TITASTORY.ID – API-api obor dan juga lampu petromaks memantulkan cahaya dalam kegelapan malam di pesisir laut dusun Airlouw, Desa Latuhalat, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, sabtu (10/3/2023) malam. Di sana terlihat lebih dari seratusan orang berjejeran di pesisir laut sambil membawa perkakas dan juga alat penyaring seperti saringan, loyang, ember, dan juga dan bergegas turun ke laut.
Satu per satu warga berbondong-bondong turun ke laut dengan berbagai perkakas yang mereka bawa. Cahaya lampu petromaks dan juga obor bikin semarak pesisir laut yang tengah surut (meti) itu. Sontak mereka berebutan berburu hewan kecil menyerupai cacing yang terapung di atas permukaan laut.
Ribuan cacing kecil yang bercorak warna-warni hijau tua, biru kecoklatan yang menari serta mengapung warga menyebutnya Laor. Suasana ini terlihat semarak dan juga unik.
Ini adalah tradisi unik yang dilakukan masyarakat di Kota Ambon, Provinsi Maluku yang tinggal di pesisir pantai. Kebiasaan unik ini adalah menangkap cacing laut yang disebut laor untuk dikomsumsi.
Hewan laut dengan Bahasa ilmiahnya adalah Lyde oele dari kelas Polychaeta filum annalida berukuran 2-30 sentimeter.
Dalam proses tradisi timba laor, warga yang dibekali dengan peralatan seperti seru atau dalam bahasa setempat disebut nyiru untuk menyaring. Setelah itu laor-laor ini ditempatkan di dalam ember dan maupun loyang. Uniknya, dari cacing laut ini, akan bergerak mengikuti cahaya lampu maupun api obor.
Berburu laor ini dilakukan jelang petang dan dini hari sebelum matahari terbit.
Tentu saja, ini menjadi buruan utama warga, selain berburu sayur laut dan juga ikan karang. Sambil memegang penerang, para pemburu laor ini mulai meyiduk laor dengan saringan.
Elis Lekatompessy, seorang warga Desa Amahusu juga terlihat sibuk memanen cacing laut ini. Bersama kerabanya mereka rela datang ke lokasi pantai Dusun Airlouw untuk menimba laor. Elis bilang, kunjungan kali ini menjadi kali kedua. Pertama kali dia datang pada tanggal 9 maret, namun belum banyak terlihat biota laut ini.
“Saya dari Negeri Amahusu, Nusaniwe Kota Ambon, saya tahu ada ini dari orang tua yang paham perhitungan bulan. Biasanya laor ini muncul ditanggal 9 Maret, tapi tanggal 9 saya datang ternyata masih belum naik karena ombak, jadi saya balik lagi tanggal 10 malam ternyata sangat banyak, berbeda dengan sebelumnya namun hari ini pengunjungnya juga sangat banyak,” ungkap Elis.
Andi Manusa, seorang warga yang terlibat dalam tradisi timba laor ini juga mengaku cara yang ampuh untuk cacing laut ini muncul adalah dengan cahaya lampu sehingga biota laut ini dengan mudah diangkat menggunakan penyaring.
“Katong pake obor dan seru untuk mengambil Laornya, waktu katong nyalakan obor di atas air nanti laor itu akan mengikuti cahaya, nah waktu itu barulah kita bisa tangkap laornya pakai seru,” kata Andi Madusa yang juga adalah pemburu laor.
Bagi Andi, ini merupakan kebahagian tersendiri untuk bisa terlibat dalam acara panen caing laut atau laor ini. Ia puas karena bisa memanen hampir satu setengah ember berukuran sepuluh liter.
Tak hanya orang dewasa, tradisi timba laor diikuti oleh semua kalangan mulai remaja hingga anak-anak. Sebagian juga yang datang hanya untuk melihat keramaian tradisi timba laor.
Tradisi mengambil cacing laut tahunan atau dikenal dengan istilah timba laor masih terus dilakukan masyarakat pesisir Pulau Ambon sampai saat ini. Peminatnya bukan saja dari kalangan masyarakat yang mendiami kawasan pesisir pantai, namun menyita warga Pulau Ambon yang mendiami pusat kota.
