Negara tersebut. RMS telah dilarang untuk melakukan penguasaan efektif atas wilayah Maluku Selatan oleh pemerintah Indonesia. Ini dimulai pada tahun 1950 ketika pasukan Indonesia menggunakan kekerasan terhadap orang-orang Maluku Selatan yang telah memproklamasikan kemerdekaan, dan berlanjut ketika angkatan bersenjata Indonesia terus menggunakan kekuatan terhadap setiap upaya yang dilakukan oleh RMS untuk mendapatkan kembali kekuasaan de facto atas wilayah tersebut. Pemerintah Indonesia, dengan melarang RMS, telah mencegah RMS untuk mendirikan pemerintahan di wilayah tersebut, sehingga memperpanjang pengasingan pemerintahan RMS. Mereka membuktikan kewenangan atas wilayah Maluku Selatan dengan bergabung dengan UNPO pada 1990-an.
Kewenangan RMS atas wilayah Maluku Selatan juga telah disoroti dalam yurisprudensi, yang juga telah mengakui hak penentuan nasib sendiri rakyat Maluku Selatan, legitimasi proklamasi kemerdekaan RMS dan eksistensi negara di bawah kewenangan RMS.
- Pengakuan RMS dalam Keputusan Hukum dan Yurisprudensi
Asosiasi Hukum Internasional Belanda mengeluarkan resolusi pada bulan Juni 1950 tentang Maluku Selatan sebagai tanggapan atas permintaan JP Nikijuluw bahwa:
‘… penduduk Ambon yang mendiami wilayah Maluku Selatan adalah ‘populasi di suatu wilayah’ sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 bagian. 1 dari Persetujuan Tindakan Transisi … sehingga rakyat ini memiliki hak untuk membentuk dirinya menjadi ‘Negara bagian’ yang terpisah dengan cara yang disediakan, dimana setelah itu, berdasarkan pasal 2 bagian 2 atas Perjanjian Tindakan Transisi, memiliki kesempatan untuk menolak Konstitusi Republik Indonesia Serikat – yaitu untuk tetap menjadi bagian dari Republik tersebut atau memisahkan diri darinya … ‘
Resolusi ini menyatakan bahwa ‘Republik Maluku Selatan berhak memproklamasikan kemerdekaannya dan secara hukum berhak mempertahankan kemerdekaan itu dari pihak manapun, untuk merealisasikan haknya yang bersumber dari pasal 2 Perjanjian tentang langkah-langkah Transisi, untuk bernegosiasi dengan Negara Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda mengenai hubungan khusus dengan kedua negara ini.’[12]
Pengadilan Amsterdam juga menyinggung hak untuk menentukan nasib sendiri rakyat Maluku Selatan pada tahun 1950. Pada saat itu, RMS telah mengajukan kasus terhadap NV Koninklijke Pakketvaart Maatschappij (Royal Packet Company Ltd.).[13] Presiden Pengadilan mempertanyakan apakah RMS adalah sebuah negara, dan apakah RMS dapat menjadi satu pihak dalam tindakan sipil. Presiden pengadilan tersebut juga membahas masalah apakah proklamasi kemerdekaan RMS adalah pelaksanaan hak untuk menentukan nasib sendiri yang sah. Pertama, dinyatakan bahwa Belanda telah mengakui RMS dalam Undang-Undang Parlemen Belanda tanggal 21 Desember 1949, Lembaran Negara J570 (Undang-Undang Penyerahan Kedaulatan atas Indonesia), yang dengannya Perjanjian Tindakan Transisi disahkan. Dilanjutkannya bahwa ‘Atas itikad baik, Kerajaan Belanda yang telah memenuhi kesepakatan dengan Republik Indonesia Serikat, tidak boleh menyalahkan penduduk di wilayah Maluku Selatan karena telah bertindak sebagaimana sudah diatur oleh hukum internasional, ketika pihak lain melanggar perjanjian. ‘ [14]
Kasus tersebut diajukan ke Pengadilan Banding di Amsterdam yang mengeluarkan putusan pada bulan Februari 1951. Putusan[15] ini yang mengacu pada ketentuan tentang penentuan nasib sendiri yang tertuang dalam Perjanjian Linggarjati dan Renville, menyatakan bahwa ‘meskipun masih sepenuhnya di bawah kekuasaan Belanda, wilayah Maluku Selatan, dengan alasan situasi geografis dan rasnya, budaya, dan kepentingan bersama penduduknya, telah membentuk kesatuan alami, dengan sistem pemerintahan lokalnya sendiri. ‘. Terkait ini, Pengadilan memutuskan bahwa:
