titaStory.id, wasile selatan – Warga masyarakat Desa Minamin, Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, mengaku mendapat tekanan cukup berat dari berbagai pihak. Selain pihak perusahaan PT MHM yang melakukan tindakan kriminalisasi, namun pihak aparat kepolisian juga diduga melakukan tindakan intimidasi kepada mereka.
Baru-baru ini dua warga Desa Minamin, atas nama Novenia Ambeua dan Julius Dagai, dipolisikan oleh pihak PT Mega Haltim Mineral (MHM), karena dianggap menghalangi kegiatan usaha pertambangan.
Menurut warga, apa yang dilakukan oleh mereka, hanya semata-mata untuk mempertahankan wilayah dan hutan adat milik leluhur mereka. Perusahaan diduga telah menyerobot wilayah warga masyarakat yang berasal dari adat suku Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin ini.
Seharusnya, menurut warga, aparat kepolisian mencari akar masalah penyebab warga melakukan protes aktivitas perusahaan tambang.
Tak hanya pihak perusahaan, polisi yang dianggap sebagai pelindung dan pengayom masyarakat ini juga diduga melakukan intimidasi kepada warganya.
Kepada media ini, warga mengaku, didatangi oleh beberapa oknum polisi dengan tujuan untuk memediasi masalah lahan dengan perusahaan. Namun, upaya yang dilakukan mereka gagal. Sebagian warga tidak ingin menyerahkan tanah mereka untuk dijual kepada perusahaan.
Seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya mengaku diintimidasi oleh dua orang aparat kepolisian yang berasal dari Polsek Wasile Selatan.
Dugaan intimidasi yang dilakukan oleh kedua oknum polisi ini berawal, saat mereka mendatangi warga yang saat itu bekerja di Gedung gereja. Saat itu, mereka secara cekatan memberikan pilihan kepada warga agar segera mengambil keputusan secara pasti untuk menjual lahan mereka kepada pihak perusahaan.
“Ada intel dan Babhinkamtibmas atas nama Dartin Abdurahman datang dan intimidasi warga dengan mengatakan pilih ikut ibu Nove atau terima perusahaan dengan harga yang ditawarkan sesuai Perda,” kata sumber menceritakan peristiwa kedatangan dua oknum polisi ini.
Selain itu, kedua oknum polisi ini juga menyodorkan surat persetujuan untuk menerima perusahaan untuk nantinya ditandatangi oleh warga pemilik lahan. Mereka juga, kata warga mengancam warga jika tidak mengijinkan perusahaan masuk, maka akan dibawa ke Polda Maluku Utara, di Sofifi.
“Mereka mengancam warga kalau tidak ikut mengijinkan perusahaan masuk berarti akan dibawa dan dilaporkan ke Polda, kasusnya akan ditingkatkan naik ke Polda,” ungkap sumber.
Mendengar ancaman serta intimidasi oleh kedua oknum polisi ini, beberapa warga pun geram dan marah. Mereka pun secara tegas menolak untuk menandatangani surat persetujuan tersebut.
Namun, sayangnya, tak sedikit dari warga yang menyerahkan tanah mereka untuk perusahaan setelah menandatangi surat persetujuan yang dibawa oleh para oknum polisi ini. Menurut sumber, warga yang terlanjur menandatangi surat persetujuan pembebasan lahan ini karena diduga telah mendapat intimidasi dari para oknum aparat kepolisian yanhg berasal dari Mapolsek Waseile Selatan.
Novenia Ambeua, menyikapi intimidasi yang terjadi akibat warga dengan tegas menyerahkan tanah dan hutan mereka kepada perusahaan tambang PT Mega Haltim Mineral (MHM) untuk melakukan aktivitas pertambangan. Perempuan adat asal Desa Minamin ini meminta berabagai pihak untuk mengawal kasus kriminalisasi yang terjadi kepada dirinya maupun warga lainnya yang menolak kehadiran perusahaan tambang ini.
Yang saat ini dilakukan oleh masyarakat adat Desa Minamin menurut Novenia, adalah berjuang mati-matian untuk mempertahkan tanah leluhur mereka.
“Selaku komonitas masyarakat adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin yang bertanggung jawab atas insiden tersebut adalah PT. Wana Kencana Sejati II (WKS) yang mengambil alih secara sepihak wilayah adat dan kemudian menyerahkan ke PT. Mega Haltim Mineral untuk dikelola,”
Pemerintah Daerah menurut Novenia juga turut serta mengijinkan perusahaan-perusahaan ini masuk tanpa pemberitahuan dan ijin dari masyarakat adat yang mendiami dan sebagai pemilik wilayah adat ini.
Baginya, tidak ada keterbukaan informasi publik dan keterlibatan masyarakat adat dalam proses keluarnya ijin-ijin usaha pertambangan maupun ijin-ijin lingkungan yang dikantongi perusahaan-perusahaan nikel yang beroperasi di wilayah hutan adat komonitas masyarakat adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin.
“Kami menduga ada peran ganda yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian ini, bisa saja kami menduga mereka sebagai makelar tanah dalam menjalankan profesi kerja mereka sebagai pihak keamanan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam angkat bicara soal dugaan intimidasi dan kriminalisasi oleh pihak perusahaan MHM dan Polisi kepada masyarakat adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin.
Menurut Alam, terkait dengan upaya pemanggilan guna pengambilan keterangan masyakat adat di Tobelo Boeng oleh Polsek Wasile Selatan merupakan ciri khusus dari tindakan kriminalisasi yang secara umum sering dipraktikkan oleh penegak hukum atas permintaan oihak ketiga (PT MHM dan WKS) kepada masyarakat adat.
Kriminalisasi masyarakat adat, menurutnya, merujuk pada situasi di mana masyarakat adat atau anggota komunitas adat diberlakukan sebagai penjahat atau ditindak pidana secara tidak adil oleh sistem hukum negara. Namun, penting untuk menegaskan bahwa perlakuan semacam itu melanggar hak asasi manusia dan prinsip-prinsip pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Pada praktiknya, kata Alam, dapat diketahui disela pemanggilan ini ada upaya mediasi yang diinisiasi oleh anggota kepolisian Polsek Wasile Selatan. Pelapor sendiri adalah pihak perusahaan (PT MHM) dan diterima baik oleh kepolisian. Dari sini dapat diduga adanya relasi kepentingan keduanya.
Alasan yang disampaikan melalui surat panggilan tersebut, menurut Ketua PPMAN ini, pihak kepolisian secara nyata melindungi kepentingan eksploitasi sumber daya alam milik masyarakat adat dengan alasan perijinan yang sudah dimiliki oleh perusahaan.
Undang-undang Minerba yang digunakan kata Alam adalah salah satu bukti dimana negara gagal memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat adat. Disini penting dan mendesak untuk menguji keabsahan dari seluruh proses terbitnya ijin yang di kantongi oleh perusahaan tersebut,
“Alasan obyektif ini harusnya jadi pedoman utama bagi kepolisian sebelum memulai penyelidikan atas dasar laporan perusahaan, tidak boleh gegabah dan tidak cermat dalam menentukan langkah hukum lebih lanjut,” tukasnya.
Atas kasus tersebut, PPMAN kata Alam, meminta kepada kepolisian untuk menghentikan proses pemanggilan masyarakat adat. “Polisi harus mendasari seluruh pelaksanaan tanggungjawabnya dengan berpedoman pada perkap hak asasi manusia dan perkap penyelidikan perkara pidana,” tutup Alam. (TS-01).