Oleh: Johan Djamanmona
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”
Ungkapan klasik dari Lord Acton, sejarawan Inggris abad ke-19, masih relevan hingga kini. Kekuasaan yang tak diawasi kerap membuka celah pada kejahatan paling korosif dalam demokrasi: korupsi.
Itulah yang kini mengancam Raja Ampat, permata dunia yang seharusnya dijaga, bukan dijual. Gugusan pulau-pulau indah yang terkenal sebagai segitiga karang dunia ini terancam rusak hanya karena selembar kertas izin pertambangan nikel. Alih-alih dijaga sebagai kawasan konservasi, pemerintah justru membuka jalan bagi masuknya investasi tambang yang merusak.
Karpet Merah Tambang, Warisan Kekuasaan
Kritik publik terhadap maraknya korupsi sumber daya alam sebenarnya sudah lama terdengar. Salah satunya dilontarkan oleh Zainal Arifin Mochtar dan Ferry Amsari dalam film dokumenter Dirty Vote, yang menyinggung bagaimana pemerintahan Presiden ke-7 Republik Indonesia membuka jalan bagi UU kontroversial seperti Cipta Kerja (atau CILAKA)—yang disebut sebagai “karpet merah” untuk kepentingan korporasi.
Hasilnya terlihat hari ini. Dua perusahaan tambang, PT Gag Nikel dan PT Kawei Mining, telah lama bercokol di Raja Ampat. Kini, dua perusahaan lain—PT Mulia Raymond dan PT Anugerah Surya Pratama—mengantongi izin prinsip untuk menambang di kawasan hutan lindung dan zona wisata seperti Batang Pelle dan Manyaifun, Kecamatan Waigeo Barat.

Alam dan Rakyat Dipertaruhkan
“Tambang itu berada di hutan lindung, areal konservasi, dan lokasi wisata. Ketika aktivitas dimulai, semua akan terdampak,” tegas Paulus Fakdawer, aktivis lingkungan dalam aksi damai Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA), 26 Mei 2025, di kantor DPRK dan Bupati Raja Ampat.
Masyarakat adat, pemuda, wisatawan mancanegara, hingga pelaku usaha pariwisata bersatu menyuarakan penolakan. Mereka khawatir tambang akan menghancurkan ekosistem yang selama ini menopang hidup masyarakat.
Gugusan pulau-pulau kecil dengan kontur wilayah bebatuan gamping menjulang lurus menunjuk langit yang tertata dengan eksotisnya hingga memanjakan mata Jokowi ketika menatap dari puncak Pyanemo pada penghujung tahun 2015. Ternyata sudah dikelola oleh dua perusahaan tambang, yakni PT. Gag Nikel dan PT. Kawei Mining.
Padahal “Masyarakat Raja Ampat sangat bergantung hidup pada alam yang dikelola sebagai sektor pariwisata,” kata Angki Dimara, seorang pemuda Raja Ampat yang kini menjabat sebagai ketua GMNI Sorong, Papua Barat Daya. Baginya, tidak dapat dipungkiri bahwa Raja Ampat menyimpan potensi yang membuatnya menjadi target yang menggiurkan pengusaha tambang.
“Kami hidup dari laut dan alam. Jika alam rusak, kami pun akan hilang,”

Keberlanjutan atau Keserakahan?
Berdasarkan data BPS 2024, tingkat kemiskinan di Raja Ampat terus menurun, dari 16,76% menjadi 15,83% hanya dalam satu tahun—penurunan yang ditopang sektor pariwisata, bukan tambang. Data Dinas Pariwisata bahkan mencatat lonjakan kunjungan wisatawan hingga 12.048 orang pada Juli 2023, pasca pencabutan status pandemi.
Artinya, masyarakat tidak membutuhkan tambang untuk bertahan hidup. Mereka sudah berdaulat melalui kekayaan laut dan konservasi alam yang berkelanjutan. Seperti di Desa Arborek, di mana ekowisata berkembang pesat, dan anak-anak bisa memberi makan ikan langsung dari telapak tangan.
Namun, potensi pariwisata ini tampaknya bukan prioritas pemerintah. Karena, meski Unesco telah menetapkan Raja Ampat sebagai pusat keanekaragaman hayati global, izin tambang tetap dikeluarkan.
Dampak Sosial-Ekologis Nyata
Guru Besar Kehutanan Universitas Pattimura, Agus Kastanya, menyebut aktivitas tambang di Manyaifun dan Batang Pelle berisiko besar merusak ekosistem pesisir dan bawah laut. Penebangan hutan juga akan memicu degradasi lingkungan secara luas.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat banyak kasus kerusakan lingkungan dan konflik sosial di daerah tambang, termasuk yang melibatkan Harita Group, salah satu pemain besar industri nikel di Indonesia.
Bupati Raja Ampat, Orideko I. Burdam, dalam pernyataannya mengaku sepakat dengan DPRK untuk menjaga alam. Namun, ia juga menyatakan bahwa tambang tidak boleh merusak, “dengan pengawasan yang ketat”.
Pernyataan yang kontradiktif. Dalam praktiknya, pengawasan terhadap industri ekstraktif di Indonesia kerap lemah, dan regulasi yang ada lebih menguntungkan korporasi daripada masyarakat.

Siapa yang Diuntungkan?
Pertanyaannya sederhana: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari pertambangan ini? Jika tujuannya adalah kepentingan nasional, mengapa rakyat Raja Ampat yang selama ini menjaga alam harus dikorbankan?
Konstitusi jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat (Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945). Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Rakyat dijadikan objek, bukan subjek. Politik gentong babi (pork barrel politics) yang dipraktikkan para elit telah menyulap kebijakan publik menjadi alat untuk menjual kekayaan alam kepada investor.

Raja Ampat Milik Generasi Mendatang
Raja Ampat adalah lukisan hidup yang diwariskan oleh alam untuk dinikmati generasi hari ini dan masa depan. Menyulapnya menjadi kawasan industri tambang adalah bentuk pengkhianatan terhadap visi pembangunan berkelanjutan.
Indonesia tak kekurangan sumber daya, tetapi kerap kekurangan nurani dan keberanian untuk berkata “tidak” pada korupsi dan kerakusan.
Saatnya kita memilih: melayani kepentingan rakyat atau terus menjadi negara yang ditulis sejarahnya sebagai penggadai tanah air sendiri.
Penulis adalah Pegiat Lingkungan dan Jurnalis titastory.id