- Delima Silalahi memimpin advokasi dan kampanye untuk mendapatkan hak pengelolaan sah 7.213 ha lahan hutan tropis untuk enam kelompok Masyarakat Adat di Sumatra Utara. Atas perjuangannya, Delima bersama Gerakan masyarakat sipil di Sumatera Utara berhasil merebut kembali lahan ini dari perusahaan pulp dan kertas yang telah mengubah sebagiannya menjadi hutan tanaman industri eukaliptus yang bukan merupakan tanaman asli dan dikembangkan secara monokultur. Keenam kelompok Masyarakat Adat yang bersangkutan telah memulai restorasi hutan tersebut, sehingga menciptakan serapan karbon berharga di hutan tropis Indonesia dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi.
TitaStory.id – San Francisco, – Goldman Environmental Foundation hari ini mengumumkan enam penerima Anugerah Lingkungan Goldman 2023. Ini merupakan penghargaan pertama di dunia bagi aktivis lingkungan di tingkat akar rumput.
Diberikan setiap tahun kepada pahlawan lingkungan dari enam benua bumi yang dihuni manusia, Anugerah Lingkungan Goldman memberikan penghargaan atas pencapaian dan kepemimpinan aktivis lingkungan akar rumput di seluruh dunia yang memberikan inspirasi kepada kita untuk beraksi demi melindungi Bumi.
Untuk Indonesia, yang termasuk kategori wilayah dan negara kepulauan, tahun ini juri memilih Delima Silalahi, 46 tahun, direktur eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), suatu organisasi nonpemerintah yang berdedikasi untuk perlindungan hutan adat di Sumatera Utara.
Pada bulan Februari 2022, berkat kampanye khusus yang dilakukan Delima bersama komunitas masyarakat adat di Tano Batak, pemerintah akhirnya memberikan hak pengelolaan sah atas 7.213 ha hutan adat kepada enam kelompok masyarakat Tano Batak.
“Saya sangat gembira walaupun saya sadar bahwa ini bukanlah perjuangan saya sendiri. Ini adalah kemenangan buat gerakan Masyarakat Adat di Indonesia. Perjuangan hak atas tanah, hak atas identitas kita itu tidak turun dari langit. Itu diperjuangkan. Kita tidak sedang melanggar hukum. Ada konstitusi yang menjamin perjuangan kita. Negara tidak akan memberikannya begitu saja kepada kita,” kata Delima.
Keenam komunitas masyarakat adat yang mendapatkan pengakuan tersebut berkomitmen melestarikan hutan adatnya. Enam kelompok masyarakat adat ini memiliki program pemulihan kawasan hutan adat mereka dengan mulai menanam kembali spesies hutan asli, termasuk pohon kemenyan. Di antaranya, komunitas masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, Nagasaribu Onan Harbangan, Bius Huta Ginjang, Janji Maria, Simenak-menak dan Tornauli Aek Godang Adiankoting.
Delima dan KSPPM mendukung masyarakat untuk menanam kembali dan merestorasi ekosistem, sekaligus meningkatkan tutupan pohon hutan dan ketahanan iklim alami. Meski dihadapkan dengan industri paling berkuasa di Sumatera Utara, Delima dan komunitas masyarakat adat berhasil mendapatkan hak pengelolaan sah atas hutan adat masyarakat. Ini kemenangan bagi ketahanan iklim, keanekaragaman hayati, dan hak Masyarakat Adat.
Selain Delima, beberapa tokoh dari Indonesia pernah mendapat penghargaan ini, yakni Loir Botor Dingit (1997),Yosepha Alomang (2001), Yuyun Ismawati (2009), Prigi Arisandi (2011), Aleta Baun (2013), dan Rudi Putra (2014).
Goldman Environmental Prize dirintis di San Francisco pada tahun 1989 oleh pemuka masyarakat dan filantropis Richard dan Rhoda Goldman. Selama 34 tahun, yayasan ini telah menorehkan dampak yang teramat besar pada planet ini. Hingga kini, Goldman Environmental Prize telah memberi penghargaan kepada 219 pemenang, termasuk 98 perempuan di 95 negara. Sebagian besar pemenang ini kemudian menempati posisi pejabat pemerintah, kepala negara, pemimpin NGO, dan penerima Nobel.
