titastory.id,jakarta – Kriminalisasi terhadap aktivis perempuan Christina Rumalatu, anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Jakarta Pusat Angkatan 2017, mencuat setelah aksi demonstrasi di depan kantor pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Aksi tersebut dilakukan bersama Koalisi Masyarakat Sipil, termasuk Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Enter Nusantara, Front Mahasiswa Nasional, dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur. Mereka memprotes dampak operasi pertambangan yang menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk banjir bandang di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, yang merendam 12 desa dan memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera.
Banjir bandang tersebut diduga dipicu oleh penggundulan hutan secara masif. Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa Halmahera Tengah kehilangan 27,9 kilo hektar tutupan pohon antara 2021-2023, penurunan sebesar 13% sejak tahun 2000. Kehilangan tutupan pohon ini memperburuk lingkungan, termasuk mengurangi sumber air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi.
Christina Rumalatu dilaporkan setelah aksi protes yang mengkritik kerusakan lingkungan di Halmahera. PMKRI Cabang Jakarta Pusat meyakini bahwa laporan ini merupakan bentuk pembungkaman terhadap suara aktivis melalui jeratan hukum.
Pada 7 Agustus lalu, Christina menerima panggilan dari Direktorat Siber Bareskrim Polri atas tuduhan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan tuduhan pencemaran nama baik terhadap Letnan Jenderal (Purn) Suaidi Marasabessy. Nama Suaidi disebut dalam orasi karena dia menemui massa aksi, mengklaim bahwa masalah yang diangkat sudah dikoordinasikan dengan Bupati, yang memicu kemarahan massa.
Pada 4 Agustus 2024, Ali Fanser Marasabessy, Ketua Bravo 5, melalui akun TikTok-nya menuntut Christina untuk meminta maaf dalam 2×24 jam, atau menghadapi konsekuensinya. Namun, dalam pertemuan dengan DPC PMKRI Jakarta Pusat, Christina menolak tuntutan tersebut, karena merasa suaranya adalah demi kebenaran dan hak-hak masyarakat.
“Saya tidak akan meminta maaf. Sebagai aktivis lingkungan, saya yakin apa yang saya lakukan sudah benar. Meminta maaf akan melanggar prinsip saya sebagai pembela hak-hak masyarakat yang terdampak operasi tambang nikel di Halmahera,” tegas Christina.
Christina juga menjelaskan bahwa masyarakat sekitar area tambang nikel mengalami pencemaran air bersih akibat limbah industri, yang memaksa mereka membeli air dari mobil tangki. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga menyoroti dampak tambang terhadap lingkungan dan kehidupan warga, termasuk ancaman kriminalisasi.
PMKRI Cabang Jakarta Pusat menegaskan akan mengawal kasus ini dan mengutuk keras upaya kriminalisasi terhadap Christina serta aktivis lainnya di seluruh Indonesia. Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Jakarta Pusat, Rikardus Redja, menilai bahwa kriminalisasi tanpa memahami akar masalah adalah bentuk pembungkaman.
“Kasus ini tidak akan melemahkan perjuangan kami. Aktivis selalu berjuang demi amanat penderitaan rakyat. Usaha Christina adalah upaya yang mulia, dan kami akan berdiri bersamanya hingga laporan ini dicabut,” ujarnya.
Christina juga menyoroti cacat formil dalam proses hukum, di mana surat panggilan pertama tidak mencantumkan nama pelapor. Hingga kini, Christina telah menerima surat panggilan kedua.
Germas PMKRI Jakarta Pusat berharap seluruh anggota PMKRI di Indonesia mengawal kasus ini, karena kriminalisasi aktivis adalah upaya melemahkan perjuangan rakyat, khususnya pada momentum penting seperti September Hitam. (TS-01)
Discussion about this post