titastory.id, maluku – Kurun waktu 79 tahun menjadi bagian dari Negara Indonesia yang merdeka, namun masih banyak ditemukan ketimpangan sosial di masyarakat baik dari sisi infrastruktur, pendidikan, kesehatan, ekonomi.
Faktanya, masyarakat adat di Pulau Seram sebagai masyarakat rentan dibiarkan termarginal akibat terisolasi. Padahal jika hitungan jarak dari Ibu Kota Provinsi memakan waktu 1 dan 2 jam, masih terisolir.
Baru-baru viral di media sosial seorang warga yang sakit, terpaksa digotong puluhan kilometer dibawa menuju Puskemas yang berada pusat kota Kecamatan. Pasien tersebut tinggal di pedalaman pegunungan pulau seram barat.
Diketahui pasien tersebut Bernama Imanuel Bitalessy. Pria lansia yang tinggal di Desa Huku, Kecamatan Elpaputih.
Imanuel terpaksa ditandu ke Ibukota Kecamatan karena sakit. Tak akses pelayanan kesehatan di pedalaman pegunungan membuat Ia harus dibawa berobat ke Puskesmas di kota Kecamatan. Imanuel ditandu menggunakan keranda bambu yang ditutupi terpal.
Mirisnya, untuk bisa sampai di pusat Kecamatan, kakek 64 tahun ini harus ditandu.
Kok Bisa?
Ya. Itu karena tak ada akses jalan sehingga ia terpaksa harus ditandu melewati jalan berlumpur dan rusak parah.
Perjalanan dari Desa Huku memakan waktu kurang lebih 30 Km atau sekitara 6 jam perjalanan. Itu pun harus melewati pegunungan dan sungai.
Dalam Video itu, sejumlah pemuda yang menandu kakek ini beberapa kali harus bergantian. Hal ini karena selain medan yang sulit namun mereka harus menyeberangi sungai.
Tak hanya rute jalan sulit karena rusak, namun pria lansia ini juga harus menyeberangi sungai menggunakan rakit menuju jalan utama. Nui merupakan salah satu sungai terbesar di Pulau Seram.
Beruntung saat menyeberangi sungai Nui, tidak ada banjir sehingga rakit yang membawa Kakek Imanuel berjalan lancer.
Aci Bitalessy, salah satu keluarga dekat pasien ungkapkan derita yang menimpa sang pasien saat dibawa berobat.
“Saat bawa beta bapak itu sangat rumit, yakni masalah jalan, menyeberang kali, habis putus jalan putus baru mobil jemput. Sesampai di Kali bapa dikasih turun untuk menyeberangi sungai dengan rakit bambu,” kata Aci.
Proses penyeberangan itu pun kata Aci juga rumit, rakit itu harus ditarik ke seberang sungai. Sesampai di sana sudah ada warga yang menjemput untuk nantinya ditandu menuju jalan utama.
“Ada orang yang sudah tunggu untuk gantian”
Dengan kondisi memilukan ini, Ia berharap ada perhatian khusus dari Pemerintah Pusat maupun Pemda Maluku agar bisa membangun akses jalan dan jembatan penyeberangan yang memadai. Dengan dibangunnya jalan dan jembatan maka akses transportasi akan beroperasi di kampung-kampung mereka.
Sudah sejak lama mereka terus berteriak kepada Pemerintah agar memperhatikan nasib mereka di pedalaman pegunungan Seram Bagian Barat. Namun Pemerintah kata Aci, seakan menutup mata, sehingga hingga kini mereka terus mengalami nasib memprihatinkan.
“Indonesia sudah puluhan tahun merdeka, namun kami terus sama. Apakah ini Namanya kemerdekaan?
Diketahui, rute yang dilalui warga pegunungan saat ini merupakan akses satu-satunya yang menghubungkan sejumlah Negeri di pegunungan yakni Negeri (Desa) Huku Kecil, Negeri Abio, Negeri Ahiolo, Negeri Watui Kecamatan Elpaputy, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku.
Masih di Kabupaten Seram Bagian Barat.