“Kini, ketika dunia menyadari krisis lingkungan akut, seperti perubahan iklim, ekstraksi bahan bakar fosil, dan pencemaran udara dan air, kita makin sadar akan hubungan kita satu sama lain dan terhadap semua kehidupan di planet,” ujar John Goldman, Presiden Goldman Environmental Foundation. “Aktivis akar rumput di Malawi yang tengah melawan pencemaran plastik di negaranya, terhubung dengan kita, begitu pun sebaliknya. Ia mengajari cara melakukannya di tempat tinggal kita. Pekerjaan ini, dan kehidupan kita, semuanya saling terkait.”
Penyerahan Anugerah akan dirayakan dalam seremoni langsung di Opera House San Francisco pada 24 April, pukul 05:30 PM PDT atau 25 April, pukul 07.30 WIB. Ini merupakan seremoni langsung (tatap muka) pertama sejak 2019. Seremoni ini akan dipandu oleh pendiri Outdoor Afro, Rue Mapp, beserta musisi tamu Aloe Blacc. Acara ini akan disiarkan langsung di kanal YouTube Goldman Environmental Prize.
Seremoni kedua akan diselenggarakan di Eisenhower Theater yang berlokasi di John F. Kennedy Center for the Performing Arts, Washington, DC, pada 26 April 2023, pukul 7:00 PM EDT. Seremoni ini akan dipandu oleh jurnalis pemenang Anugerah Pulitzer, dengan sambutan khusus oleh Nancy Pelosi, Mantan Ketua DPR AS.
Terancamnya ekosistem yang kaya
Indonesia merupakan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Sebagian besar emisi ini dihasilkan dari pembalakan dan pembakaran hutan dan lahan gambut untuk membangun perkebunan industri. Sejak tahun 2015 hingga 2019, kebakaran telah menghanguskan 10,8 juta ha hutan dan lahan gambut, lebih luas dari wilayah Belanda.
Sebagai negara dengan hutan hujan terluas ketiga di dunia, Indonesia memiliki belantara yang begitu luas dan mengandung keanekaragaman hayati, dengan simpanan karbon yang sangat besar yang penting untuk memerangi perubahan iklim. Pulau Sumatra menjadi satu-satunya tempat di muka bumi di mana badak, orang utan, harimau, dan gajah hidup berdampingan di alam liar. Perusakan habitat kini mengancam spesies-spesies dengan status kritis ini, di mana harimau sumatra merupakan spesies yang paling terancam dengan sisa populasi 500 ekor yang sekaligus merupakan populasi harimau terakhir di Indonesia.
Masyarakat Sumatra Utara telah lama membudidayakan pohon Styrax benzoin di hutan dan memanen getahnya yang dikenal sebagai kemenyan Sumatra. Catatan sejarah menunjukkan bahwa getah yang digunakan dalam minyak, wewangian, dan pengobatan ini telah dipanen dan diperjualbelikan setidaknya sejak abad kedelapan. Ketika dibudidayakan secara berkelanjutan di dalam hutan, getah kemenyan ini dapat diekstraksi terus menerus selama 60 tahun. Getah ini telah menjadi sumber pendapatan lokal yang signifikan.
Beberapa tahun terakhir, perusahaan pulp dan kertas Toba Pulp Lestari (TPL) telah merambah hutan di Sumatra Utara yang selama ini dikelola secara tradisional oleh Masyarakat Adat. TPL membuka hutan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi ini untuk membangun hutan tanaman eukaliptus yang besar dengan sistem monokultur. Kurangnya pengakuan resmi dari Pemerintah terkait hutan yang dikelola masyarakat ini memberikan kesempatan bagi TPL untuk memperluas wilayah operasionalnya. Pada tahun 2013, Greenpeace menyematkan Sukanto Tanoto yang merupakan miliarder pemilik TPL dengan predikat “penerima penghargaan sebagai satu-satunya pendorong deforestasi terbesar di dunia”. Investigasi lebih lanjut yang dilakukan oleh Vice dan laporan dari beberapa organisasi nonpemerintah Indonesia menemukan bahwa TPL mempekerjakan anak di bawah umur di perkebunannya. Pada saat masyarakat setempat melakukan unjuk rasa atas perusakan hutan yang dilakukan, TPL meminta bantuan polisi yang kemudian membubarkan paksa dan menangkap para pengunjuk rasa.
