Setelah Raja Ampat, Terbitlah Kepulauan Kei: Hutan Digusur, Laut Terancam

06/06/2025
Gambar Peta Kepulauan Kei yang terancam akibat eksploitasi tambang batu dan pasir di Ohoi Nerong, Kei Besar. Sumber foto: akun facebook @Fiky Key
Setelah Raja Ampat, Terbitlah Kepulauan Kei: Tambang Haji Isam dan Tangisan Pulau Kecil

Mati tanam di Bumi. Harga diri tanam di Langit. Ehh tanahnya sudah dieksploitasi secara besar-besaran. Jadi solusinya tanam di air laut mumpung luas lautan lebih besar dari daratan.

Begitulah ungkapan hati @Fiky Key, seorang pegiat media sosial asal Maluku Tenggara, dalam unggahan Facebook-nya. Di sana, ia membagikan peta Pulau Kei Besar yang menunjukkan dampak kerusakan akibat aktivitas tambang pasir dan batu di kawasan Ohoi Nerong. Postingan itu menampilkan foto-foto yang menunjukkan kerusakan hutan yang parah, diduga akibat operasi pertambangan oleh PT Batu Licin—anak perusahaan dari Jhonlin Group milik Haji Isam.

@Fiky Key secara langsung menuding bahwa kerusakan ini berasal dari aktivitas tambang perusahaan tersebut. Tuduhan ini memantik gelombang protes di media sosial dari warganet lainnya, yang menyuarakan keresahan akan masa depan Pulau Kei Besar.

“Bilang dong (mereka) gali kasih putus pulau Kei Besar itu sdh… demi kesejahteraan orang-orang pintar yang jual lahan dengan harga Rp10 ribu per kubik. Mereka pikir itu uang bisa buat makan selama 10 abad juga tidak habis,” tulis @Nanda Martsia Rahalus Namart.

Banyak yang mempertanyakan, meski kekayaan alam terus dikeruk, mengapa wilayah Indonesia Timur tak kunjung maju.

“Hampir semua wilayah di Indonesia Timur dieksploitasi SDA. Tapi Indonesia Timur tidak pernah maju-maju,” tulis @Wai Tofan.

Warganet lain juga menyoal logika pembangunan yang tidak masuk akal.

Gambar Peta Kepulauan Kei yang terancam akibat eksploitasi tambang batu dan pasir di Ohoi Nerong, Kei Besar. Sumber foto: tangkapan layar dari akun facebook @Fiky Key

“Sangat tidak masuk logika. Coba bayangkan, pulau sekecil Kei diambil batunya untuk menimbun kembali pulau Papua. Memangnya Papua tidak ada batu?” tanya @Rahail Yanto.

Pertanyaan tentang izin pun bermunculan. Mereka menilai pemerintah daerah dan aparat telah gagal menjalankan fungsi kontrol.

“Kenapa pemerintah tidak larang barang seperti itu? Kalau bukan pemerintah yang izinkan, tidak mungkin perusahaan bisa masuk,” ujar @Marcho Buiswarin.

Kritik tajam datang pula dari @Rahawarin Riki: “Yang menjaja Indonesia bukan orang luar negeri, tetapi orang Indonesia sendiri yang merenggut nyawa dan harta kekayaannya demi kekayaan.”

Beberapa warganet bahkan mengancam akan menjaga wilayah mereka sendiri jika aparat dan kepala desa tak mampu melindungi tanah.

“Boleh gusur yang lain, tapi kalau masuk kampung kami, tanya dulu. Nyawa jual di toko mana? Kepala desa dan aparat yang kasih izin juga harus tanggung jawab,” kata @Beta Ohoirenan (Nang Ko).

Narasi yang berkembang semakin menuding peran para elit lokal dan pemangku kepentingan yang memilih tutup mata demi keuntungan pribadi.

“Menghancurkan alam demi memperkaya orang-orang tertentu saja. Terus apa arti perjuangan leluhurmu kalau cuma dirusak seperti ini?” tulis @Christopher ‘Ovel’ Ulukyanan.

Kerusakan hutan dinilai menjadi penyebab meningkatnya bencana, terutama banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya di wilayah ini.

