Oleh Christ Belseran
“Pattimura Tua Boleh Mati, Tapi Akan Bangkit Pattimura-Pattimura Muda.”
Ungkapan legendaris ini bukan sekadar seruan seremonial, melainkan panggilan nurani bagi generasi hari ini: sebuah refleksi historis sekaligus tantangan moral. Thomas Matulessy dengan gelarnya Kapitan Pattimurabukan hanya pahlawan Maluku. Ia adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, ikon perjuangan atas kedaulatan tanah, dan martir bagi kemerdekaan sejati. Pada peringatan Hari Pattimura ke-208 ini, kita tidak hanya dituntut mengenang perjuangannya, tetapi juga mempertanyakan: apakah semangatnya benar-benar masih hidup di tengah kita?
15 Mei 1817 adalah titik awal Perang Pattimura. Kembalinya kekuasaan Belanda ke Maluku pasca-penjajahan Inggris menimbulkan ketakutan akan kembali diterapkannya monopoli rempah-rempah dan pelayaran hongi yang menindas. Dalam situasi genting itulah, Kapitan Pattimura memimpin perlawanan rakyat Saparua. Benteng Duurstede berhasil direbut, dan Residen Belanda Van den Berg tewas.
Namun perjuangan itu dibayar mahal. Setelah serangkaian perlawanan, pada Desember 1817, Pattimura bersama para sahabat seperjuangannya seperti Anthoni Rhebok dan Philips Latumahina, dijatuhi hukuman mati. Ia digantung di depan Benteng Victoria. Tubuhnya dipajang sebagai teror terhadap rakyat Maluku. Namun justru dari tubuh tak bernyawa itu, lahirlah semangat abadi.

Pattimura dan Pertarungan Hari Ini
Pertanyaannya kini: apa arti “Pattimura-Pattimura Muda” di era modern? Apakah ia hidup dalam aksi nyata, atau hanya menjadi jargon yang menghiasi baliho-baliho dan status media sosial?
Bila benar kita mengklaim sebagai penerus Pattimura, maka sudah seharusnya kita menolak segala bentuk penjajahan gaya baru—ekspansi perusahaan tambang, kriminalisasi masyarakat adat, pengabaian hak-hak ulayat, hingga perampasan ruang hidup.
Penjajahan Gaya Baru di Tanah Maluku
Dua abad telah berlalu, namun semangat perjuangan Pattimura masih relevan. Kini, penjajahan hadir dalam wujud yang berbeda: perampasan tanah adat, eksploitasi sumber daya alam, dan marginalisasi masyarakat adat oleh korporasi besar yang didukung oleh negara.
Di Pulau Romang, misalnya, PT Gemala Borneo Utama (GBU) melakukan eksploitasi tambang emas yang merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat adat. Penolakan warga terhadap operasi tambang ini berujung pada kriminalisasi dan intimidasi. Pada 2012, 27 warga ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan perusakan fasilitas perusahaan, dan seorang warga mengalami penganiayaan oleh orang tak dikenal .
Di Pulau Obi, Harita Nickel, anak perusahaan Harita Group, mengoperasikan smelter nikel dengan investasi lebih dari Rp15 triliun. Meskipun perusahaan ini mengklaim berkomitmen pada keberlanjutan, laporanmenunjukkan bahwa limbah tambang telah mencemari sumber air dan merusak ekosistem laut, mengancam mata pencaharian nelayan setempat.

Di Halmahera Selatan, Korindo Group melalui anak perusahaannya, PT GMM, telah mengkonversi lebih dari 11.000 hektar hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Konversi ini tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga mengusir masyarakat adat dari tanah leluhur mereka .
Lihatlah apa yang terjadi di Maluku dan sekitarnya:
- Di Sabuai, Seram Timur, masyarakat adat dikriminalisasi karena mempertahankan hutan adat mereka dari eksploitasi perusahaan kayu.

- Di Kasie, Taniwel Seram Bagian Barat, rakyat berhadapan dengan kekuasaan negara dan korporasi yang menyerobot tanah adat.

- Suku Bati di Seram Timur, penjaga hutan sakral, kini melawan rencana perusahaan yang akan menggusur mereka.

- Di Halmahera Timur, masyarakat adat di Buli, Maba, Wayjoy, dan Lelilef Sawai berjuang mempertahankan tanah dari tambang nikel yang mencemari laut dan merusak mata pencaharian. Begitu juga dengan Orang Tobelo Dalam atau O Hongana Manyawa terpaksa terusir dari rumah mereka di hutan. Mereka kerap kali menjadi korban kriminalisas

- Di Tehoru, Seram Selatan, Saat seorang pemuda dipenjara bertahun-tahun hanya karena hanya untuk mempertahankan tanah dan hutan adatnya karena diklaim oleh secara sepihak oleh Negara menjadi hutan Produksi Konversi.