‘1) masyarakat Maluku Selatan adalah masyarakat teritorial yang menurut ketentuan perjanjian Linggarjati, Renville dan pasal 2 dari Perjanjian tentang Tindakan Transisi, dapat memenuhi syarat untuk pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri. 2) kemungkinan terwujudnya hak untuk menentukan nasib sendiri dirampas dari rakyat yang membentuk negara tersebut dengan terbentuknya Rakyat Indonesia sebagai negara kesatuan di bawah kepemimpinannya sendiri serta otoritas tertinggi. Hal ini bertentangan dengan apa yang disepakati dalam pakta yang disebutkan di atas dan pada Konferensi Meja Bundar. 3) dilihat dari pasal 1 dan 2, proklamasi Republik Maluku Selatan … diperbolehkan dalam keadaan tersebut; 4) bahwa kewenangan Republik Maluku Selatan dan Pemerintahnya atas penduduk di wilayah Maluku Selatan, dalam hal jangka waktu, sifat, dan jangkauannya, memenuhi … kondisi stabilitas dan efektivitas untuk dianggap sebagai kewenangan dari Negara yang ada sudah cukup. ‘[16]
Mahkamah Agung New Guinea juga mengeluarkan suatu keputusan yang membahas status RMS pada Maret 1952, dalam De Republiek Maluku Selatan v De Rechtspersson Nieuw-Guinea.[17] Kasus tersebut
diangkat oleh Republik Maluku setelah muatan kapal yang berisi kopra disita dan dijual oleh otoritas Guinea Baru. Pengadilan memutuskan bahwa penggugat berhak atas hasil penjualan karena diyakini bahwa RMS telah berdiri secara sah pada bulan April 1950 melalui pelaksanaan penentuan nasib sendiri yang telah dijamin oleh Linggadjati, Renville dan Perjanjian Meja Bundar. Ketika RMS menetapkan dirinya sebagai negara bebas, dia memutuskan hubungan dengan Indonesia dan bertindak sebagai negara berdaulat. Oleh karena itu, legal personality atau pengakuannya sebagai subjek hukum internasional sebagai suatu negara tidak dapat disangkal. Pengadilan New Guinea tersebut juga berpendapat bahwa karena RMS telah memutuskan hubungan dengan Indonesia, maka secara otomatis semua hak dan kekuasaan pemerintah digantikan, termasuk yang berkaitan dengan hasil bumi asli. Oleh karena itu, baik Indonesia maupun Otoritas Kopra tidak mempunyai kepentingan atas pengiriman tersebut.
Keterangan-keterangan tersebut mengakui keberadaan RMS sebagai negara berdaulat dan legalitas pemerintahan RMS.
- Masalah Pengakuan
Konvensi Montevideo menguraikan karakteristik yang diperlukan bagi suatu entitas untuk mencapai persyaratan kenegaraan dalam Pasal 1, sebagai berikut;
‘Negara sebagai subjek hukum internasional, harus memiliki kualifikasi berikut: (a) penduduk tetap; (b) wilayah yang telah ditentukan; (c) suatu pemerintah; dan (d) kapasitas untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain. ‘
Persyaratan penduduk permanen dan wilayah tertentu dapat dipenuhi jika mengacu pada wilayah dan populasi yang dicakup oleh deklarasi pembentukan RMS pada tahun 1950. Selain itu, seperti diuraikan di atas, RMS pada saat itu telah memiliki perwakilan yang sudah mengaku sebagai pemerintah dalam pengasingan untuk sebagian besar waktu sejak 1950.
Pada syarat keempat Shaw menyatakan bahwa:
‘Kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain adalah suatu aspek keberadaan entitas negara yang bersangkutan serta indikasi penting yang melekat pada pengakuan oleh negara lain. ‘[18]
Sementara dinyatakan bahwa ini adalah kapasitas yang tidak terbatas pada negara berdaulat karena pihak lain yang bukan negara berdaulat juga dapat melakukan hubungan sah. Lanjutan dari pernyataan tersebut adalah bahwa:
‘Dapat menjalin hubungan sah dengan pihak atau negara lain sesuai keinginan adalah hal penting bagi negara berdaulat. Jika tidak dapat dilakukan, entitas ini tidak dapat menjadi negara merdeka. Perhatian di sini bukan pada tekanan politik oleh satu negara terhadap negara lain, melainkan ketidakmampuan untuk masuk ke dalam suatu hubungan sah atau hukum. ‘[19]
Persoalannya bukanlah apakah RMS telah menggunakan hak untuk menjalin hubungan hukum dengan Negara lain, tetapi apakah ia memiliki kapasitas untuk melakukannya. Kapasitas ini dapat diilustrasikan dengan keanggotaan RMS di UNPO. Masuknya ke dalam hubungan sah dengan Negara lain tentunya tergantung dari sikap yang diambil oleh negara lain terkait dengan pemerintah dalam pengasingan RMS. Ini seringkali merupakan keputusan politik, dan tidak adanya aturan yang jelas yang ditetapkan dalam hukum internasional mengenai keputusan tersebut. Sejarah telah menunjukkan bahwa setiap negara melakukan pendekatan yang sangat berbeda dalam hal memberikan pengakuan kepada entitas-entitas yang dengan mudah, memenuhi persyaratan Konvensi Montevideo.