“Leluhur sangat menjaga alamnya untuk anak cucunya. Tapi anak cucunya menghancurkan. Selamat menikmati, semoga anak cucu kita tidak menempati Kei lagi,” tulis @Yoseph Rahail.

“Baru hujan angin sudah banjir. Itu baru teguran ringan dari Tuhan. Uang bisa dicari, tapi nyawa tidak bisa dibeli,” timpal @Uchu Uchu.

Namun, tidak semua warga satu suara. @Chopo R Rahangiar, yang mengaku sebagai karyawan PT Batulicin Beton Asphalt (BBA)—anak perusahaan Jhonlin Group—menyatakan bahwa banjir dan kerusakan adalah kehendak Tuhan.

“Itu bencana alam, semua kehendak yang Maha Kuasa, bukan karena aktivitas kami,” tulisnya.

Potret bencana banjir di Ohoi (desa) Waurtahait Tanat Sortomat. Sumber foto @Fiky Key

Komentarnya langsung disanggah oleh warganet lain.

“Dulu tidak ada banjir. Sekarang perusahaan masuk, kampung-kampung kena banjir dan longsor. Masa tidak ada pengaruhnya?” serang @Eken Natan.

“Jangan tutup mata hanya karena uang. Coba belajar dulu tentang penyebab banjir sebelum banting lidah,” lanjutnya.

@Nanda Martsia Rahalus Namart  juga menegaskan: “Tuhan kasih bencana supaya manusia sadar, bukan supaya tutup mata dan rusak alam karena Rp10 ribu.”

Warganet lain, @Vansyah Wardi Banyal, ikut bertanya: “Sebelum perusahaan masuk, apakah ada banjir separah ini?”

Tudingan semakin menguat ketika diketahui bahwa hasil pengerukan pasir dan batu di Kei Besar digunakan untuk memenuhi proyek strategis nasional di Merauke, Papua Selatan. Proyek itu juga dikelola oleh investor asal Kalimantan Selatan.

“Kalau hanya mau timbun, kenapa tidak ambil dari gunung di Papua yang besar dan dekat? Kenapa harus dari pulau kecil seperti Kei? Karena tanahnya mengandung nikel mahal,” tulis @Takbir Kei.

“PT BATU LICIN sudah kasih pelumas, akhirnya semua lupa daratan,” tambah @Rahail Yanto.

Meski beberapa suara mendukung bahwa pengelolaan sumber daya alam bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), warganet lain mengingatkan agar tidak dengan menebang pohon atau menggunduli gunung.

“Kalau Pulau Kei sebesar benua Australia mungkin tidak apa-apa. Tapi ini dua garis di peta saja, sebentar lagi bisa tenggelam semua,” tulis @Marfyn Ohoiledjaan.

Pulau Bair di Kota Tual, Maluku Tenggara (Shutterstock:Eluhulima) Pulau Bair, Obyek Wisata di Maluku Tenggara

Dampak yang ditakutkan bukan hanya pada daratan, tapi juga pada lautan dan ekosistem wisata yang selama ini menjadi kebanggaan Maluku Tenggara. Pulau Bair—yang dijuluki Raja Ampat-nya Kei—terancam jika aktivitas eksploitasi tak dikendalikan.

“Boleh garap SDA, tapi tolong jangan dengan cara membongkar hutan dan gunung,” pinta @Putra Wadlau.

“Tanah seperti Mama. Ia memberi makan setiap detik. Tapi sekarang Mama menangis karena anaknya berebut tanah yang sudah bukan miliknya. Lebih baik tidak punya uang, daripada tidak punya tanah,” tutup @Sarah Amelia Refo dalam komentarnya.

Dari kisruh ini, tampak bahwa kepulauan kecil di timur Indonesia kembali berada dalam bayang-bayang kehancuran akibat keserakahan dan lemahnya kontrol negara. Pertanyaannya kini, apakah Kepulauan Kei akan bernasib seperti Raja Ampat, atau masih ada harapan untuk menyelamatkannya?

Potret pulau-pulau di Raja Ampat yang terancam rusak akibat eksploitas secara masif pertambangan nikel
error: Content is protected !!