titastory, Wamena — Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jayawijaya mengeluarkan surat terbuka, mendesak penghentian operasi militer dan sweeping terhadap masyarakat sipil di Wamena.
GMNI mengingatkan bahwa Wamena bukan kota teroris, melainkan pusat ekonomi, pendidikan, dan sektor publik lainnya di wilayah Pegunungan Tengah. Organisasi itu menyerukan kepada TNI‑Polri untuk tidak salah menafsirkan alat budaya tradisional seperti noken, anak panah, dan busur—yang bukan senjata militer—karena budaya itu bukan ancaman.
“Jika aparat datang untuk menyita alat budaya, maka kami menolak,” kata Ignasius R Pekey dan Hengky Hilapok selaku Ketua dan Sekretaris GMNI Jayawijaya dalam surat terbuka mereka.
Surat tersebut kata kedua pimpinan GMNI Jayawijaya ini, bahwa kehadiran pasukan non‑organik militer di distrik-distrik tertentu justru menciptakan ketegangan dan mengacaukan stabilitas warga sipil, serta menetapkan parameter bicara politik dan keamanan melawan rakyat sipil alih-alih kelompok bersenjata, TPNPB-OPM. GMNI menegaskan oposisi terhadap pendudukan wilayah sipil oleh TNI‑Polri, mendesak agar pasukan tersebut ditarik segera.
GMNI menekankan delapan poin utama, antara lain menghentikan operasi di rumah-rumah warga sipil, tidak menuding orang berkultur Papua seperti berambut gimbal sebagai OPM, serta mencabut keberadaan pos non-resmi di distrik serta tidak membiarkan senjata budaya diidentifikasi sebagai senjata api. Mereka juga memperingatkan, jika tuntutan tersebut diabaikan, mereka akan menggalang massa untuk aksi jalanan.
Mahasiswa meminta agar penegakan hukum tidak hanya bergantung pada kekuatan militer, tetapi juga menghormati adat dan HAM. Mereka mengingatkan bahwa pengambilan adat budaya sebagai alasan operasi berpotensi melanggar hukum nasional dan internasional.

Tanggapan TNI dan OPM
TNI menyatakan aktivitasnya di Wamena hanya berupa patroli rutin, bukan operasi militer bersenjata. Namun, OPM melalui juru bicara Komnas TPNPB, Sebby Sambom, menyebut Wamena sebagai “zona perang” dan mengaku telah melakukan kontak tembak setelah konvoi militer mengikuti mereka dari lokasi sakral Wamena.
Berikut Surat Terbuka dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Jayawijaya

