titastory.id, jakarta – Pilkada serentak 2024 di Indonesia membawa dinamika politik yang beragam di berbagai wilayah, termasuk di Maluku. Salah satu fenomena yang kerap muncul dalam perpolitikan lokal di Maluku adalah praktik politik belah bambu, istilah yang merujuk pada strategi politik yang cenderung eksploitatif dan diskriminatif, di mana satu kelompok diangkat dan diberikan dukungan, sementara kelompok lain ditekan atau disisihkan.
Politik belah bambu ini mencerminkan pembelahan sosial dan politik yang tajam di antara berbagai kelompok masyarakat, yang sering kali dimanfaatkan oleh elite politik lokal untuk kepentingan elektoral.
Latar Belakang Politik di Maluku
Maluku, dengan latar belakang sejarah konflik komunal, terdiri dari masyarakat yang beragam secara etnis, agama, dan budaya. Kita semua sempat mengalami konflik sosial yang berkepanjangan pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, dengan faktor agama dan etnis sebagai salah satu pemicunya. Pasca-konflik, stabilitas politik mulai terjaga, tetapi perpecahan sosial tetap menjadi tantangan besar.
Dalam konteks politik, isu-isu perpecahan masih dapat dimanipulasi untuk kepentingan tertentu. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) sering kali memperlihatkan pola-pola kampanye yang didasarkan pada identitas, baik agama, etnis, maupun kelompok-kelompok sosial lainnya. Hal ini memberikan ruang bagi munculnya politik belah bambu, di mana elite politik menggunakan strategi memecah belah untuk memenangkan dukungan kelompok tertentu sambil mengorbankan kelompok lainnya.
Politik Belah Bambu dalam Pilkada 2024
Menjelang Pilkada serentak 2024, politik belah bambu tampaknya kembali muncul sebagai strategi yang digunakan oleh beberapa kandidat di Maluku. Dalam praktiknya, kandidat-kandidat ini memanfaatkan kerentanan sosial dan identitas kelompok untuk meraih suara.
Salah satu contoh nyata dari praktik ini adalah upaya-upaya pemecahan suara berdasarkan garis agama atau etnis, dengan janji-janji politik yang dibuat khusus untuk satu kelompok, tetapi tidak untuk yang lain.
Elite politik yang menggunakan taktik ini sering kali berfokus pada eksploitasi kesenjangan ekonomi atau ketidakadilan sosial yang dialami oleh kelompok tertentu. Dengan menjanjikan perbaikan ekonomi atau kebijakan yang menguntungkan satu kelompok, mereka berharap dapat mengonsolidasikan dukungan politik dari kelompok tersebut.
Di sisi lain, kelompok-kelompok yang dianggap berlawanan atau tidak penting secara elektoral sering kali diabaikan atau ditekan, bahkan dijadikan target kampanye negatif.
Dampak Politik Belah Bambu
Politik belah bambu dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas politik dan sosial di Maluku. Dalam jangka pendek, strategi ini mungkin efektif untuk memenangkan suara dan memobilisasi basis pemilih tertentu.
Namun, dalam jangka panjang, politik belah bambu dapat memperparah perpecahan sosial yang sudah ada. Hal ini berisiko memicu konflik baru atau memperdalam ketidakpercayaan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda.
Selain itu, politik semacam ini juga dapat melemahkan proses demokratisasi di Maluku. Pemilih yang disasar oleh kampanye berbasis identitas sering kali dibuat percaya bahwa hak-hak mereka akan lebih terjamin jika mereka mendukung kandidat tertentu, bukan karena kompetensi atau visi kandidat, melainkan karena afiliasi identitasnya.
Ini membuat kualitas demokrasi lokal di Maluku menjadi terancam, karena politik yang berdasarkan kinerja dan gagasan digantikan oleh politik identitas yang eksklusif.
Upaya Mengatasi Politik Belah Bambu
Menghadapi ancaman politik belah bambu, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk meminimalisir dampak negatifnya. Pertama, peningkatan pendidikan politik masyarakat sangat penting agar pemilih tidak mudah terpengaruh oleh narasi-narasi yang bersifat memecah belah.
Kedua, peran media lokal dalam memberikan informasi yang objektif dan menyeluruh sangat dibutuhkan untuk menangkal hoaks dan kampanye negatif yang sering menyertai politik identitas.
Selain itu, peran partai politik dan organisasi masyarakat sipil juga krusial. Partai politik diharapkan tidak hanya mengedepankan politik identitas dalam kampanye, tetapi juga menyajikan program-program yang nyata dan relevan bagi seluruh kelompok masyarakat.
Di sisi lain, organisasi masyarakat sipil dapat berfungsi sebagai pengawas independen dalam proses Pilkada, memastikan bahwa politik yang dijalankan tidak merugikan kelompok tertentu.
Sebagai penutup saya hanya ingatkan bahwa Politik belah bambu di Maluku dalam Pilkada serentak 2024 merupakan fenomena yang berpotensi merusak kohesi sosial dan mereduksi kualitas demokrasi di Maluku sendiri.
Meskipun strategi ini mungkin menguntungkan bagi beberapa kandidat dalam jangka pendek, dampak jangka panjangnya dapat sangat merugikan masyarakat Maluku secara keseluruhan.
Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemilih, media, partai politik, dan organisasi masyarakat sipil, untuk memastikan bahwa proses politik di Maluku berjalan secara adil, inklusif, dan demokratis. (**)
Discussion about this post