Ada dua pendekatan teoritis pengakuan negara yakni teori konstitutif dan teori deklarasi. Teori konstitutif ‘menyatakan bahwa pengakuan oleh negara lain yang membuat suatu negara baru sah dan memberinya hak dan kewajiban sebagai subjek hukum internasional (legal identity), bukan proses perolehan kemerdekaannya.’[20]
Teori ini menyatakan bahwa pengakuan oleh negara lain diperlukan agar suatu entitas dapat menikmati status kenegaraannya. Namun, justifikasi ini gagal untuk menjawab persoalan bahwa kenyataan dimana suatu entitas dapat memenuhi semua karakteristik kenegaraan, tetapi mungkin ditolak pengakuannya karena kepentingan politik. Teori deklarasi ‘mengadopsi pendekatan yang berlawanan dan sedikit lebih sesuai dengan kenyataan yang praktis. Ia mempertahankan bahwa pengakuan hanyalah penerimaan oleh negara-negara atas suatu negara yang sudah ada. Sebuah negara baru akan memperoleh kapasitas dalam hukum internasional bukan berdasarkan persetujuan pihak lain tetapi berdasarkan situasi dan kondisi tertentu. ‘[21]
Meskipun RMS tidak memiliki pengakuan formal oleh negara-negara lain, RMS telah ada sejak tahun 1950 dan keberadaannya telah diakui dalam yurisprudensi. Hal ini memenuhi teori pengakuan deklarasi.
Praktek baru pada kasus tentang Pengakuan
Deklarasi kemerdekaan oleh negara Kosovo pada 17 Februari 2008 mengalihkan perhatian internasional pada persoalan hak untuk memisahkan diri dan hak untuk merdeka suatu negara. Serbia meminta Mahkamah Internasional untuk mengeluarkan opini nasehat atas pertanyaan berikut:
‘Apakah deklarasi kemerdekaan sepihak oleh Lembaga Sementara Pemerintahan Sendiri Kosovo sesuai dengan hukum internasional?’[22]
Putusan M.I atas Kosovo menunjukkan bahwa deklarasi kemerdekaan sesuai dengan hukum internasional, menafsirkan ‘sesuai dengan’ sebagai ‘tidak melanggar’. Pengadilan tersebut, menekankan bahwa adanya hak atas kemerdekaan untuk kategori masyarakat tertentu, dan tidak adanya larangan dalam hukum internasional atas deklarasi kemerdekaan.
Opini Nasehat Mahkamah Internasional tentang Accordance with the International Law of the Unilateral Declaration of Independence of in respect of Kosovo menyatakan hal-hal berikut sehubungan dengan deklarasi-deklarasi kemerdekaan;
‘Selama paruh kedua abad ke-20, hukum internasional tentang penentuan nasib sendiri dikembangkan sedemikian rupa untuk menciptakan hak kemerdekaan bagi rakyat di wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri dan untuk masyarakat yang tunduk pada penaklukan, penguasaan dan eksploitasi oleh pihak lain. ‘[23]
Sementara, Mahkamah Internasional juga menyinggung prinsip integritas teritorial yang diuraikan secara khusus dalam Pasal 2.4 Piagam PBB. (Paragraf 80) M.I kemudian menyatakan bahwa:
‘Secara umum, hukum internasional tidak ada ketentuan yang melarang deklarasi kemerdekaan, yang dapat diberlakukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa deklarasi kemerdekaan 17 Februari 2008 tidak melanggar hukum internasional. ‘[24]
Lebih dari 80 negara telah mengakui Kosovo sebagai negara yang merdeka, tetapi komunitas internasional belum mempunyai keputusan mutlak, dimana banyak negara belum mengakuinya. Sementara banyak anggota UE telah mengakui Kosovo, negara Spanyol belum. Rusia juga belum mengakuinya. Keputusan untuk memberikan pengakuan atau tidak pada dasarnya adalah keputusan politik. Negara-negara yang mempunyai kepentingan tertentu terhadap gerakan-gerakan separatis yang ada di dalam perbatasannya sendiri cenderung tidak mengakui serta menekankan integritas teritorial Serbia. Negara-negara lain, tanpa kekhawatiran yang sama, telah mengutarakan pengakuannya. Meskipun pengakuan mungkin memiliki dampak yang cukup besar dalam efektifitas suatu negara, opini nasehat M.I menjelaskan bahwa legalitas atau klaim atau deklarasi kemerdekaan tidak tergantung pada sikap negara lain. Oleh karena itu, pengakuan atau non-pengakuan RMS oleh Negara lain tidak berdampak pada keberadaan atau legitimasi RMS.