“Beta datang bersama keluarga, hanya ingin lihat keramaian orang-orang yang sedang timba laor, senang bisa lihat tradisi timba Laor karena hanya ada satu tahun sekali. Selain itu bermain juga,” ungkap Dini Kauri salah satu pengunjung.
Raja Negeri (Kepala Desa) Latuhalat, Audy Salhuteru, mengatakan kemunculan laor setahun sekali ini merupakan berkah dan keberuntungan bagi warga. Namun tak hanya itu saja timba laor ini menjadi tradisi tahunan bagi masyarakat di Pulau Ambon.
Sejak dulu kata Kades, timba laor sudah menjadi agenda rutin setiap warga Latuhalat. Hasil panen biasanya dikomsumsi secara pribadi maupun diperjualbelikan.
Pada tahun sebelumnya, Kata Salhuteru, pihaknya mengadakan ajang festival timba laor. Acara ini bekerja sama dengan Dinas Parawisata Kota Ambon. Acara festival timba laor itu kata Raja Negeri Latuhalat ini biasanya digelar di pesisir pantai Namalatu, yang merupakan salah satu spot objek wisata di Kota Ambon.
Dengan pantainya yang berkarang campur pasir ini, menjadi lokasi munculnya hewan cacing laut ini.
Pemerintah Kota Ambon melalui Dinas Parawisata, telah menjadikan timba laor ini sebagai ajang festival agenda tahunan. Tujuannya untuk memperkaya tradisi dan budaya orang Maluku khususnya pulau Ambon. Tradisi ini dilakukan agar tidak menghilangkan nilai historis dari para leluhur orang Ambon yang sebelumnya juga melakukan hal yang sama.
Laor ini hanya berada di pesisir pantai berkarang dangkal, tidak ada di pesisir pantai berpasir. Untuk mengetahui munculnya Laor warga akan berpatokan pada tanda – tanda alam, yaitu hujan seharian ditandai dengan gemuruh suara guntur tiga atau dua hari bahkan sehari sebelum waktu sesuai sikulus bulan.
Selain di Dusun Airlouw, Desa Latuhalat, tradisi timba laor ini juga digelar di desa-desa yang berada di pesisir Pulau Ambon seperti Desa Rutong dan Hukurila, Kecamatan Leitimur Selatan.
Diungkapkan, timba laor sendiri dilakukan berdasarkan siklus perhitungan bulan dan matahari yang terjadi pada bulan Maret, pada kawasan terumbu karang yang masih asri. Pada waktu tersebut laor yang sebelumnya tinggal dicelah batu karang, muncul secara bersamaan ke permukaan air yang dangkal.
Jika di Lombok, Nusa Tenggara Barat, perburuan biota laut ini dikenal masyarakat lombok dengan nama Bau Nyale. Di Lombok masyarakat setempat biasanya memanen biota cacing laut ini dua kali dalam setahun. Namun berbeda dengan di Maluku khususnya pesisir Ambon, melakukan panen cacing laut ini hanya sekali yakni pada tanggal 9 dan 10 pekan kedua di bulan maret. Peristiwa ini terjadi setelah tenggelamnya matahari dan akan kembali menghilang saat munculnnya cahaya bulan.
Momen inilah yang kemudian mendatangkan rezeki tersendiri bagi warga untuk mengambilnya dan dijadikan santapan lezat nan langka, sekaligus menjadi awal munculnya tradisi timba Laor pada masyarakat pesisir Ambon sejak ratusan tahun lalu.
Salhuteru berharap tahun depan pemerintah dapat menggelar Festival Timba Laor yang lebih meriah, selain itu konsep acara juga diharapkan lebih disiapkan agar benar-benar menjadi agenda wisata yang menarik.
Hari mulai larut, sekitar pukul 01.30 minggu dini hari, para pemburu Laor ini mulai berangsur-angsur mulai meninggalkan lokasi peasisir laut Dusun Airlouw, Desa Latuhalat. Cahaya api obor dan lampu petromaks mulai padam, tanda lokasi itu mulai dililit kegelapan. Tentunya warga puas dengan membawa hasil buruan cacing laut itu.