SURAT TERBUKA
Perihal : Orang wamena bukan teroris.
Kepada Yth,
- Gubernur Papua Pegunungan
- DPR Papua Pegunungan
- MRP PAPUA Pegunungan
- Bupati Kabupaten Jayawijaya
- DPRD Jayawijaya
- Kapolda Papua
- Pandam Papua
- Kapolres Jayawijaya
- Dandim Jayawijaya
Di_
Wamena, Papua Pegunungan,
Dengan Hormat,
Berhubungan dengan adanya sweeping dari pihak gabungan TNI/POLRI tanpa memahami kebiasaan hidup atau tradisi orang asli papua umumnya dan Papua Pegunungan (Wamena), sehingga Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, mendesak Kepada Pihak TNI/POLRI Junjung tinggi pada hukum adat atau budaya, agar tidak justifikasi alat perang budaya orang papua sebagai senjata api..
Wamena bukan kota teroris, Wamena adalah kota sentral Ekonomi, Pendidikan, Kesehatan, dan sektor lainnya. Jika TNI/POLRI menyita alat budaya orang asli papua, maka GMNI menilai tidak memahami tujuan negara yang sesungguhnya. Karena di negara Indonesia ada banyak latar belakang suku dan budaya berbeda. Dalam undang-undang perbab atau perpasal tidak menjelaskan alat perang tidak diperbolehkan untuk taru di rumah, TNI/POLRI yang baru dikirim ke Papua Pegunungan dan yang lama bertugas disini harus junjung tinggi pada ketentuan budaya dan adat-istiadat yang ada di tanah ini. Karena alat perang (anak Panah), tidak pernah gunakan sembarang, kecuali ada perang suku atau acara besar-besaran seperti Bakar Batu.
GMNI Jayawijaya tegaskan bahwa, tujuan datang ke wamena, Papua Pegunungan untuk melawan TPNPB, maka silahkan cari mereka di tempat mereka sana, jangan menakut-nakuti Rakyat sipil dengan kekuatan senjata, Rakyat sipil bukan Teroris, Rakyat sipil bukan lawannya TNI/POLRI. Lawan TNI/POLRI jelas TPNPB, bukan Rakyat sipil. Jika gabungan TNI/POLRI datang menyita alat budaya, maka usir mereka. Pengusiran bukan melawan hukum, namun yang datang operasi di rumah Rakyat sipil itu yang melawan hukum. Karena alat perang seperti anak panah dan busur tidak pernah lari sembarang, kecuali perang suku atau ada kegiatan pesta adat. Tindakan TNI/POLRI begini sangat tidak etis dan mohon mengedepankan HAM
GMNI Jayawijaya desak kepada Presiden Republik Indonesia, Kapolda Papua, Pandam Papua, segera tarik militer non organik yang datangkan di tanah papua. Karena kami menilai setelah datang bukan turun di tempat tujuan, namun justru operasi di Rakyat sipil dan hal ini menurut kami sangat keliru dengan tujuan datang di tanah papua, sehingga segera tarik militer non organik. Karena TNI/POLRI yang kirim di tanah papua tidak berpendidikan baik tentang kebiasaan hidup orang asli papua, sehingga setelah datang Rambutnya gimbal, Jenggotnya panjang labelkan sebagai OPM, padahal kebiasaan hidup begini sebagai identitas orang asli papua dan bukan hal baru. Ini kebiasaan hidup orang Papua dan sebelum Indonesia merdeka, orang papua sudah biasa hidup dengan tradisi ini.
Beberapa poin yang perlu GMNI tegaskan sebagai berikut:
- Hentikan operasi militer di Rumah Rakyat sipil di kota Wamena.
- Hentikan justifikasi Rakyat sipil yang rambutnya gimbal, jenggotnya panjang sebagai OPM.
- Jangan menempati aset-aset yang bukan pos TNI/POLRI di Provinsi Papua Pegunungan dan 8 Kabupaten.
- TNI/POLRI jangan berlindung dibelakang Rakyat sipil salah satu contoh, TNI/POLRI sedang menempati di distrik Wa baik.
- 40 distrik, 328 kampung, di Kabupaten Jayawijaya bukan tempat OPM, kalau mau kejar silahkan di hutan sana.
- Ketika TNI/POLRI berlindung dibelakang Rakyat sipil, OPM justifikasi Rakyat sipil sebagai mata-mata, sehingga Kapolres dan Dandim Jayawijaya segera tarik TNI/POLRI yang sedang menempati di beberapa distrik salah satunya saya uraikan di poin 5 diatas.
- Kehadiran TNI/POLRI di beberapa distrik dinilai membawa ancaman dan duduki di beberapa distrik tujuan tidak jelas, sehingga GMNI Jayawijaya desak segera tarik kembali demi keamanan dan kenyamanan Rakyat sipil. Karena kehadiran TNI/POLRI menganggu psikologis Rakyat sipil yang selalu hidup dengan alam biasa dan yang kurang Pendidikan baik tentang kebiasaan hidup orang asli papua baru kirim ke tanah papua ini bisa tembak sembarang seperti kejadian di beberapa Kabupaten lainnya. Sehingga dimohon untuk segera tarik.
- Noken, Gelang, kalung, baju, bermotif Bendera Papua, bukan senjata api atau senjata tajam. Operasi Tim gabungan yang dilakukan di kota wamena terlihat keliru dan tindakan begini justru membunuh psikologis Rakyat sipil.
- Silahkan sweeping alat tajam seperti pisau dan parang sesuai titik koordinat yang sudah ditentukan oleh pimpinan, namun kami tegaskan jangan bikin aturan sendiri ibarat, operasi Rumah Rakyat sipil. Karena operasi tanpa ada surat ijin melawan hukum, apalagi operasi militer di Rumah Rakyat sipil.
- Kewenangan TNI/POLRI dibatasi dengan hukum, bukan senjata api dan kewenangan jadi jaminan untuk operasi terhadap Rakyat sipil sesuka hatinya.
- Ini surat terbuka pertama setelah Pers hari jumat. Jika terus operasi militer di rumah Rakyat sipil, maka GMNI Jayawijaya akan konsolidasi masa dan siap turun jalan demi keamanan dan kenyaman Rakyat. Karena kami menilai semua issue yang di bangun tidak ada yang bisa dipertanggungjawabkan dan kami asumsi bahwa, dibalik semua permainan ini ada agenda terselubung, sehingga segera hentikan operasi militer. Orang wamena sudah pintar dan dewasa dengan issue propoganda yang dimainkan oleh oknum-oknum penguasa yang ada di negara ini.
Rakyat Sipil wamena bukan teroris. Hentikan operasi militer di rumah Rakyat sipil.
Demikian surat terbuka ini menjadi acuan untuk beberapa Pimpinan yang kami sebutkan diatas, agar kedamaian di kota ini terus di jaga tanpa membangun asumsi tidak benar terhadap Rakyat sipil.
Hormat Kami Mengurus,
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.
“”” GMNI Jayawijaya “””
Ttd
Ignasius R Pekey
Ketua GMNI
Ttd
Hengky Hilapok
Sekretaris
Save Rakyat Sipil
Save Budaya Orang papua
Save identitas orang Papua
Hentikan operasi militer

Konflik sipil-militer di Wamena, khususnya terkait operasi di rumah-rumah warga dan penyitaan alat adat, menurut para aktivis mahasiswa ini memunculkan keresahan serius masyarakat. GMNI memandang tindakan tersebut bukan hanya salah sasaran, tetapi juga berpotensi menganggu integrasi dan keamanan budaya Papua.
Ignasius R Pekey, Ketua GMNI Jayawijaya menjelaskan, menurut hukum nasional, masyarakat adat berhak atas penjagaan dan penghormatan adat. Sementara itu, hukum internasional mengamanatkan pemisahan jelas antara aktivitas militer dan kepentingan sipil. Penyitaan barang budaya tanpa alasan militer jelas menyalahi semangat tersebut.
Surat terbuka GMNI Jayawijaya katanya menyuarakan kegelisahan atas kekeliruan strategi militer di Wamena yang mengancam adat dan kestabilan masyarakat sipil.
“GMNI menuntut penghentian segera operasi militer pada warga sipil, penghormatan budaya Papua, dan penarikan pasukan non‑organik.”
Sementara itu, TNI menegaskan kegiatan mereka hanya patroli biasa, meskipun OPM menolak tegas dengan menyebut warga sipil sebagai bagian dari battlefield baru.
“Kedua pihak semestinya harus menempuh langkah dialog—bukan kekerasan—untuk menghindari konflik lebih lanjut dan memastikan keamanan serta kehormatan hak-hak budaya masyarakat Papua tetap terjaga.”