Kesimpulannya, menurut saya (Higgins) RMS telah ada, dan terus ada, sebagai negara sejak proklamasi kemerdekaannya pada tahun 1950. Pemerintah RMS dalam Pengasingan tidak pernah mencabut proklamasi kemerdekaannya. Fakta bahwa negara lain belum mengakui RMS tidak mengubah status ini sama sekali di bawah teori deklarasi pengakuan. Kehadiran Indonesia yang terus berlanjut di wilayah Maluku Selatan harus dilihat sebagai okupasi, dan bukan sebuah pemerintahan, mengingat deklarasi kemerdekaan RMS. Kehadiran Indonesia telah mengganggu kemampuan RMS untuk memerintah secara efektif, namun hal ini tidak meniadakan klaim RMS atas wilayah Maluku Selatan. Pemerintahan di Maluku Selatan diserahkan kepada Pemerintah dalam Pengasingan RMS pada tahun 1966 dan kelompok ini tetap menjadi pemerintahan de jure sejak saat itu.
Inti dari pendapat Noelle Higgins tersebut adalah RMS memiliki syarat sah sebagai negara menurut hukum Internasional. Kemudian Negara RMS ditaklukkan secara tidak sah (dianeksasi) oleh NKRI. Penaklukan Negara RMS oleh NKRI tidak menjadi penyebab Negara RMS menjadi hilang. RMS tetap ada dengan pemerintahan pengasingan di Belanda. Hukum Internasional menentang, cara-cara pemaklukan suatu negara dengan cara aneksasi.
Semuel Waileruny dalam bukunya ‘Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku’ menyebut nama beberapa sarjana antara lain Gesina van der Mollen, Karen Parker, Kapeyne van der Capello, Hendrik Jan Rethof, Kruls, Gerad Louwrens Tichelman yang menyebut bahwa RMS sebagai negara yang sah. Juga dalam tulisannya berjudul ‘Memahami Republik Maluku Selatan Dalam Pendekatan Keilmuwan” menyebut nama para sarjana tersebut ditambah Noelle Higgins, dan Eric de Brabandere dengan pendapat-pendapat mereka dengan analisa yuridis yang begitu kuat. Brabandere dari Grotius Centre for International Studies 1 Universiteit Leiden (Nederland) berpendapat, bahwa (diterjemahkan Hendry Reinhard Apatuley) bahwa:
Subjek ini mempunyai titik tolak bahwa, mengenai Negara RMS, berbagai pengadilan di masa depan secara tersurat dan tersirat telah menerima bahwa RMS adalah suatu negara di bawah hukum internasional, karena Negara RMS mendapat pengakuan oleh hakim pengadilan Negara Kerajaan Belanda, berdasarkan status badan hukum internasionalnya sebagai subjek dihadapan pengadilan Negara Kerajaan Belanda. Meskipun Negara RMS kurang mendapat pengakuan oleh negara lain secara internasional, tidak mempengaruhi keberadaan negara RMS maupun kelangsungan keberadaan Negara RMS tersebut. Teori deklaratoir dari lembaga pengakuan internasional yang diterima dalam hukum internasional sekarang ini, mencakup bahwa pengakuan suatu negara hanya menjadi perbuatan politik pemerintah negara belaka, yang tidak tergantung dari keberadaan dan kelangsungan keberadaan suatu negara dibawah hukum internasional;
Sejak pemberlakuan prinsip pelarangan penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional, sebagaimana disebutkan dalam Piagam PBB, Bab I, Pasal 2, ayat (4), berlaku ketentuan bahwa suatu negara tidak boleh menganeksasi wilayah negara lain dengan penggunaan kekerasan dan/atau kekuatan (militer). Penguasaan secara militer dari suatu negara terhadap negara lain tidak memiliki pengaruh prinsipiil terhadap kelangsungan hidup negara lain itu; kedaulatan negara yang dianeksasi itu tetap ada, walaupun kekuasaan efektif dari negara yang dianeksasi itu tidak dapat dilakukan secara penuh;
Prinsip ‘debellatio’ yang membenarkan perolehan kedaulatan teritorial melalui penggunaan kekuatan (agretion) dan kemudian pendudukan (annexation) dan/atau penaklukan (conquest) oleh suatu negara atas suatu negara lain sekalipun tidak dapat membubarkan negara yang dianeksasi itu. Dalam perihal ini prinsip ‘ex injuria jus non oritur’ mengenyampingkan prinsip ‘ex factis jus oritur’. Bahwa penggunaan kekerasan (violence) dan/atau kekuatan (power) tidak dapat mengakibatkan aneksasi negara lain. Dan bahwa pemerintah Negara RMS tidak dapat melaksanakan kekuasaannya secara penuh atas wilayahnya oleh karena adanya aneksasi dan/atau penaklukan atas wilayah Negara RMS itu oleh pemerintah NKRI dengan kekerasan dan/atau kekuatan (militer), tidak berarti bahwa RMS sebagai suatu negara yang berdaulat dan merdeka telah bubar dan/atau telah mati. Keberadaan pemerintah negara RMS dalam pengasingan (in exile) memperkuat pendapat bahwa RMS sebagai suatu negara sebenarnya masih tetap ada (still exist) dan masih tetap hidup (still alife).