Realitas, masyarakat adat di Pulau Seram sebagai masyarakat rentan dibiarkan termarginal akibat terisolasi. Padahal jika hitungan jarak dari Ibu Kota Provinsi memakan waktu 1 dan 2 jam, masih terisolir.
Apriliska Latu Titahena, perempuan suku Alifuru pulau Seram ini dalam mengatakan, ketimpangan yang mempengaruhi segala bidang di Pulau Terbesar di Maluku adalah keterbatasan akses infrastruktur. Padahal alamnya menyediakan potensi melimpah baik di laut dan darat.
“Hasil, dengan luas 94 persen perairan laut tersimpan kelimpahan potensi, dan selama ini rakyat Maluku hanya disuguhi dengan iming-iming dan janji manis, sedangkan daerahnya berada pada keterisolasian yang seolah disengajakan,” katanya, jumat (16/8/2024).
Menurutnya untuk pemenuhan hak hak konstitusional dengan membangun fasilitas yang memadai butuh keterlibatan semua elemen, karena dari aspek manapun baik pendidikan, kesehatan pembangunan dan Pulau Seram masuk dalam kawasan 3T adalah cita cita bersama.
Faktanya kata Apriliska, masih ada teriakan protes dari gerakan anak muda yakni Save Inamosol di Seram Barat, Save Elpaputih di Maluku Tengah, Save Kilmuri di Seram Timur, termasuk penolakan dan protes yang dilakukan dari raja-raja di Seram Selatan terkait status Hutan Produksi yang Dikonversi secara sepihak oleh KLHK adalah bukti dari ketimpangan yang belum mampu diselesaikan pemerintah memasuki usia ke 79 Tahun.
Dikatakan, investasi baik bidang pertambangan dan kehutanan tidak berpihak dan tidak melibatkan masyarakat adat sebagai pemegang kendali dan pemilik hak ulayat di dataran Pulau Seram. Sebagai bukti adalah bukti bahwa regulasi di Negara ini tidak memihak ke masyarakat adat termasuk di Pulau bertajuk Nusa Ina ini.
“Contoh di SBB, Perda pengakuan masyarakat adat hingga kini belum disahkan, padahal desa-desa yang telah memenuhi syarat sebagai desa adat telah memenuhi syarat belum juga mendapat pengakuan karena adanya tumpah tindih regulasi, dan tumpah tindih kepentingan, dan timpangnya relasi kuasa justru meminggirkan masyarakat adat,” katanya.
Presiden, kata perempuan Seram Barat ini, berbanding terbalik. Contohnya dalam setiap perayaan HUT Kemerdekaan sering mengenakan baju adat dari berbagai daerah. Tradisi ini, katanya, jangan sebagai simbol semata. Begitu juga pemimpin daerah. Gubernur yang menjabat juga mendapat gelar adat, sayangnya dalam implementasinya masyarakat adat dipandang sebagai objek, bukan subjek.
“Ini yang harusnya didorong agar memperhatikan perlindungan dan pengakuannya, itu artinya harus ada pengakuan dan legal formal regulasi, dan aturan legal tentang keberadaan masyarakat adat,” tekannya.
Dia bilang, untuk mendapatkan legitimasi dan pengakuan perda adat saat ini saja hanya masih sebatas wacana oleh Pemerintah, bagaimana dengan manyelesaikan keterisolasian masyarakat pulau seram dari segi pembangunan?
“Contoh kasus di Inamosol. Jika ditempuh dari kota Ambon, Ibu Kota Provinsi Maluku setelah menyeberangi laut, tiba di Waipirit dan dengan menggunakan kendaraan roda dua (Ojek) hanya butuh waktu 15 menit. Selanjutnya ke Desa Induk, Honitetu berjarak 24,70 Kilometer waktu tempuh antara 30-40 menit justru memboros waktu.” Padahal, katanya, dengan status jalan Provinsi sesuai keputusan Gubernur Maluku nomor 273/2016 tentang penetapan ruas jalan, seharusnya pembangunan jalan bisa dilakukan.
“Saat ini yang terjadi adalah, waktu tempuh yang lama disebabkan oleh jalan rusak, banyaknya lubang-lubang yang mengangah dihiasi lumpur, semak dan pohon berjejer,” tambahnya.
