Sidang Pengibar Bendera RMS di Latuhalat Hadirkan Saksi Ahli Dari PBB

by
10/11/2020
Foto : Gazhali Ohorella, Saksi Ahli PBB yang dihadirkan dalam pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di Latuhalat, Kecamatan Nusaniwe, Ambon, dengan terdakwa Dominggus Saiya dan Agus Matatula, kembali bergulir di Pengadilan Negeri Ambon, Senin (9/11/2020).

titastory.id,-Sidang tindak pidana makar pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di Latuhalat, Kecamatan Nusaniwe, Ambon, dengan terdakwa Dominggus Saiya dan Agus Matatula, kembali bergulir di Pengadilan Negeri Ambon, Senin (9/11/2020).

Sidang yang dipimpin majelis hakim Ahmad Hukayat didampingi Jeny Tulak dan Ismail Wael  berlangsung secara virtual, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi meringankan,  Ghasali Ohorela, yang dihadirkan kuasa hukum, Semuel Waileruny.

Ghazali Ohorela adalah ahli hukum internasional dan masyarakat adat, pengacara HAM dan sering memberikan advis bagi negara dan masyarakat adat, serta staf general Savety di PBB.

Saksi berdarah Maluku ini juga  sering melakukan negosiasi terhadap proses-proses hukum internasional,  dan  perubahan iklim dunia. Sidang berlangsung dalam bahasa Indonesia dan Inggris, menggunakan penterjemah dari Universitas Pattimura Ambon.

Dalam keterangannya, saksi mengatakan, sejak 20 tahun lalu  masyarakat adat  Maluku Alifuru  sudah resmi terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ghazali juga menjelaskan,  dari sisi hukum internasional, Proklamasi RMS 25 April 1950 saat itu memenuhi syarat sebagai sebuah negara, karena memiliki populasi (red-rakyat), wilayah dan pemerintahan.

“Berdasarkan hukum internasional, deklarasi RMS 25 April 1950 memenuhi syarat, karena memiliki populasi, wilayah dan pemerintahan. Syarat-syarat ini sudah dipenuhi oleh RMS,”jelasnya menjawab pertanyaan kuasa hukum, tentang apakah Proklamasi RMS memenuhi syarat sebagai negara sah.

Ghazali menuturkan,  tahun 1976, RMS juga telah mendapat pengakuan sebagai sebuah negara dari negara di Afrika. Apabila  saat itu  ada pemerintahan  yang berdaulat, maka memungkinkan bagi RMS untuk menjalin hubungan kerjasama dengan negara lain,  serta secara tidak langsung akan mendapat  pengakuan.

Saksi dalam persidangan mengatakan melihat pemerintahan RMS di Belanda sebagai pemerintahan RMS Pengasingan, tetapi secara eksplisit bahwa suatu Negara dapat bertahan hidup tanpa pemerintah.

Ghazali mencontohkan negara Jerman yang sempat tidak  memiliki pemerintahan. Demikian juga dengan negara Somalia yang  sempat memiliki pemerintahan yang tidak efektif, namun tidak kehilangan statusnya sebagai negara.  Dengan demikian, dalam hal ini, RMS tidak kehilangan statusnya  sebagai sebuah negara, hanya karena pemerintahannya tidak ada di Maluku.

Dimintai pendapatnya tentang aneksasi, Ghazali menyebutkan, PBB hadir karena  terjadinya aneksasi.

“Integritas teritory sebuah negara, tidak bisa diambil alih oleh negara lain. Hal inilah yang menyebabkan hadirnya PBB,”tegasnya.

Tentang penaikan bendera yang  dilakukan oleh aktivis FKM/RMS  yang  dianggap sebagai tindakan makar,  Ghazali mengakui hal itu tidak diatur dalam hukum internasional, karena merupakan masalah dalam negeri.  Namun  dia berpendapat, apa yang dilakukan oleh para aktivis/simpatisan FKM/RMS  adalah bentuk cara berekspresi menyampaikan pendapat secara damai.

“Merujuk pada  perjanjian hak sipil dan hak politik yang ikut ditandatangani oleh Indonesia tahun 2006 silam, yang menjamin hak penentuan nasib sendiri, hak mengeluarkan pendapat,  berekspresi dan berasosiasi, maka apa yang dilakukan adalah bentuk berekspresi. Dengan demikian, masyarakat Maluku  juga memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, berdasarkan apa yang saya jelaskan tadi,”tegasnya.

Meskipun demikian, Pemuda berdarah Maluku yang tidak pernah menginjakkan kaki di Indonesia ini mengetahui RMS dilarang di Indonesia, saat menjawab pertanyaan hakim.

 

Aksi Demo  Damai Di Depan KBRI  Den Haag

Disaat sidang sedang berlangsung, aksi demo damai dilakukan di Belanda oleh sejumlah Warga Belanda, keturunan Maluku. Puluhan warga keturunan Maluku  yang tergabung dalam The children of the South Moluccan Republic menggelar aksi didepan Kantor Kedutaan  Besar Republik Indonesia (KBRI), yang terletak di Tobias Asserlaan 8, Den Haag  pukul  12:00  hingga   1.30  waktu setempat.

Salah satu warga Belanda keturunan Maluku yang enggan namanya disebutkan via ponselnya Senin (09/11/2020) mengatakan,  aksi ini untuk menarik perhatian atas ketidakadilan yang dilakukan terhadap   warga Maluku Selatan. Dominggu Saiya dan Agus Matatula  menurut mereka hanya menyampaikan keinginan secara damai pada 25 April 2020 lalu, namun ditangkap.

Pendemo juga menyebutkan, pemerintah Indonesia  hanya berpura-pura menerapkan demokrasi karena masih menangkap    warga  yang menyatakan keinginannya untuk membebaskan Maluku secara damai.

“Oleh karena itu, kami di sini hari ini untuk menunjukkan solidaritas kami – tidak hanya untuk Dominggus dan Augus – tetapi juga untuk aktivis lain yang berada di penjara atau sudah menghadapi dampak yang dibawa oleh Indonesia. Kami berterima kasih atas keberanian mereka dan tidak akan melupakan mereka maupun tindakan mereka. Sejak pendudukan, Indonesia telah merampok tanah kami, harta kami, budaya kami, identitas kami dan martabat kami. Kami mengakui bahwa hal yang sama terjadi pada saudara dan saudari kami di Papua Barat dan Aceh,”tukasnya.

Pendemo juga  ikut mendukung   Njonja Soumokil,  yang mempertanyakan keberadaan makam dari suaminya pendiri RMS, alm. Chris Soumokil yang dieksekusi tahun 1966 silam. (T-01)

error: Content is protected !!