Salah satu ahli Hukum Internasional yang lain yakni Hendrik Jan Roethof (1960: 118), bahwa:
Negara RMS memiliki status hukum yang sangat besar melebihi negara-negara lain yang kedaulatannya telah diakui dan telah diterima sebagai anggota PBB ….. Sangat jelas bahwa Negara RMS bukan merupakan bagian dari NKRI, karena pada tanggal 15 Agustus 1950, pemerintah Negara RMS yang berkuasa secara nyata di ibukota Amboina (Maluku Selatan), yang tidak pernah bergabung dengan pemerintah Negara RI (yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945). Juga setelah tanggal 19 Agustus 1950, Negara RMS tidak menjadi bagian dari NIT, karena NIT berada dalam suatu penghancuran total oleh negara bagian RI.
Kenyataan bahwa pada tanggal 25 April 1950, pemerintah Maluku Selatan mendeklarasikan pemutusan semua hubungan politik dengan NIT dan Negara RIS, dan Negara RMS berhak melakukan perihal tersebut karena badan konstituante Negara RIS sebagaimana diatur pada perjanjian transisi dari KMB tidak melakukan ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian transisi itu sendiri, karena adanya aksi yang melanggar hukum yang menjadikan pasal-pasal dalam perjanjian transisi tersebut sebagai huruf-huruf mati, dan berpengaruh bagi pemerintahan itu sendiri ….. Secara formal aksi pemerintah Maluku Selatan adalah benar, dan ini sesuai dengan perlakuan hukum internasional universal dalam perihal sebagai berikut:
adanya ‘prinsip hak untuk menentukan nasib sendiri secara eksternal’ (external right of self-determination principle), dalam arti pasif; seperti yang dirumuskan oleh Wilson di bawah motto: “Rakyat (people) tidak boleh dibarterkan menyangkut kedaulatan-kedaulatan seakan-akan masyarakat merupakan permainan harta benda dan rumah gadai ….. “. Dari awal kita dapat melihat bahwa ada satu perbedaan besar antara situasi ini dengan penyerahan kedaulatan terhadap pemerintah dan parlemen Indonesia yaitu bahwa mereka tidak dengan bebas dipilih tetapi ditunjuk. Perbedaan ini merupakan suatu makna yang ‘mendasar’ (fundamental) jika orang memperhatikan karakter proklamasi Negara RMS yang legislatif.
Alhi Hukum Internasional yang lain yakni J. D. Karen Parker menjelaskan bahwa:
Pembentukan Negara RMS melalui mekanisme plebisit (penentuan pendapat rakyat) dilakukan di Negeri Tulehu – Pulau Ambon, sebagai implementasi dari ‘hak untuk menentukan nasib sendiri’ sesuai ketentuan Hukum Internasional sebagaimana telah juga diatur dalam perjanjian-perjanjian pada Konperensi Meja Bundar (KMB)[25], yang memberikan kepada bangsa-bangsa dalam wilayah Hindia-Belanda (termasuk bangsa Alifuru dalam wilayah Maluku) suatu Hak Prerogative guna menolak penggabungan ke dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), baik dengan cara pemungutan suara negative dalam suatu plebisit pra-gabung atau dengan menolak untuk menyetujui Undang-Undang Dasar Negara RIS yang bersifat final (Parker, 1996: 9).
Selanjutnya Parker (1996: 13) selanjutnya berpendapat, bahwa ‘meskipun tidak adanya suatu pengakuan yang dapat dijadikan pegangan dalam perihal hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self-determination) bagi orang-orang Maluku (selatan), rakyat Maluku (selatan) telah memenuhi segala persyaratan dan/atau pengujian Hukum Internasional menyangkut hak untuk menentukan nasib sendiri’.
‘Pemerintah Negara RMS merupakan suatu pemerintahan yang sah adanya, ditumbangkan secara tidak sah oleh pemerintah Indonesia. Rakyat Maluku Selatan memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self-determination), oleh karena hak untuk menentukan nasib sendiri ini secara khusus telah diberikan kepada mereka (rakyat Maluku Selatan) oleh sejarah dan ditegaskan dalam perjanjian antara pemerintah Negara Kerajaan Belanda dan pemerintah Negara Republik Indonesia, serta diakui oleh PBB.