Padahal, kata Dia, lokasi itu sempat dikunjungi oleh sejumlah pimpinan daerah, namun tak ada tindak lanjut masalah tersebut.
Tak hanya infrastruktur Dia bilang kondisi memprihatinkan lainnya adalah Sumber Daya Manusia (SDM). Tentunya, kondisi jalan yang rusak akan berpengaruh ke tingkat Pendidikan maupun Kesehatan karena daerah tersebut sangat terisolasi.
“Kita bicara soal pembangunan jalan, tapi bagaimana penempatan tenaga profesional baik guru dan tenaga medis yang enggan tinggal di tempat, itu harus dipikirkan pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Banyak jiwa yang tak tertolong, dan banyak jiwa mati sia sia.
Dokumentasi dari banyaknya persoalan di Pulau Seram ini kemudian akan menjadi biang konflik akibat dari keterbatasan akses termasuk akses informasi.
Dengan kondisi keterbatasan, kehadiran koorporasi baik tambang maupun kehutanan tidak banyak membantu masyarakat malah masyarakat adat sebagai pemilik ulayat terancam ruang hidupnya.
Mirisnya, proses perizinan tidak sesuai prosedur atau cacat hukum. Masyarakat sebagai pemilik lahan tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Meski begitu tak banyak masyarakat yang mengerti dan tahu proses masuknya investasi.
Jika tawarannya adalah tambang, kata Apriliska maka orang akan berpikir positif tentang tambang tanpa mereka sadari bahwa investasi skala besar itu akan berdampak pada kerugian besar untuk masyarakat adat dan lingkungan sekitar.
“Itu bukan tawaran yang bisa memberikan solusi pemenuhan ekonomi, yang dibutuhkan adalah pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat dengan memasarkan hasil alam bernilai di Pulau Seram, bukan tawaran yang berimplikasi pada keterancaman,” cetusnya.
Ia bilang kerusakaan hutan juga akan terancamnya mata pencaharian, untuk petani, nelayan, bahkan yang paling terdampak adalah perempuan atau ibu rumah tangga.
“Seolah-olah dipaksakan menjadi penambang dengan iming iming peningkatan kesejahteraan keluarga. Padahal versi kesejahteraan masyarakat Pulau Seram adalah makan dari hasil alamnya dan hidup dari wilayah adatnya,” kata Apriliska mengakhiri wawancaranya.
Kurun waktu 79 tahun menjadi bagian dari negara, yang merdeka dan berdaulat masih ditemukan ketimpangan dari sisi pembangunan, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial.
Tak hanya di Seram Barat dan Seram Selatan, kondisi yang sama juga dikeluhkan oleh masyarakat adat di Seram Utara. Bagi mereka momentum HUT RI adalah adalah merdeka dari kemiskinan dan pembangunan. Namun sepertinya kemerdekaan hanyalah sebuah kemeriaan bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan.
Kemerdekaan adalah bebas dari penjajahan asing, kemerdekaan adalah perubahan menuju kesejahteraan rakyat. Sudah ke-79 tahun kita merdeka, namun masyarakat adat di pedalaman Seram Utara belum merasakan kemerdekaan.
Sore itu, Rabu 14 Agustus 2024. Daniel Ilela berada di persimpangan lapangan Sepak Bola Negeri Kobi Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah. Dari situ Ia mulai curhat tentang nasib warga di kampungnya pedalaman Seram Utara, yang hidup berpuluh tahun dalam ketertinggalan. Masyarakat di pedalaman Seram utara jauh dari sentuhan infrastruktur mulai dari akses jalan, lampu listrik, kesehatan, pendidikan dan jaringan telkomsel.
Dani Ilela dikenal sebagai salah satu tokoh masyarakat di Kabuhari, dani bercerita perjalanan untuk sampai di pusat kota keramaian harus menempuh jarak berpuluh kilo dari kampungnya. Kurang lebih 20 Kilometer dari kampung menuju pusat Kota kecamatan yang ditempuh dengan jalan kaki menyusuri hutan rimba melewati sungai yang memakan waktu berjam-jam.
