titastory,id,jakarta – Christin Rumalatu kini tak sendiri. Perempuan yang dikriminalisasi karena menyuarakan kerusakan lingkungan di Provinsi Maluku Utara mendapat bantuan hukum dari Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD).
TAUD terdiri dari 27 personil berlatar belakang ilmu hukum yang berkedudukan di Jakarta, berkomitmen melakukan pendampingan hukum kepada Rumalatu yang ditandatangani dalam Surat Kuasa Khusus (SKK) pada 02 September 2024.
Penandatangan SKK berkaitan dengan Laporan Polisi Nomor: LP/B/236/VIII/2024/SPKT/Bareskrim Polri tanggal 6 Agustus 2024.
Dengan tuduhan setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang hal dengan cara menuduh suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik.
Yang diatur dalam pasal rumusan Pasal 45 ayat (4) Jo. Pasal 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Diperhadapkan dengan upaya kriminalisasi, TAUD selaku penerima kuasa akan memberikan bantuan hukum dan mendampingi Pemberi Kuasa dalam semua tingkat pemeriksaan dan/atau Proses Hukum di Kepolisian, Membuat, membaca dan menandatangani segala dokumen terkait dengan segala kepentingan dalam proses hukum termasuk menolak setiap berita acara pemeriksaan, mengajukan dan atau menolak alat-alat bukti atau segala surat surat yang berhubungan dengan perkara tersebut di atas, meminta dihadirkan saksi saksi dan/atau Ahli-ahli yang meringankan (a de charge), mengajukan permohonan penangguhan penahanan dan permohonan pengalihan tahanan di setiap tingkat pemeriksaan, menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dan mengajukan gelar perkara ulang.
Sesuai surat kuasa yang dikantongi titastory.id, menjelaskan, Penerima Kuasa berhak untuk mendampingi Pemberi Kuasa menghadap pejabat yang berwenang untuk tujuan apapun, baik itu pejabat Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Pengadilan Negeri, Badan-badan Kehakiman lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Ombudsman Republik Indonesia atau Pejabat pejabat publik lainnya, membuat, menandatangani, serta mengajukan segala.
Penerima Kuasa juga berhak menjalankan perbuatan-perbuatan atau memberikan keterangan yang menurut hukum harus dijalankan atau diberikan oleh seorang Penerima Kuasa serta membuat hal-hal lainnya atas persetujuan Pemberi Kuasa, mempertahankan kepentingan Pemberi Kuasa, dan pada umumnya membuat segala sesuatu yang dianggap perlu oleh Pemberi Kuasa.
Atau pada pokoknya Penerima Kuasa berhak melakukan segala upaya hukum yang perlu dalam hubungannya dengan perkara ini sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan keadilan serta demi tegaknya hukum dan perlindungan atas Hak Asasi Manusia. Surat Kuasa ini diberikan dengan Hak Substitusi baik sebagian atau seluruhnya.
Diberitakan sebelumnya, kriminalisasi terhadap Christina Rumahlatu dan Thomas Madilis saat berdemonstrasi di depan kantor pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) merupakan tindakan yang berlebihan dan harus segera dibatalkan. Hal ini disampaikan Tim Advokasi Gunung Tanah dalam rilis yang diterima titastory, Senin, (10/9/2024).
Kriminalisasi ini bermula ketika JATAM bersama beberapa warga Halmahera, Maluku Utara, Enter Nusantara, Front Mahasiswa Nasional dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur berdemonstrasi di depan kantor pusat IWIP dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta pada Kamis, 1 Agustus lalu.
Dalam kasus serangan terhadap perempuan pembela HAM yang memperjuangkan lingkungan akibat terdampak aktivitas PT. IWIP, Christina dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri oleh seorang mantan purnawirawan TNI, Semestinya sejak awal pihak kepolisian harus menolak laporan tersebut dikarenakan aktivitas Christina merupakan pejuang lingkungan hidup yang dilindungi oleh Pasal 66 UUPPLH.