Maluku Selatan secara tidak sah telah diduduki oleh pemerintah Negara RI dan/atau NKRI yang segera harus menarik mundur orang-orang Indonesia beserta pasukan tentaranya. Rakyat Maluku Selatan harus diberi kesempatan untuk mengakui pemerintahannya di Maluku Selatan atau apabila dikehendaki, menentukan pilihannya sendiri dengan menyelenggaran suatu plebisit yang akan menentukan suatu pemerintahan sesuai dengan keinginan mereka (Rakyat Maluku Selatan). Pemerintah Negara Kerajaan Belanda dan PBB secara keseluruhan harus berprakarsa dalam upaya untuk mengembalikan hak menentukan nasib sendiri kepada rakyat Maluku Selatan’.
Sedangkan Gesina Hermina Johanna van der Mollen (1960: 72) berpendapat bahwa:
Terdapat 3 (tiga) syarat prinsip yang harus dipenuhi sebelum suatu entitas dapat diterima kehadirannya sebagai suatu negara dalam masyarakat negara-negara. Harus ada WILAYAH dengan ditandai batas-batas, dimana ada suatu BANGSA yang ingin membentuk suatu masyarakat yang sah, dan harus ada satu PEMERINTAH yang mengatur administrasi. Kualifikasi ini secara penuh telah dimiliki pada saat RMS diproklamasikan kemerdekaannya sebagai suatu negara yang berdaulat. Orang-orang Maluku Selatan yang membentuk masyarakat Maluku Selatan adalah kebanyakan orang-orang terpelajar dari daerah paling timur. Mereka secara politik dan budaya jauh lebih berkembang dari banyak ras yang lain. Mereka sangat sadar akan maksud tindakan mereka pada tanggal 25 April 1950, dan mereka sangat siap untuk suatu ‘pemerintahan sendiri’ (self-governing).
Administrasi pemerintahan mereka dari awal sangat mempunyai tatanan yang sempurna, dan pemerintahannya tidak mengalami kesulitan untuk mempunyai otoritas yang dimiliki. Posisi sah RMS sebagai suatu negara yang berdaulat dan merdeka tidak berubah sejak tanggal 25 April 1950. Mempertimbangkan masalah RMS dari sudut pandang hukum tidak ada kesangsian terhadap keberadaannya sebagai suatu negara dalam pengertian hukum internasional modern. Sekali lagi, ingin ditekankan bahwa Negara RMS sudah menggunakan haknya untuk menentukan nasib sendiri secara sah menurut hukum (internasional).
Para ahli Hukum Internasional yang tergabung dalam Asosiasi Hukum Internasional Cabang Belanda (de Nederlandse Vereninging voor International Recht – NVIR) dalam sidangnya di Rotterdam (Belanda) pada tanggal 24 Juni 1950, telah menyetujuinya bahwa proklamasi RMS sebagai wujud pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri menurut Hukum Internasional. Dijelaskan selanjutnya:
Bahwa pemerintah Negara Kerajaan Belanda yang memenuhi perjanjian dengan Negara RIS sendiri, boleh saja tanpa mengetahui keadaan dan/atau kejadian yang sebenarnya, telah menyalahi penduduk wilayah Maluku Selatan yang telah mengambil tindakan secara sah menurut Hukum Internasional ketika pihak yang satu – lawan pihak yang lain – melanggar perjanjian. Juga, keputusan Banding Pengadilan di Amsterdam pada tanggal 8 Pebruari 1951, menyatakan bahwa:
Ketika keseluruhan wilayah Maluku Selatan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Belanda, wilayah ini dengan alasan, baik letak dan/atau situasi wilayah secara geografis, ras, kebudayaan, dan kepentingan umumnya, penduduk, sudah membentuk suatu kesatuan secara alami dan benar-benar asli, dengan sistem kepemerintahannya sendiri. Berdasarkan Perjanjian Linggarjati, Prinsip Tambahan pada Perjanjian Renville, Perjanjian van Royen-Roem dan Pasal 2 Perjanjian Transisi, maka Pengadilan berpendapat agar dipertimbangkan:
- Masyarakat Maluku Selatan adalah masyarakat yang berwilayah sesuai dengan yang telah ditentukan dalam perjanjian-perjanjian tersebut di atas, dapat memenuhi kriteria tentang pelaksanaan ‘hak untuk menentukan nasib sendiri’ (the right of self-determination);
- Kemungkinan untuk merealisasikan ‘hak untuk menentukan nasib sendiri’ (the right of self-determination) itu dengan cara ini, ternyata sudah dirampas dari penduduk Maluku Selatan ketika terciptanya wilayah itu sewaktu Negara ‘Republik Indonesia’ (RI) diciptakan dalam bentuk ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (NKRI) bagi seluruh wilayah Hindia-Belanda dibawah kepemimpinan dan kekuasaan tertinggi Negara RI sendiri, yang adalah bertolak belakang dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian-perjanjian tersebut di atas;
- Bahwa dengan memperhatikan kedua point tersebut di atas, maka proklamasi ‘Republik Maluku Selatan’ (RMS) sebagai suatu negara dapat dibenarkan dengan mempertimbangkan situasi ketika itu;
- Penguasa RMS dan kepemerintahan atas penduduk wilayah Maluku Selatan, dengan mempertimbangkan masa waktunya, sifat dan keberadaannya, telah cukup memenuhi kriteria kondisi, stabilitas dan efektifitasnya untuk diperlakukan sebagai Penguasa dan/atau Pemerintah sah negara yang diproklamasikan itu yaitu, Republik Maluku Selatan.