Jika di musim penghujanan warga pedalaman menghabiskan waktu 2 -3 hari berjalan kaki, akses jalan yang sulit dilewati akibat banjir. Kondisi ini sudah berpuluh tahun dirasakan oleh warga, namun pemerintah tetap menutup mata sengaja mengabaikan nasib mereka.
“Sudah 79 tahun kita merdeka tapi bagi kami belum merdeka” Ucap dani di samping lapangan saat menyaksikan tim kembagaan Kabuhari, yang ikut berlaga di final turnamen bola kaki memeriahkan HUT kemerdekaan RI di Negeri Kobi. Sore itu.
Meriah dalam menyongsong kemerdekaan RI berbagai jenis perlombaan dilaksanakan. Kampung-kampung dari pedalaman tidak pernah ketinggalan, mereka turut mengambil bagian. Walaupun akses jalan sulit ditempuh namun semangat tetap berkobar ikut dalam meriahkan HUT kemerdekaan di pusat Kecamatan.
Daniel bercerita, namun sesekali pandangan mengarah ke lapangan sepak bola. Tampak lensa matanya terlihat fokus mengikuti irama pergerakan bola yang sedang dimainkan oleh anak-anak kabuhari, tidak berhenti disitu ia lanjut bercerita, kata dia Negara seakan menganaktirikan masyarakat adat di pedalaman Seram Utara padahal warga pedalaman adalah bagian dari NKRI.
“Negara sengaja menganaktirikan kami. Padahal kami adalah bagian dari Negara ini”. Lanjutnya.
Kabuhari adalah salah satu desa yang berada di pedalaman Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah, mata pencaharian warga di desa itu sebagian besar petani. Hasil pertanian dari mereka kadang dipasarkan untuk memenuhi keperluan hidup dan biaya sekolah anak-anak, kadang juga tidak dijual. Karena akses jalan yang jauh dan sulit di tempuh ke pusat keramaian.
“Warga banyak punya hasil kebun tapi tidak tau mau di jual kemana. Akses jalan yang susah, itulah alasan bagi kami untuk tidak dapat menjual hasil panen kami,” Jelas dia.
Di persimpangan lapangan, daniel masih terus bercerita, dia mengatakan warga pedalaman di wilayah itu takut kalau sakit, karena jarak tempuh yang terlalu jauh dan akses jalan yang tidak mendukung untuk berobat ke puskesmas, mereka punya tenaga medis yang sering membantu warga di pedalaman namun perlengkapan medis kadang terbatas.
“Kami khawatir kalau warga ada yang sakit karena memikirkan jarak yang begitu jauh ke puskesmas untuk berobat. Jika ada pasien yang sakit berat terpaksa digendong menggunakan sarung pasien dimasukan ke dalam sarung lalu dipikul”. terang dani.
Dia juga mengatakan pernah ada pasien ibu hamil yang meninggal akibat kelelahan dalam perjalanan dan terlambat dapat bantuan medis.
Ilela berharap, semoga di HUT Kemerdekaan RI Ke- 79 ini, dapat membawa makna kemerdekaan yang luas terutama bagi masyarakat-masyarakat adat yang terpinggirkan di pedalaman Seram Utara dapat diperhatikan oleh negara terkait sentuhan infrastruktur.
“Semoga Kemerdekaan ini dapat membawa makna yang luas dan pemerintah dapat melihat nasib kami warga pegunungan yang selalu hidup dalam keterbatasan,” Harap dani.
Namun jangan salah, lokasi Dani di Seram Utara, ribuan hektar tanaman monokultur kelapa sawit berdiri kokoh. Sawit-sawit ini adalah milik perusahaan PT Nusa Ina Group Sihar Sitorus, seorang pengusaha kaya asal Batak Sumatra Utara.
PT Nusa Ina Group berinvestasi dan melakukan aktivitas di dataran Seram Utara sejak tahun 2014 lalu. Usaha perusahaan berjalan mulus setelah berhasil membujuk para pemilik tanah ulayat. Sihar pun membentuk lima perusahan berada di bawah bendera Nusa Ina Group yaitu PT Nusa Ina Aketernate Manise, PT Nusa Ina Kobi Agro Manise, PT Nusa Ina Agro Huaulu Manise, PT Nusa Ina Agro Tanah Merah Manise, dan PT Nusa Ina Manusela Manise.
