Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina
Sebenarnya desas desus rencana perlawanan sebenarnya sudah sampai ke Residen di Saparua dan bahkan pemerintah Belanda di Ambon juga sudah mendapat informasi, tetapi diacuhkan karena dianggap sebagai rumor.
Namun, apa yang dianggap sekadar rumor ini mengagetkan pemerintah Belanda di Ambon ketika Gubernur van Middelkoop pada 17 Mei 1817 memperoleh sepucuk surat yang dikirim isteri Residen van den Berg, Johanna Christina Umbgrove tertanggal 13 Mei 1817, yang menginfokan, kalau suaminya telah ditangkap penduduk di Haria atau Porto. Dia melarikan diri ke benteng dan meminta bantuan segera dikirim dari Ambon.
Ketika informasi ini sampai di Ambon, perlawanan rakyat yang dipimpin Thomas Matulessy telah berhasil merebut Benteng Duurstede yang menewaskan Residen van den Berg dan keluarganya bersama seluruh penghuni benteng.
Residen van den Berg, sempat meminta bantuan, tapi catatannya tidak sempat terkirim dan catatan ini ditemukan belakangan yang menyatakan, “Sergeant komt spoedig cito met 12 man met scherp geladen, om mij te verlossen , alles is in oproer” Van den Berg.
Kurang lebih berarti, Sersan segera datang dengan 12 orang bersenjata tajam, untuk menyelamatkan saya, semuanya dalam kekacauan.
Penyerangan Benteng Duurstede ini menyebabkan, Gubernur Maluku mengirimkan ekspedisi ke Saparua pada 17 Mei 1817 untuk meredam perlawanan rakyat, dengan kekuatan cukup besar, yakni 112 pelaut dan marinir dari kapal Evertsen dan Nassau dan 188 prajurit garnisun di bawah komando Mayor Pioner Beetjes. Pada 28 Mei, pasukan Beetjes mendarat di Saparua. Namun, pejuang Thomas Matulessy sudah menunggu di tepi pantai. Ekspedisi Beetjes yang membawa sekitar 300 prajurit ini gagal total. Ada 159 orang yang tewas dari pihak Belanda, termasuk Mayor Beetjes. Pasukan yang selamat kembali ke Ambon dan sempat berlabuh di Negeri Suli dan Pulau Haruku.
Peristiwa kemenangan pasukan Thomas Matulessy ini telah mengobarkan semangat perlawanan rakyat untuk melawan Belanda di hampir semua kepulauan rempah.
Kembali ke soal Arumbai di Porto, sebenarnya hanya puncak dari kekecewaan rakyat terhadap sejumlah kebijakan Pemerintah Belanda. Perwira Angkatan Laut, J. Boelan (Perwira di Maria Reigersbergen) yang ikut dalam ekspedisi di Pulau Saparua ini mencatat, pada 14 Juli 1817, ada pertemuan antara delegasi dari Kapal Maria Reigersbergen, Letnan Ellinghuizen dan Christiaansen dengan beberapa pimpinan rakyat di Hatuwano (Saparua) untuk mengetahui alasan perlawanan di Saparua. Ada tiga hal yang terungkap. Pertama, penganiayaan terhadap rakyat; Kedua, pemerintah belanda tidak menerima pembayaran uang kertas; Ketiga, warga menginginkan seorang pendeta dan kepala sekolah untuk anak mereka.
Namun, sesuai penelusuran Van Doren, ada tujuh poin pokok keberatan warga ketika itu. Pertama, untuk kepercayaan, Pemerintah Belanda menghalangi pengamalan agama tradisional. Kedua, ketidakpuasan terhadap peredaran uang kertas yang diperkenalkan Belanda. Ketiga, setelah uang kertas diedarkan, Residen menolak untuk menerimanya, tetapi meminta mata uang perak untuk pembayaran kepada negara. Keempat, Residen mengancam akan mengirim mereka ke Batavia sebagai tawanan jika menolak, tetapi akan dibebaskan jika memberikan uang perak. Kelima, Residen menanyakan perizinan kepada warga dan ketika memilikinya, dia tidak mengembalikan, kecuali dengan membayar lima puluh sp. dolar perak atau 60 gulden. Keenam, mereka harus memberikan garam, ikan kering, dan daging kering (dendeng) tanpa bayaran. Ketujuh, semua tenaga kerja dan persediaan material, yang dulunya dibayar Belanda dan Inggris, sekarang diambil tanpa pembayaran.
