UU TNI: Mengupas Luka dan Duka Perempuan Papua

04/04/2025
Salah satu lukisan tentang kehidupan perempuan di Papua. Sumber gambar: Gambar : Sa Pu Kisah - AJAR/Novita

titastory, PapuaKekerasan seksual dan femisida yang dilakukan oleh aparat militer Indonesia terhadap perempuan Papua telah menjadi bagian kelam dari sejarah panjang wilayah tersebut. Sejak 1963, ketika beberapa daerah di Papua dijadikan Daerah Operasi Militer untuk mengintegrasikan Papua Barat ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan memuluskan eksploitasi sumber daya alam seperti emas di Nemangkawi, banyak perempuan Papua menjadi korban kekerasan yang mengerikan.​

Laporan “Stop Sudah” mendokumentasikan pengalaman para perempuan korban serta penyintas kekerasan seksual yang hidup dalam trauma berkepanjangan. Situasi ini terus berlanjut hingga kini, bahkan sebelum adanya legitimasi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).​

Potret Perempuan dan anak-anak di Eknemba yang mengungsi ke tempat aman di kampung Holomama , Wayasiga dan Jogatapa akibat konflik antara TPNPB melawan TNI /PORLI di Intan Jaya, Distrik Sugapa, Kampung Eknemba, Titigi, Janamba,. Foto: Selly Somatua

Novita, seorang staf Layanan Hukum di LBH APIK Jayapura, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak UU TNI terhadap perempuan Papua.

“Jika sebelumnya saja militer bisa dengan seenaknya membunuh, melakukan kekerasan fisik yang tidak manusiawi, dan melakukan kejahatan seksual terhadap perempuan Papua, lantas apa yang akan terjadi ketika mereka diberi ruang untuk merebut hak-hak sipil bahkan merebut nafas rakyat tertindas termasuk perempuan Papua,” tulisnya di media sosial.​

Potret Perempuan dan anak-anak di Eknemba yang mengungsi ke tempat aman di kampung Holomama , Wayasiga dan Jogatapa akibat konflik antara TPNPB melawan TNI /PORLI di Intan Jaya, Distrik Sugapa, Kampung Eknemba, Titigi, Janamba,. Foto: Selly Somatua

Novita menyoroti bagaimana interseksionalitas menempatkan perempuan Papua dalam penderitaan sehari-hari. Mereka hidup dalam ketakutan, waspada, dan trauma yang mendalam. “Apakah ini semua bisa dinamakan takdir? Ah, sudahlah biar Tuhan saja yang tahu,” tambahnya.​

Foto tangkapan layar dari Sampul
Gambar di sampul adalah siluet dari foto seorang mama di Sorong yang sedang
menceritakan situasi sosial di wilayahnya. Foto ini diambil pada tahun 2009 pada
saat proses wawancara lapangan oleh tim dokumentator. Desain
AhmettSalina

Mantan Ketua Tim Perempuan dan Anak di LBH Papua ini juga menegaskan bahwa militerisme, kapitalisme, dan kolonialisme telah membunuh jiwa dan raga perempuan Papua dari generasi ke generasi. Ia berharap perjuangan para perempuan yang tersisa tetap teguh dan memiliki kekuatan untuk menghadapi situasi yang menindas ini.​

Situasi ini diperparah dengan adanya revisi UU TNI yang memungkinkan kembalinya peran militer dalam urusan sipil, mengingatkan pada era Orde Baru di bawah Suharto. Kekhawatiran muncul bahwa hal ini dapat mengembalikan dominasi militer dalam kehidupan sipil dan memperburuk kondisi hak asasi manusia di Papua. ​

Perempuan Papua terus berjuang melawan kekerasan yang dilembagakan oleh negara, meskipun menghadapi berbagai tantangan dan risiko. Kisah mereka adalah cerminan dari perjuangan panjang melawan penindasan dan ketidakadilan yang masih berlangsung hingga hari ini.​

Artikel ini merupakan bagian dari citizen journalism (jurnalis warga). Sebelumnya tulisan ini merupakan ungkapan hati yang ditulis Penulis (Novita-red) di beranda media sosialnya dan diolah oleh 
Redaksi titastory.id
error: Content is protected !!