Izin perkebunan PT Nusa Ina Group ini dibentuk menjadi lima perusahan pada tanggal 30 september 2009 PT Nusa Ina Kobi Agro Manise dengan nomor 525.26-499 tahun 2009 dipimpin oleh Subuh Hariman Going; PT Nusa Ina Manusela Manise dengan nomor 525.26-500 tahun 2009 dipimpin oleh Ramli Kabau; PT Nusa Ina Kobi Agro Manise dengan nomor 525.26-498 tahun 2009 dipimpin oleh La Ode Arifin; PT Nusa Ina Agro Huaulu Manise dengan nomor 525.26-501 tahun 2009 dipimpin oleh Soedardjo Sumitro; serta PT Nusa Ina Agro Tanah Merah Manise dengan nomor 525.26-501 tahun 2009, dipimpin oleh Direktur Utama Sihar Sitorus.
Namun perusahaan ini sempat bermasalah dengan masyarakat di sekitar. Nusa Ina menggunakan system kemitraan untuk menjalankan bisnis kebun sawit di Maluku Tengah. Mereka mengelola tanah itu dan membagikan hasil perkebunan dengan pembagian 70:30. Pemilik tanah akan memperoleh 30 persen dari total hasil kebun.
Meski begitu masyarakat maupun petani di sekitar merasakan dirugikan. Mereka tidak merasakan dampak dari kehadiran perusahaan monokultur ini. Malah sebaliknya 79 tahun ini, mereka belum menikmati hasil dari investastasi pengusaha asal medan tersebut.
Realitas, masyarakat adat di Pulau Seram sebagai masyarakat rentan dibiarkan termarginal akibat terisolasi. Padahal jika hitungan jarak dari Ibu Kota Provinsi memakan waktu 1 dan 2 jam, masih terisolir.
Huna Matoke, salah satu perwakilan perempuan ada dari suku Nuaulu, di Seram Selatan, Maluku Tengah. Nuaulu kata Huna hingga saat ini masih termarginalkan. Baik dari sektor pendidikan maupun sektor kesehatan di Pulau Seram. Masalah ini menurutnya sudah dilaporkan berulang kali kepada Pemerintah baik dalam forum resmi maupun di sejumlah forum dan media.
Nuaulu adalah salah satu suku asli pulau seram yang hingga saat ini masih memelihara adat dan budaya serta hukum adatnya. Nuaulu juga merupakan salah satu suku asli yang kini masih mempertahankan agama leluhurnya, dan masih menganut kepercayaan agama suku.
Suku Nuaulu adalah suku asli yang mendiami Pulau Seram bagian utara sejak ribuan tahun lalu. Mereka berdiam di hulu Sungai Nua. Letaknya, bersebelahan dengan Sungai Salawai di sekitar Gunung Nua.
Orang Nuaulu sendiri memiliki ciri khas. Kaum prianya mengenakan karanunu atau kain berang yang diikat di kepala. Awalnya semua marga suku berdiam di Watan, di perbukitan belakang Negeri Sepa.
Kini orang Nuaulu telah menetap dan mendiami Pulau Seram Tengah Bagian Selatan. Mereka tersebar di Dusun Rohua, Bunara, Nualan, Latan, Simalou, dan Nuanea. Mereka juga bermukim di Ronusa, sebuah perkampungan baru.
Meski orang Nuaulu di zaman sekarang sudah terbilang hidup lebih modern, namun sejatinya mereka tidak bisa dipisahkan dari hutannya, terutama Hutan Negeri Lama.
Dari 12 marga atau klan, mereka masing-masing hutan keramat, yang dijadikan tempat bahan untuk pelaksanaan ritual adat, mengambil kayu, sagu dan damar. Juga berburu hewan konsumsi, seperti babi hingga rusa.
Semuanya, harus diambil di hutan itu. Namun, sejak pembalakan oleh perusahaan berlangsung, hewan-hewan itu mulai sulit ditemukan.