“Amper siang (subuh) juga akan muncul, begitu juga besok malam (minggu malam-red) tapi bentuk tubuhnya sudah besar seperti cacing-cacing tanah lainnya, jadi beta kira hari ini cukup untuk menimba laor,” kata Elis sambil menenteng Ember berisi laor dan juga perkakas miliknya.
Penelitian Ahli
Polychaeta atau yang dikenal dengan cacing laut adalah salah satu fauna dari filum annelida. Hewan ini paling dominan di komunitas makrozoobentos atau ekosistem di dasar perairan jika dilihat dari jenis maupun jumlahnya.
Menurut Hutchings, 1998 yang dilansir dari greeners.co dengan judul mengenal-cacing-laut-atau-laor-dari-maluku, maka sebaran cacing laut ini sangat luas, mulai dari daerah pasang surut laut dalam. Hingga saat ini, lebih dari 10.000 jenis diantaranya telah dideskripsikan dan diperkirakan mencapai 25.000-30.000 jenis.
Yusron juga dalam penelitiannya juga menyebut, makrofauna ini juga hanya dapat bertahan hidup selama tidak lebih dari dua tahun. Sejumlah spesies bahkan memilliki jangka hidup lebih pendek yaitu sekitar 30-45 hari. Cacing laut menurutnya dapat hidup di berbagai habitat seperti dasar berlumpur, berpasir dan berbatu.
Menurut Oseana dalam penelitiannya, 1985, pada umumnya mereka memiliki tubuh yang lunak, langsing, dan berbentuk silindiris. Warnanya juga menarik seperti merah, hijau, biru, coklat, dan lain-lain yang disebakan adanya pigmen zat warna pada tubuh. Cacing laut yang hidup pada terumbu karang seringkali membentuk cangkrang kapur dan berperan secara biologis sebagai pengurai batu karang.
Berdasar Penelitian Sintje Liline, 2017, seorang dosen Universitas Pattimura dalam jurnal ilmiah Biopendix, masyarakat Maluku khususnya pulau Ambon telah mengenal dan mengkomsumsi cacing laut (Polychaeta) sejak dahulu. Warga juga menyebut cacing laut sebagai laor.
Laor menurutnya merupakan salah satu biota khas perairan Maluku atau dikenal dengan cacing Wawo. Hewan lunak ini muncul dipermukaan air sebanyak satu kali dalam setahun yaitu maret atau April saat malam purnama maupun beberapa hari setelahnya.
Factor yang mendukung kehadiran laor adalah pasang surut dan kadar garam. Kondisi ini digunakan cacing untuk bereproduksi, sebab terjadi transisi dari panas (barat) ke musim hujan (timur). Dalam penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa biota laut ini muncul untuk melakukan swarming, yakni peristiwa Ketika cacing laut dari jenis tertentu berkerumun dalam jumlah melimpah di sekitar permukaan air untuk melakukan perkawinan secara eskternal.
Radjawane dalam penelitiannya 1982 menulis, Laor adalah hewan yang hidup berkoloni dan harus tetap berada di lingkungan air laut dengan kadar garam yang tinggi agar tidak membusuk. Hewan ini biasanya ditangkap oleh penduduk lokal di pantai berkarang menggunakan seser tradisional dan dijadikan bahan pangan tradisional.
Cacing laut ini menurutnya, biasanya muncul saat purnama pasang tertinggi dan hanya muncul di daerah pantai berkarang. Biota tersebut sangat khas dan disukai oleh masyarakat Maluku. Kandungan protein yang lebih tinggi daripada ikan dan dapat diolah menjadi masakan tradisional dengan rasa gurih.
Selama ini menurut Radjawane, masyarakat desa Allang, Latuhalat, Desa Rutong, dan Desa Hutumuri di pulau Ambon memanfaatkan Laor sebagai pangan tradisional karena dipercaya mengandung banyak protein. Umumnya cacing ini diolah oleh masyarakat dengan cara digoreng, dipepes, dan digarami.
(TIM)
Discussion about this post