Keputusan banding tersebut, ditanggapi oleh N. J. C. N. Kapeyne van de Capello (1960: 90) sebagai berikut:
‘….. Rangkaian fakta yang menciptakan preseden legal dan hal tersebut lebih jelas dituangkan dalam suatu keputusan yang diterbitkan oleh Mahkamah Tinggi di Amsterdam (Belanda) pada tanggal 8 Pebruari 1951. Mahkamah mempertimbangkan memperhatikan fakta-fakta yang menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan RMS sebagai suatu negara harus dipertimbangkan sebagai suatu metode pemberlakuan hak untuk menentukan nasib sendiri yang oleh atau atas/nama rakyat Maluku Selatan, karena hal tersebut terijinkan oleh rakyat. Jelas atau tidak yaitu kenyataan bahwa RMS itu benar atau salah, telah menjalankan hak untuk menentukan nasib sendiri yang diakui oleh PBB, pada dasarnya sama terhadap semua orang. RMS diproklamasikan oleh Badan Perwakilannya sebelum adanya NKRI dan tidak mempunyai hubungan konstitusional dengan NKRI, dan bukanlah merupakan persoalan dalam negeri NKRI …..”.
Keputusan Pengadilan’ (Raad van Justitie) di Guinea Baru (New Guinea) tanggal 7 Maret 1952, menyebutkan antara lain bahwa:
Perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani oleh pemerintah Negara Kerajaan Belanda, Pemerintah Indonesia dan Komisi pengawas PBB untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia (UNCI)), tidak hanya berhubungan dengan penandatanganan perjanjian-perjanjian itu belaka, tetapi terlebih-lebih ikut memikul tanggungjawab (responsibility) atas terlaksananya kewajiban-kewajiban sebagaimana yang tertera dalam perjanjian-perjanjian itu. Pihak-pihak yang menandatangani perjanjian-perjanjian itu, harus secara sah berupaya untuk menegakkan apa yang telah mereka sepakati bersama. Demikian pula dengan keputusan Raad van Justitie di New Guinea pada tanggal 3 Juli 1954, dalam sengketa penangkapan kapal ‘Hoa Moa’ berbendera Negara RMS sedang mengangkut kopra dalam perjalanan di wilayah New Guinea. Menjadi pertimbangan Raad van Justitie New Guinea adalah, apakah RMS itu adalah suatu negara, sehingga kapal berbendera RMS itu adalah milik sekaligus sebagai hak kedaulatan negara yang bersangkutan. Bahwa melalui bukti-bukti yang diajukan dan juga sesuai dengan perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani, maka terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa RMS adalah suatu negara yang sah dan berdaulat, sehingga merupakan suatu kepatutan jika kapal tersebut menggunakan bendera Negara RMS dengan dilengkapi dokumen-dokumen Negara RMS.
Masih terdapat banyak ahli Hukum Internasional yang menjelaskan tentang RMS sebagai Negara yang sah. Pada waktu mendatang saya akan melakukan kajian dari Hukum Tata Negara untuk membuktikan bahwa apakah RMS sah sebagai suatu Negara, ataukah sebagai gerakan sepataris terhadap NKRI.
Semoga dapat menjadi materi diskusi ilmiah sebagai pembelajaran bagi Anak Negeri Maluku untuk lebih rasional dan objektif.
Penulis merupakan Advokat Hak Asasi Manusia (HAM) & Masyarakat Adat di Maluku
Refferensi:
[1] Perjanjian Linggarjati, antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947. Lihat Charles Cheney Hyde, ‘The Status of the Republic of the Republic of Indonesia in International Law’ 49 Columbia Law Review (1949), hlm. 955 – 66 dan MC Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300, edisi ke-2. (Stanford, California: Stanford University Press, 1993), hlm. 224 – 5.
[2] Perjanjian Linggarjati, antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947.