Huna bilang sukunya itu sebagian besar masih memeluk kepercayaan asli Nuaulu. Dia mengeluhkan satwa kuskus yang semakin sulit dijumpai. Padahal ritual adat seperti acara adat pataheri memerlukan satwa ini. Akibatnya ritual adat tersebut sering tertunda saat ini.
Huna bilang kebutuhan akses pendidikan rendah tentu saja berdampak pada mutu pendidikan. Misalnya di SD Rohua Baru, Kampung Rohua Waemanesi, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah. Di sekolah ini hanya dikelola seorang kepala sekolah dan 2 orang guru. Padahal disana ada puluhan siswa.
“Entah apa yang ada dibenak pemerintah kabupaten dan Provinsi hingga negara ini. Apakah suku Nuaulu bukan bagian dari negara ini,” ungkapnya.
Matoke menjelaskan, cita-cita negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa masih sebatas wacana, terkesan masih setengah-setengah. Menurutnya untuk membangun negara SDM harus diperhatikan, dan untuk mencapai tujuan itu pembangunan infrastruktur jalan sangat diperlukan.
Namun lagi-lagi akses jalan menjadi kendala. Seperti di Dusun Rohua Baru, masyarakat Nuaulu harus bertaruh nyawa menyeberangi sungai Tanah untuk melakukan aktifitas. Dan jika terjadi banjir masyarakat terhalang dengan kondisi alam. Jika dalam kondisi mendesak, mereka terpaksa memberanikan diri untuk menyeberangi sungai karena merupakan akses satu satunya.
“Saya duga kondisi ini adalah salah satu penyebabnya, jika diperhadapkan dengan cuaca buruk guru di SD Rohua Baru tak akan ke sekolah sebab jika Sungai Tanah meluap tak satupun manusia bisa lewat,” ujarnya.
Untuk itu, kata Matoke, pentingnya sarana penghubung berupa jembatan sehingga masyarakat bisa melewati sungai tanpa takut, sehingga kondisi keterisolasian ini pun diatasi.
“Itu baru dari dunia pendidikan, belum dari bidang lainnya, artinya masyarakat Suku Nuaulu butuh akses penghubung sehingga tidak terisolasi,” tutupnya.
Tak hanya itu, ancaman terhadap hutan adat juga terjadi pada suku yang identik dengan kepala merah ini. Saat ini orang Nuaulu terancam karena saat ini pemerintah daerah memberikan izin konsesi terhadap salah satu perusahaan kayu PT Bintang Lima Makmur (BLM).
Perusahan PT BLM mendapat konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH) seluas 24.550 hektar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dengan SK.537/ Menhut-II/ 2012, tanggal 26 September 2012, mencakup kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi untuk Dikonversi (HPK). Izin penguasaan membentang secara administratif di Kecamatan Amahai hingga Kecamatan Teluk Elpaputih. Di Kabupaten Maluku Tengah sendiri, selain PT BLM sebagai pemegang konsesi HPH. Ada juga PT Albasi Priangan Lestari dan PT Talisan Emas.
Deliana Behuku Perempuan adat di Pulau Buru, mengatakan keberadaan masyarakat adat sebagai penjaga hutan kian terancam. Bahkan jika dihubungkan dengan HUT RI ke 79, kata Merdeka kata Deliana sangat jauh dari kondisi masyarakat adat Buru saat ini. Mengapa? Karena orang Buru merasa tertindas di atas tanah sendiri.
Dia bilang, masyarakat adat di Buru yang tinggal di pedalaman jauh sangat jauh tertinggal baik dari segala aspek baik pendidikan, kesehatan, dan pembangunan. Sudah terisolasi dan tertinggal, bahkan kata Deliana, alam mereka terancam rusak akibat izin konsesi perizinan atas nama pembangunan untuk proyek strategis nasional (PSN). Hal itu seolah pemerintah membuka ruang dan masyarakat adatnya jadi korban.
Dia juga menyampaikan seiring perkembangan pranata adat tidak lagi dihargai, praktik adu domba untuk kepentingan dihembuskan oknum berjubahkan kepentingan, kentalnya politik identitas yang merajai, indikasi intimidasi. Sehingga Kemerdekaan itu hanyalah slogan semata, sementara masyarakat adat menderita.