- Di Pulau Obi dan Gane Dalam, industri nikel dan sawit merampas tanah dan mencemari lingkungan.

- Di Aru, masyarakat Ursia Urlima terusik oleh rencana pangkalan militer dan investasi skala besar seperti tebu oleh PT Menara Grup dan Peternakan Sapi skala besar.

- Di Pulau Romang dan Wetar, tambang emas merusak laut dan menggusur masyarakat dari tanah leluhur mereka.


Semua ini mencerminkan bentuk penjajahan baru—oleh negara, korporasi, dan elite yang berkolaborasi menggusur rakyat dari sumber penghidupan mereka. Seperti dicatat dalam laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengutip data Catatan Akhir Tahun KPA tahun 2023 yang menilik konflik agraria di era Jokowi lebih tinggi (2939 kasus) dibanding era SBY (1354 kasus). Selain itu Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat lebih dari 60% konflik agraria di Indonesia berkaitan dengan ekspansi industri ekstraktif yang difasilitasi oleh negara.
Keadilan Yang Dirampas: Krisis Perikanan dan Kerugian Triliunan Rupiah
Kita sering mendengar keluhan soal ketimpangan bagi hasil perikanan di wilayah Maluku. Provinsi hanya punya wewenang hingga 12 mil laut, sementara hasil laut diambil oleh kapal-kapal besar dari luar. Menurut data Pusat Kajian Perikanan dan Kelautan (2022), potensi kerugian Maluku akibat pencurian dan eksploitasi perikanan mencapai lebih dari Rp 3 triliun per tahun. Belum lagi ekspor emas dari Wetar, minyak dari Bula Seram Timur , dan nikel dari Halmahera yang nyaris tak berdampak pada kesejahteraan lokal.

Sektor perikanan, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi Maluku, juga mengalami krisis. Pemerintah pusat menerapkan kebijakan penangkapan terukur yang memberikan hak eksklusif kepada perusahaan besar untuk menguasai wilayah penangkapan ikan, seperti di Laut Arafura. Akibatnya, nelayan lokal tersingkir, dan Maluku mengalami kerugian hingga Rp522 triliun dari total potensi sumber daya ikan sebesar Rp954 triliun .

Apakah ini bukan bentuk baru kolonialisme? Apakah kita akan terus membiarkan hasil alam kita dirampas, sementara rakyat tetap miskin dan terpinggirkan?
Siapakah Pattimura Masa Kini?
Ironisnya, di tengah perlawanan masyarakat akar rumput, sering kali saudara-saudara dari negeri-negeri tetangga diam, bahkan ikut menindas. Mereka lebih memilih bersekutu dengan kekuasaan daripada membela sesama. Di media sosial, kita berlomba-lomba menyebut diri “Pattimura Muda”, tapi ketika masyarakat adat dipukul, tanah dirampas, dan laut dicemari, kita memilih diam.
Ingatlah, Pattimura bukan sekadar simbol. Ia adalah keberanian untuk melawan ketidakadilan. Ia adalah tekad untuk membela tanah air, sekalipun berisiko mati di tiang gantungan. Maka tidak layak kita menyebut diri “Pattimura Muda” jika kita tidak bersedia berdiri bersama rakyat dari Halmahera hingga Aru, dari Seram hingga Wetar.
Apakah Obor Perjuangan Itu Masih Menyala?
Kapitan Pattimura berjuang bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk rakyatnya. Ia rela mengorbankan nyawanya demi membebaskan Maluku dari penjajahan. Kini, tugas kita adalah menghidupkan kembali obor perjuangan itu dengan melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan yang masih berlangsung.
Mari kita jadikan Hari Pattimura bukan sekadar peringatan, tetapi momentum untuk merefleksikan dan mengaktualisasikan semangat perjuangan dalam kehidupan sehari-hari. Jadilah Pattimura-Pattimura Muda yang berani, yang peduli, dan yang siap berjuang demi keadilan dan kesejahteraan rakyat Maluku.
Peringatan Hari Pattimura harus menjadi momen refleksi, bukan rutinitas seremonial. Kalimat “Pattimura Tua Boleh Mati, Tapi Akan Bangkit Pattimura-Pattimura Muda” harus hidup dalam tindakan, bukan hanya pidato. Mari kita jaga obor perjuangan itu agar tetap menyala, bukan hanya dengan mengenang, tapi dengan ikut berjuang.
Pattimura tidak mati. Ia hidup dalam diri mereka yang berani berkata tidak kepada penindasan. Ia hadir dalam warga desa yang mempertahankan hutannya, dalam nelayan yang menolak reklamasi, dalam aktivis yang menolak tunduk pada korporasi.

Selamat Hari Pattimura. Jangan sekadar mengenangnya, hiduplah dalam semangatnya.
Kamis, 15 Mei 2025 – Tanah Air Maluku
Penulis adalah Jurnalis Lingkungan, Peneliti, dan Pegiat HAM