Kapten Kapal Evertsen, QMR Verhuell, yang memiliki surat yang diteken sendiri Thomas Matulessy yang dikeluarkan di Saparua, 12 Juli 1817 dalam Bahasa melayu. Surat itu ditujukan kepada semua panglima yang menguasai pulau-pulau, tentang permintaan semua pulau dan mengenai perang dengan Kompeni. Kalau diterjemahkan bebas, kira-kira begini, “Meskipun saya tidak tahu sedikit pun alasan dari apa yang terjadi pada peristiwa 14 Mei 1817.
Semua desa di pulau-pulau mengumpulkan orang-orang untuk mengambil sumpah. Saya tidak tahu apa yang mereka inginkan. Setelah semua bergabung, kemudian mereka bersepakat untuk tidak menuruti perintah Residen, karena Residen telah menindas dan memaksa mereka dengan berbagai cara, tanpa menerima imbalan apapun atas pekerjaan mereka untuk mendukung penghidupan mereka. Oleh karena itu pada hari ke-14 tersebut mereka mengikatkan diri dengan sumpah.
Kemudian mereka berkata kepada orang-orang di dua negeri, kalau mereka tidak menenggelamkan Arumbai, negeri mereka akan hancur. Kemudian, warga dari dua negeri menenggelamkan Arumbai, sehingga tidak berangkat ke Ambon pada hari yang sama.
Para kepala, yang memimpin mereka, yang telah pergi membawa kedamaian bagi Kompeni, tidak tahu alasan perang saat ini, oleh karena itu surat-surat Kompeni, yang ditulis untuk orang-orang di pulau, tidak dipahami. Untuk itu, saya telah meminta informasi kepada para pemimpin, dan mereka telah menjawab, bahwa mereka berharap saya akan menyelidiki sendiri.
Saya mengatakan bahwa perang telah datang karena kebencian musuh kita. Kemudian mari kita pergi dan menemukan musuh-musuh itu, dan bagaimana kita bisa melakukannya, ketika kita mendengarkan nubuat tentang perdamaian.
Untuk ini mereka menjawab, apakah itu damai atau perang, kita akan tetap mati. Mungkin Tuhan telah memberikan perang ini di pulau-pulau, karena mereka pantas mendapatkannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melanjutkan perang itu. Saparua,12 Juli 1817, Thomas Matulesia”.
Di sini tampak kalau Thomas Matulessy tampak memahami detail persoalan Arumbai di Porto. Tetapi mengetahui keluhan dari penduduk pulau-pulau terhadap perlakuan pemerintah Belanda.
Thomas Matulessy juga tampak mempertimbangkan peperangan, karena di satu sisi ada ajaran mengenai kedamaian dalam Agama Kristen yang dianutnya. Tapi, rupanya perang ini disikapi sebagai kehendak Tuhan.
Keinginan akan adanya seorang pendeta, juga disampaikan Thomas Matulessy kepada taruna di Kapal Maria Reigersbergen, Feldman yang diutus untuk turun ke darat menyampaikan pesan kepada Thomas Matulessy. Feldman mengaku diperlakukan tidak baik, karena dipaksa berjalan dari Benteng Duurstede sampai ke Negeri Haria (rumah ibu Thomas Matulessy) sementara Thomas Matulessy menunggang kuda. Namun, perlakuan kepada Feldman berubah ketika dia mengisahkan kalau ayahnya seorang pendeta. “Jika ayahmu adalah seorang pendeta, kamu harus memintanya untuk datang ke sini (Honimoa/Saparua),” kata Matulesia kepadanya seperti dicatat J.Boelan (perwira yang juga rekan Feldman dan Christiaansen) dalam catatan hariannya.
Misi Feldman dan Christiaansen (orang Denmark di Ambon fasih bahasa setempat) yang dikirim ke darat untuk menyampaikan pesan kepada Thomas Matulessy. Namun, pada 22 Juli 1817, Thomas Matulessy mengirim surat ke kapal, yang intinya menyatakan, “Setuju untuk gencatan senjata tetapi dia tidak dapat berdamai”. Surat Thomas Matulessy ini tidak pernah mendapat balasan lagi.(bersambung)
Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina adalah Direktur Archipelago Solidarity Foundation
Discussion about this post