titastory.id, ambon — Langit biru membentang saat lautan Maluku mengiringi langkah Judson F Waprak, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Barat, dalam kunjungan bersejarahnya ke Pulau Rempah-rempah.
“Tak pernah bermimpi untuk datang ke Maluku,” katanya dengan nada haru. Namun, rasa persaudaraan se-Ras Melanesia telah membawanya menjejakkan kaki di tanah yang erat kaitannya dengan Papua sejak ratusan tahun lalu.
Dalam suasana hangat di ruang Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Maluku, Waprak yang didampingi Wakil Ketua I, Raimon Mandacan dan Majelis Rakyat Papua bertemu Penjabat Gubernur Maluku, Sadli Le. Hubungan antara Papua dan Maluku, yang telah terjalin sejak sebelum negara ini ada, menjadi pokok pembahasan.
“Anak-anak Papua di Maluku harus diperlakukan seperti anak-anak Maluku, karena di Papua, anak-anak Maluku juga diperlakukan seperti saudara,” tegas Waprak, menekankan pentingnya kesetaraan dalam persaudaraan ini.
Mengenang Jejak Sejarah di Negeri Oma
Kunjungan berlanjut ke Negeri Oma, Pulau Haruku, dimotori sejumlah pemuda asal Negeri Oma yang dikordinir oleh Maxi Brian Hetharia di mana warga menyambut rombongan dengan musik jukulele yang mengalun lembut, dimainkan oleh anak-anak dan remaja. Di tengah kehangatan itu, Waprak memulai sambutannya dengan puisi yang menyalakan semangat persaudaraan Melanesia, mengingatkan betapa eratnya hubungan budaya Maluku dan Papua.
“Kalo Orang Ambon Lease, Seram Selatan bilang Tabea, Kalo Orang Maluku Maluku Barat Daya bilang Kalwedo, Kalo Orang Seram bilag Mese, Sou Salamate, Kalo Orang Halmahera Selatan Bilang Hotu, Kalo Orang Ternate bilang Suba Jou, Kalo Orang Buru bilang Muan Modan”
Penggalan sanjak saat Yang Mulia Judson F Waprak mengawali sambutannya di hadapan masyarakat Negeri Oma dan sejumlah raja-raja se Kecamatan Pulau Haruku dan unsur pemerintah daerah Kabupaten Maluku Tengah.
“Kami datang untuk bersilaturahmi dengan saudara sebangsa, satu Ras, Ras Melanesia,” ujar Waprak.
Dia menekankan bahwa hubungan ini bukan sekadar sejarah, tetapi bagian penting dari identitas bersama yang diwariskan turun-temurun.
Waprak mengingatkan bahwa Maluku dan Papua memiliki banyak kesamaan: sebagai penghasil rempah-rempah, berbagi keyakinan Islam dan Kristen, serta berbagi sejarah perlawanan terhadap kolonial.
“Raja-raja Papua tunduk pada Tidore tanpa paksaan, dan sejak itu pengaruh budaya Maluku mengakar di Papua,” tuturnya.
Penyebaran pendidikan dan agama juga menjadi bukti nyata kolaborasi ini. Sejarah mencatat, orang Maluku seperti Yohanes Patiruhu dan Albertina Latuheru telah mengabdi sebagai penginjil dan guru di Papua selama lebih dari seabad, membawa misi pendidikan dan agama yang membentuk peradaban modern di Wondama.
Dalam pertemuan itu, Waprak menggarisbawahi filosofi Pela Gandong—persaudaraan sejati yang harus terus dijaga.
“Kini, giliran anak-anak Papua yang tumbuh dan mengemban tugas ini,” katanya.
Ia menegaskan pentingnya hak politik Papua dihormati, seraya tetap menjaga harmoni dengan Maluku.
Kunjungan ini ditutup dengan penandatanganan prasasti oleh Waprak, Gubernur Sadli Le, dan para raja di Pulau Haruku. Prasasti itu akan menjadi saksi sejarah baru tentang persaudaraan abadi antara Maluku dan Papua, memperkuat ikatan Melanesia yang tak lekang oleh waktu. “Sejarah ini adalah kekuatan,” pungkas Waprak. “Kami menghormati orang Maluku, karena kami satu Ras, Ras Melanesia.” (TS-03)
Discussion about this post