Belum lagi, ungkap Behuku, tindakan penyerobotan tanah milik masyarakat adat disejumlah kawasan untuk kepentingan investasi dilakukan sesuka hati. Di point ini masyarakat tidak diberikan kesempatan untuk mengambil bagian dalam pengambilan keputusan sehingga berdampak pada potensi konflik sesama masyarakat adat di tanah Bupolo.
“Terjadi penyerobotan tanah dan hutan yang didukung dengan regulasi gas, kayu dan emas dikeruk,” ujarnya.
Kemerdekaan di Mata Warga Aru
“Masyarakat kecil belum merdeka”, kemerdekaan hanya milik orang berada,” kata Paulus Pitkaem, seorang nelayan kecil asal Kabupaten Kepulauan Aru.
Pernyataan ini dilontarkan sebagai bentuk kekecewaan atas kondisi perampasan hak-hak masyarakat di Kabupaten bertajuk bumi Jargaria ini.
“Katong (kita) mau bilang merdeka tapi pemerintah melakukan korupsi dimana-mana, hak-hak masyarakat diambil, praktik tangan besi.
Dia bilang, kemeriahan HUT Kemerdekaan RI tiap tahun hanya sebatas rutinitas, senang sehari sengsara setahun. Di Mata pemerintah masyarakat kecil tidak punya harga.
Masyarakat kecewa karena negara tidak berpihak untuk masyarakat. Hari merdeka hanya milik para kaum borjuis.
Anaci Sersian, perempuan Aru, mengatakan arti merdeka hanya dirasakan oleh segelintir orang seperti para pejabat di pemerintahan dan swasta sedangkan mereka sudah tentu menjadi korban atas ketidakadilan pembangunan.
Selain itu kasus yang belakangan terjadi kepada masyarakat adat Aru adalah dugaan perampasan hak masyarakat. Mereka kata dia hidup tak segan mati tak mau karena tidak nyaman lagi di atas tanah mereka sendiri. Padahal kata Anace Kekayaan alam laut dan darat bisa menjadikan mereka menjadi sejahtera namun terus dirampas.
Selain itu Kepulauan Aru menurutnya, saat ini “digempur” perebutan politik investasi. Anaci merincikan ragam masalah utama antara lain: Ancaman berulang perkebunan tebu PT Menara Group, Pengembangan wilayah TNI AL di wilayah adat, Politik Pemekaran wilayah Aru Perbatasan, Potensi ancaman: Industri Perternakan sapi, Ekspansi Illegal Logging di Hutan Aru, Perluasan industri kehutanan: Hutan Tanaman Industri (HTI), Ketiadaan pengakuan MHA dan Marjinalisasi Masyarakat adat dari ruang hidupnya, Politik adu domba: Antar adat dan rakyat Aru.
Forest Watch Indonesia (FWI) dalam penelitiannya menyebutkan, 96 persen hutan di Kabupaten Kepulauan Aru, adalah milik negara. Itu beratti bahwa, sebagian besar hutan di Kabupaten Kepulauan Aru, adalah milik negara. Tersisa 4 persen yang bisa dikuasai oleh pemerintah daerah dan masyarakat adat setempat. Dengan demikian, sangat penting untuk pengusulan hutan adat.
Berdasarkan data yang dimiliki Forest Watch, Hutan Lindung di Kabupaten Aru seluas 8337,25 hektar, Suaka Margasatwa: 67243,38 hektar, Hutan Produksi :194355,95 hektar, Hutan Produksi Konversi: 511094,61 hektar dan area penggunaan lain: 31535,24 hektar, dengan total: 779031,20 hektar.
Hasil laut dan darat di rampas, kami orang kecil mau makan apa? ucapnya.
Dia meminta HUT ke 79, negara tidak merampas milik masyarakat.
“Katong hanya meminta agar hak-hak dari rakyat kecil harus dikembalikan. Katong hanya ingin hidup tenang di tanah sendiri,” ucapnya.
Pertanyaan kecil, dari berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat dari berbagai daerah di Maluku ini, apakah mereka sudah merdeka?
(tim liputan)
Discussion about this post