Penjaga hutan
Delima Silalahi, 46 tahun, merupakan direktur eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). KSPPM merupakan suatu organisasi nonpemerintah yang berdedikasi untuk perlindungan hutan adat di Sumatra Utara. Delima merupakan perempuan Batak dari Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara. Tapanuli Utara merupakan salah satu dari begitu banyak kabupaten yang terdampak akibat pembukaan hutan untuk perkebunan industri. Delima pernah menjadi aktivis saat berkuliah dan bergabung dengan KSPPM sebagai sukarelawan pada tahun 1999. Mengingat kantor KSPPM yang terletak jauh dari tempat tinggal keluarganya, Delima harus menghabiskan beberapa pekan terpisah dari mereka, dan sering kali menginap di kantor dan tinggal bersama masyarakat.
Memastikan pengelolaan berkelanjutan
Pada tahun 2013, putusan Mahkamah Konstitusi mengaskan bahwa Hutan Adat Bukanlah Hutan Negara. Putusan ini menjadi peluang bagi Masyarakat Adat Indonesia untuk mengeklaim pengelolaan sah atas wilayah hutan adatnya.
Putusan ini juga menegaskan bahwa perjuangan KSPPM dan masyarakat adat yang didorong oleh rasa prihatin terhadap perampasan wilayah adat secara besar-besaran untuk dijadikan industri pulp dan kertas, yang dampaknya terhadap hutan di wilayah Danau Toba, bukanlah Tindakan yang melawan konstitusi. Delima beserta timnya di KSPPM semakin termotivasi mengorganisir masyarakat setempat untuk mengeklaim hutan adatnya secara legal.
Delima melakukan kunjungan dari desa ke desa dan mengedukasi masyarakat terkait undang-undang yang mendukung pengakuan hak Masyarakat Adat dan klaim hutan adat. Meskipun perempuan di masyarakat Tano Batak sering kali tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan, Delima tetap memastikan bahwa suara mereka didengar selama proses berlangsung dengan menyertakan edukasi terkait gender sebagai alat utama pengorganisasian. Delima sendiri menemukan banyak tantangan sebagai perempuan pemimpin di Indonesia dan pernah dikritik karena jauh dari suami dan anak-anaknya selama berminggu-berminggu.
Delima dan KSPPM memfasilitasi pemetaan hutan secara partisipatif dengan masing-masing kelompok masyarakat untuk mendokumentasikan wilayah adatnya. Mereka mengorganisir protes besar-besaran kepada TPL di kabupaten yang menjadi wilayah operasi perusahaan ini. Pada bulan Juni 2021, Delima dan anggota masyarakat bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mendesak pengakuan terhadap hutan adat milik masyarakat.
Pada bulan Februari 2022, berkat kampanye khusus yang dilakukan Delima dan masyarakat binaannya, Pemerintah akhirnya memberikan hak pengelolaan sah atas 7.213 ha hutan adat kepada enam kelompok masyarakat Tano Batak (termasuk 6.333 ha lahan yang diklaim kembali dari TPL dan 884 ha dari kawasan hutan negara). Enam kelompok masyarakat ini mulai mereboisasi kawasan tersebut dengan menanam spesies hutan asli, termasuk pohon kemenyan. Delima dan KSPPM mendukung masyarakat untuk menanam kembali dan merestorasi ekosistem, sekaligus meningkatkan tutupan pohon hutan dan ketahanan iklim alami. Meski dihadapkan dengan industri paling berkuasa di Sumatra Utara, Delima dan masyarakat binaannya berhasil mendapatkan hak pengelolaan sah atas hutan adat masyarakat, suatu kemenangan bagi ketahanan iklim, keanekaragaman hayati, dan hak Masyarakat Adat.
The Goldman Environmental Prize
Anugerah Lingkungan Goldman (Goldman Environmental Prize) merupakan penghargaan bergengsi dunia yang diberikan kepada para aktivis lingkungan di tingkat akar rumput. Anugerah ini dimulai pada tahun 1989 oleh pemuka masyarakat dan filantropis Richard dan Rhoda Goldman. Para pemenang anugerah dipilih oleh juri internasional, dari beberapa nominasi yang diajukan secara rahasia oleh jaringan internasional yang terdiri atas organisasi dan individu yang bergerak di bidang lingkungan. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.goldmanprize.org.
Discussion about this post