Tarian Hu’ul: Dari Seram ke Mamala, Dari Kapata ke Langit

14/04/2025
Peserta Atraksi Hu'ul sedang duduk melingkari pelataran Stadion Hatusela Mamala, 7 Syawal 1445 Hijriah. Foto: Ist

PULUHAN peserta atraksi Hu’ul melangkah ke pelataran Stadion Hatusela, Mamala, Maluku Tengah. Anak-anak, remaja, orang dewasa—semuanya mengenakan pakaian serba hitam, tubuh mereka dilumuri arang dari kepala hingga kaki. Bayi-bayi turut digendong, diajak bergabung dalam sebuah prosesi yang sarat makna. Di kepala mereka terikat berang, dan leher mereka dikalungi buah kecil seukuran kelereng.

Untuk menambah nuansa alam, para peserta mengenakan hoodae atau huli—lebih dikenal sebagai bilum—jenis celana tradisional yang terbuat dari kain goni atau serat alami lainnya. Atraksi dibuka dengan lagu berbahasa daerah, diiringi suara tahuri dan tabuhan tifa. Bunyi dua alat musik tradisional Maluku itu memandu langkah para peserta yang tampak seperti sedang mencari tempat menetap.

Sebagian duduk melingkar dan menyenandungkan kapata—sastra lisan berupa syair atau nyanyian yang biasa dibawakan dalam upacara adat atau peristiwa sosial budaya. Di tengah lapangan Hatusela, suasana menjadi syahdu. Beberapa peserta tak mampu menahan haru; isak tangis mereka menyatu dalam nyanyian yang sarat emosi dan sejarah.

Peserta Tarian Huul di NegeriMamala. Sumber: Facebook Baronda.id Ambon

Abdul Rahman Malawat (59), Ketua Panitia “Pukul Sapu” Mamala, menjelaskan bahwa Hu’ul bukan sekadar pertunjukan, melainkan ritual penuh makna yang mengisahkan asal-usul dan perjalanan masyarakat Mamala. Hu’ul, atau Pertunjukan Alifuru, menjadi bagian penting dari upacara adat menjelang atraksi Pukul Sapu Mamala yang digelar setiap 7 Syawal.

“Perlu digarisbawahi, Hu’ul dan Pukul Sapu itu bukan festival. Ini acara adat kami,” tegasnya.

Hu’ul diyakini sudah ada bahkan sebelum tradisi Pukul Sapu (Ukuwala Mahiate) dikenal masyarakat luas. Disajikan oleh penduduk asli Mamala, dari anak-anak hingga orang tua, pertunjukan ini mencerminkan satu esensi peradaban yang utuh.

Ketua Panitia Pukul Sapu Mamala, Abdul Rahman Malawat, Senin, 7 April 2025| Sakina Malawat. Foto: titastory/Sofyan

Ziyech Hatuala, bocah lima tahun, mencuri perhatian ribuan pasang mata. Dengan tubuh kecilnya, ia membawa sebilah parang kayu, berkeliling di tengah lapangan seperti pendekar cilik. Separuh tubuhnya dibaluri arang, matanya sesekali menatap ke langit, seakan mencari arah pulang. Wajahnya memelas, namun tak gentar.

Di tengah kerumunan, ia berdiri tegak dan menancapkan ujung parang ke tanah. Sementara itu, anak-anak lain tampak duduk santai, digendong, atau mencicipi pisang dan ubi—bekal sederhana yang dibawa oleh kelompok mereka.

Ziyech Hatuala, salah peserta Hu’ul Mamala, 7 Syawal 1445 Hijriah | ISTIMEWA.

Hu’ul adalah napak tilas spiritual, menggambarkan perjuangan masyarakat yang berpindah dan menyatu dalam satu tatanan sosial di Mamala. Sekretaris Panitia, Iksan Yamanokuan, menjelaskan bahwa pertunjukan ini menceritakan kembali proses pengembaraan dan bersatunya kelompok masyarakat yang senasib sepenanggungan. Tahun ini, kata Iksan, ada sekitar 70 peserta, termasuk bayi.

“Ini bukan soal jumlah. Bahkan bayi pun ikut, karena Hu’ul menggambarkan sebuah perpindahan kelompok sosial secara utuh,” ujar Iksan.