[3] Resolusi Dewan Keamanan 27 (1947), S / 459. Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menangani ‘Pertanyaan Indonesia’ dalam Resolusi Dewan Keamanan lainnya; Resolusi 30 (1947), S / 525, I; Resolusi 31 (1947), S / 525, II; Resolusi 32 (1947), S / 525, III; Resolusi 36 (1947), S / 597; Resolusi 63 (1948), S / 1150; Resolusi 64 (1948), S / 1164; Resolusi 65 (1948), S / 1165.
[4] Resolusi Dewan Keamanan 67 (1949), S / 1234.
[5] Komite Kantor Baik USS RENVILLE, 17 Januari 1948 Dokumen S / AC.10 / CONF.2 / 2. 18 Department State Bull. 334 (1948).
[6] Lihat MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern Sejak c. 1300, supra note 18, hlm. 226 – 7.
[7] Lihat Homer G. Angelo, ‘Transfer of Sovereignty over Indonesia’ 44 American Journal of International Law (1959), hlm. 569 – 72. Konstitusi ini membatalkan UUD 1945 dan dengan sendirinya diganti pada tahun 1950 dengan Konstitusi Sementara. Konstitusi asli Indonesia dipulihkan pada tahun 1959.
[8] Karen Parker, Republik Maluku: Kasus Penentuan Nasib Sendiri, catatan kaki 8. Lihat juga George McT. Kahin, ‘Indirect Rule in East Indonesia’ 22 Pacific Affairs (1949), hlm. 227 – 38.
[9] Kira-kira 4.000 pasukan Maluku yang telah dimasukkan ke dalam Tentara Kerajaan Belanda Hindia Timur tetapi dipindahkan ke Tentara Kerajaan Belanda pada tahun 1950 tidak dapat bergabung dengan pasukan lokal Maluku – lihat Karen Parker, Republik Maluku: Kasus Penentuan Nasib Sendiri, catatan kaki 11. Sehubungan dengan pasukan Maluku, lihat Richard Chauvel, Nationalists, Soldiers and Separatists (Leiden: KITLV Press, 1990) , hlm. 365 – 8.
[10] Lihat NJCM Kappeyne Van De Coppello, ‘Relation to the United Nations’, The Republic of the South Moluccas, tersedia di: http://www.transitionalgovernmentofrms.com/fkm_html/RMS%20Research.htm, terakhir diakses 02/10/06.
[11] Oppenheimer, FE, ‘Governments and Authorities in Exile’ 36 (4) The American Journal of International Law (Oktober 1942), hlm. 571-572
[12] Lihat Karen Parker, Republik Maluku: Kasus Penentuan Nasib Sendiri, Makalah Singkat, disajikan kepada Sidang Komisi Hak Asasi Manusia PBB tahun 1996, Jenewa, tersedia di: http: /www.webcom.com/hrin/parker/m.html, terakhir diakses pada 18/09/06.
[13] Lihat ‘De Republiek Maluku Selatan v De Rechtspersson Nieuw-Guinea’ 48 American Journal of International Law (1954), hal. 511.
[14] Lihat Karen Parker, Republik Maluku: The Case for Self-Determination, Briefing Paper, disampaikan kepada Sidang Komisi Hak Asasi Manusia PBB tahun 1996, Jenewa, tersedia di: http: /www.webcom.com/hrin/parker/m .html, terakhir diakses pada 18/09/06.
[15] NV Koninklijke Paketwaart Maatschappij v de Repoeblik Maloekoe Selatan, Nederlandse Jurisprudentie 1951, hal. 241, No. 129.
[16] Karen Parker, Republik Maluku: The Case for Self-Determination, Briefing Paper, disampaikan kepada Sidang Komisi Hak Asasi Manusia PBB tahun 1996, Jenewa, tersedia di: http: /www.webcom.com/hrin/ parker / m.html, terakhir diakses pada 18/09/06.
[17] Nederlandse Jurisprudentie 1953, hal. 161, No. 100. Lihat ‘De Republiek Maluku Selatan v De Rechtspersson Nieuw-Guinea’ 48 American Journal of International Law (1954), hal. 511.
[18] Shaw, Malcolm. Hukum internasional, 5th Edition, Cambridge University Press 2003. p. 181
[19] Shaw, Malcolm. Hukum internasional, 5th Edition, Cambridge University Press 2003. p. 181
[20] Shaw, Malcolm. Hukum internasional, 5th Edition, Cambridge University Press 2003. p. 368
[21] Shaw, Malcolm. Hukum internasional, 5th Edition, Cambridge University Press 2003. p. 369
[22] Paragraf 1.
[23] Paragraf 79.
[24] Paragraf 84.
[25] Konfrensi PBB ini dilakukan di Istana Paleis op de Dam, Amsterdam (Belanda), pada tanggal 27 Desember 1949.
Discussion about this post