Padahal tindakan itu menyoroti PT IWIP yang berstatus sebagai Objek Vital Nasional dapat dijaga oleh pasukan TNI/POLRI. Dalam konteks ini, kebijakan tata kelola pengamanan obvitnas sangatlah bermasalah dari segi akuntabilitas dan transparansi pada praktik di lapangan.
Kebijakan tersebut menyeret institusi TNI ke ranah bisnis keamanan yang mengakibatkan prajurit tidak profesional, karena ditempatkan tidak pada tupoksinya sesuai peraturan perundang-undangan. Demikian diungkapkan, Vebrina Monicha, Divisi Hukum Kontras.
Edy K Wahid dari YLBHI dalam keterangan tertulis juga menyampaikan, secara kontekstual ucapan Christina mewakili kepentingan publik dan lingkungan yang dikaitkan dengan peran Suaidi yang kerap meredam aksi-aksi protes Christina.
“Pernyataan Christina tidak dapat dikualifikasi sebagai pencemaran nama baik. Ucapan dari Christina adalah penilaian terhadap peran Suaidi di IWIP yang sekarang di sekitarnya terjadi banjir dan menimbulkan korban,” tutur Edi.
Menurutnya, perbuatan seperti ini sudah dikecualikan dari SKB UU ITE, dan pada dasarnya memang bagian dari kebebasan berekspresi, sehingga tidak seharusnya dilaporkan menggunakan pencemaran nama baik atau tindak pidana lainnya.
Laporan-laporan semacam ini adalah fenomena yang terus menerus terjadi di berbagai tempat. Dan pada dasarnya SLAPP adalah bentuk serangan terhadap kebebasan berekspresi dan demokrasi.
Di Indonesia, pengaturan Anti SLAPP ada di UU 32 Tahun 2009 untuk melindungi pembela HAM lingkungan. Ada juga di Peraturan Kejaksaan, Peraturan Mahkamah Agung, dan yang terbaru, Permen LHK No. 10/2024 tentang Perlindungan Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat.
Demonstrasi ini merupakan luapan kemarahan dan kekecewaan masyarakat Halmahera atas banjir bandang yang menenggelamkan Halmahera Tengah hingga Halmahera Timur, Maluku Utara sepanjang 21-24 Juli 2024.
Bukan tanpa alasan, peristiwa banjir yang melumpuhkan dan mengisolasi desa-desa pusat operasi IWIP, seperti Desa Lelilef Woebulan; Lukulamo; wilayah Transmigran Kobe di Weda Tengah yang meliputi, Woekob, Woejerana, dan Kulo Jaya, bahkan meluas ke Sagea sampai wilayah Transmigran Waleh, Weda Utara, dan memaksa setidaknya 1,700 warga untuk mengungsi. Di Halmahera Timur, banjir merendam setidaknya 12 desa.
Teriakan pejuang lingkungan ini juga terkait longsor terjadi di beberapa ruas jalan lintas Buli-Subaim, Buli-Maba Tengah, dan di sepanjang Jalan Uni-Uni, Halmahera Timur. Di Halmahera Tengah, longsor memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda, Halmahera Tengah.
Bencana banjir berulang ini dipicu oleh penggusuran hutan yang masif.
Banjir dan kerusakan ini juga didukung dengan data dari Forest Watch Indonesia yang menunjukkan, deforestasi akibat kegiatan pertambangan di Provinsi Halmahera Tengah seluas 2.739,80 hektare sepanjang 2021-2023. Khusus PT Weda Bay Nickel yang masuk di Provinsi Halmahera Tengah telah menyebabkan deforestasi seluas 1.783,89 hektar.
PT Weda Bay Nickel juga telah menyebabkan deforestasi di beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan total luas 2.612,06 hektare. Kehilangan tutupan pohon yang dominan terjadi pada kawasan konsesi penambangan nikel tersebut, menyebabkan berbagai degradasi sumber daya air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi. (TS -03)
Discussion about this post