Diiringi lagu dalam bahasa tanah, Hu’ul membawa penonton menelusuri jejak nenek moyang yang datang dari bumi Sapalewa (Pulau Seram), menyusuri gunung dan laut untuk bergabung dengan saudara mereka di Mamala. Kapata yang dinyanyikan dalam pertunjukan ini adalah bagian dari tradisi lisan yang terekam dalam studi kualitatif berjudul Perilaku Keagamaan dan Kearifan Lokal Negeri Mamala oleh Pardianto, terbit pada Jurnal IAIN Ambon (April 2018). Kapata itu menuturkan pesan Upu Latu Apel kepada rakyatnya untuk menyatukan kekuatan di Negeri Mamala melawan penjajah.

Fatur Wakang memegang tombak, Sukaina Selay (kanan) berpose usai atraksi Hu’ul, Senin, 7 April 2025| Istimewa.

Abdul Rahman Malawat melanjutkan kisah bahwa sebagian masyarakat yang datang ke Mamala berasal dari Tala, Eti, dan Sapalewa. Seiring bertambahnya jumlah penduduk di Pulau Seram, mereka menyebar dan menetap di berbagai daerah, termasuk Mamala.

Negeri Mamala sendiri merupakan bagian dari Kecamatan Jazirah Leihitu, Pulau Ambon, yang dikenal juga sebagai Amalatu. Dalam bahasa lokal, “Ama” berarti negeri dan “Latu” berarti raja, sehingga Amalatu bermakna “Negeri Raja”.

Hi. Hasanuddin Malawat dalam catatan tahun 1993 menuturkan bahwa Mamala pertama kali berdiri di puncak Gunung Salahutu, dikenal dengan sebutan Pausela atau Ulupokol. Lokasi itu kemudian bergeser ke Gunung Iyal-Uli, sebelum akhirnya menetap di lokasi saat ini. Menurutnya, saat orang Portugis pertama datang dan bertanya di mana masyarakat tinggal, mereka menunjuk ke gunung dan menyebut “Mala-mala”—arah gunung yang terlihat kebiru-biruan. Dari sinilah, nama Mamala berasal.

Sosok sentral dalam kisah ini adalah Uka Latu Apel. Ia membawa kendi air dan seekor ayam bernama Lusi sebagai perlambang kehidupan. Setelah menetap, datanglah tiga tokoh lain: Meten, Tuhe, dan Hitiy. Mereka bermufakat memilih pemimpin namun akhirnya menyadari bahwa Uka Latu Apel telah lebih dahulu datang. Ayam peliharaannya menjadi penanda keberadaannya.

Kesepakatan pun tercapai. Uka Latu Apel diangkat sebagai Raja Mamala, ditandai dengan penobatannya di atas sebuah batu yang dikenal sebagai Hatu Hiti Latu. Batu tersebut hingga kini masih digunakan sebagai tempat upacara pengangkatan raja di Mamala.

Di tengah kerumunan, Ziyech Hatuala kembali ke kelompoknya. Ia berdiri mendengarkan aba-aba, wajahnya tetap menatap ke langit. Seakan ia mengerti bahwa rumah yang dituju bukan sekadar tempat, melainkan perasaan: tempat yang nyaman, yang penuh harapan.

Ia tak sendiri. Di sekitar Ziyech, tampak Sukaina Selay (13) dan Fatur Wakang (12) duduk, menyeka air mata. Beberapa anak lainnya menangis—bukan karena sedih, tetapi karena menyelami makna peran yang mereka mainkan.

“Mereka dilatih jauh-jauh hari, bukan hanya untuk menampilkan pertunjukan, tapi untuk benar-benar mendalami dan menemukan arti dari Mala-mala,” ujar Abdul Rahman Malawat.

Hu’ul bukan hanya tentang masa lalu. Ia adalah refleksi perjalanan, kebersamaan, dan harapan. Di setiap langkah para pemerannya, di setiap syair kapata, di balik arang di wajah-wajah kecil itu—terdapat kisah tentang laut, langit, dan negeri biru bernama Mamala.

 

Para peserta atraksi budaya “Pukul Manyapu” Negeri Mamala, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Foto: Ist
Penulis: Sofyan Hatapayo
Editor : Christ Belseran
error: Content is protected !!