TITASTORY.ID – Memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional pada 10 Desember 2021, Amnesty Movement Of Ambon menggelar Diskusi Online bertajuk Bacarita HAM dengan tema “Perampasan Ruang Hidup Masyarakat Adat”.
Diskusi ini bertujuan untuk memastikan kepada pemerintah bahwa sangat penting untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat guna memperkuat penegakan HAM di Indonesia.
Diskusi yang digelar dalam virtual ini mengupas perampasan ruang hidup masyarakat adat Maluku lebih khususnya tentang perjuangan perampasan tanah masyarakat adat Marafefen, Aru, Maluku melawan alat Negara TNI AL.
Hadir dalam diskusi ini sejumlah Narasumber Saksia yang berasal dari Aktivis Amnesty International Indonesia, Monika Kailey Perempuan Aru yang saat ini berjuang dalam gerakan Save Marafenfen, Lenny Patty, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku, dan Samuel Wailerunny, Penasehat Hukum Masyarakat Adat Marafenfen.
Saskia yang adalah aktivis Amnesty Internasional Indonesia menjadi pemantik diskusi virtual ini. Ia dalam pernyataannya membangun opini kritik terhadap ketimpangan infrastruktur regulasi hukum Indonesia yang belum mampu mengakomodir hak-hak masyarakat adat.
Dalam pemaparannya, beliau melampirkan contoh perjuangan masyarakat adat Kinipan. Ia berharap, kondisi kondisi yang sama tidak dirasakan oleh masyarakat adat lainnya di Indonesia.
“Apa yang terjadi di Marafenfen? Apa yang bisa kita dilakukan?” tanya Saskia dalam forum diskusi virtual itu.
Terhadap kondisi Kinipan, ia berharap Masyarakat Marafenfen tidak harus sendiri. Namun seluruh masyarakat adat termasuk Amnesty Internasional dan NGO lainnya akan bersama-sama mengawal kasus yang terjadi pada masyarakat Marafenfen.
Monica Kailey yang aktivis perempuan Aru menekankan peran perempuan Aru di garis depan untuk perjuangan mempertahankan hak sebagai masyarakat adat. Monika mengatakan perempuan harus lantang bersuara dan tidak boleh takut menyatakan kebenaran.
Ia banyak bercerita tentang perjuangan Marafefen yang bahkan lebih lama dari usianya.
“Sudah 30 tahun lamanya perjuangan Masyarakat Adat Marafenfen untuk mengupayakan pengembalian tanah adat mereka. Perjuangan ini tidak terlepas dari peran dua aktivis perempuan Aru yakni Mama Do dan Mama Anaci, yang selalu berapi-api mempertahankan tanah Aru hingga tutup usia,”ungkapnya.
Bagi-Nya, Perjuangan kedua sosok almarhuma ini tidak terlepas dari intimidasi-intimidasi yang berujung pelanggaran HAM, namun mereka tidak gentar. Sebab bagi perempuan Aru, tanah adat adalah jati diri dan memperjuangkan tanah adat adalah memperjuangkan harga diri.
Hal senada juga ditambahkan, Johan Djamanmona seorang pemuda Aru yang tergabung dalam gerakan save Marafenfen menjelaslan kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh solidaritas Jar-juir (komunitas masyarakat adat-red) berupa tindakan represif kepolisian.
“Katong aktivis #SaveMarafenfen selalu dihadang saat memalang jalan untuk aksi solidaritas itu,”katanya. Harapannya Amnesty Internasional Indonesia dapat bersolidaritas dalam mengawal sidang banding kasus Marafenfen nantinya”
Lenny Patty, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku, berpikir sama dengan Saskia Aktivis Amnesty Internasional soal ketimpangan infrastruktur regulasi hukum Indonesia yang belum mampu mengakomodir hak-hak masyarakat adat.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Maluku ini mengkhawatirkan posisi masyarakat adat yang masih dinomor-duakan oleh Negara dengan hadirnya Undang-undang Cipta kerja.
Ia berharap para pemuda harus kembali ke kampung untuk memetakan wilayah adatnya sebelum dipetakan oleh pihak lain. Selain itu mengabadikan sejarah dalam bentuk tertulis.
Lenny pun mengingatkan, masyarakat Aru untuk menyiapkan segala sesuatu yang menjadi kriteria pemenuhan pengakuan perlindungan masyarakat hukum adat.
Sementara narasumber lainnya, Samuel Waileruny, kuasa hukum Masyarakat Adat Marafenfen menyatakan bahwa penguasaan wilayah adat Marafenfen adalah bentuk pelanggaran HAM karena tidak melibatkan masyarakat pemilik tanah.
“mereka masuk tanpa permisi,Marafenfen adalah wilayah adat yang didalamnya terdapat marga-marga antaralain marga Bothmir, Tiljuir, Batmon-mona, dan Gelagoy,”paparnya.
Penulis buku Konspirasi Dibalik Konflik Maluku ini berpendapat, perampasan terhadap ruang hidup masyarakat adat Marafenfen mencakup banyak hal seperti aspek sosial, ekonomi, dan budaya.
Dijelaskan, Ada upaya melawan hukum dan pelanggaran HAM yang dilakukan pihak alat Negara TNI-AL selama 30 Tahun ini, seperti penyiksaan terhadap masyarakat dan intimidasi.
Disesalkan Wailerunny, Upaya mengembalikan tanah adat Marafenfen tidak mendapat keberpihakan dari Negara, terbukti pada waktu persidangan putusan pengadilan yang mengesampingkan hak-hak masyarakat adat sehingga gugatan masyarakat adat ditolak.
“Padahal ada hukum nasional yang melindungi serta ada hukum internasional seperti Deklarasi PBB dan Konvenan Ekosop. Kemudian kekuatan hukum nasional dan internasional ini tentu sudah sangat mengikat. Sehingga perlu ada pengawalan terkait hal ini,”bebernya.
Soal Hari HAM dalam diskusi ini, Waileruny juga sempat menyinggung para pejuang HAM di Maluku seperti Yanes Balubun yang menjadi role model pejuang HAM bagi anak-anak muda Maluku yang kasusnya hingga kini belum mendapat titik terang.
“Pelanggaran HAM harus diusut tuntas dan menjadi tanggung jawab bersama baik kaum muda dan kaum tua, laki-laki maupun perempuan,”harapnya.
Selain itu, kasus pelanggaran HAM lainnya yang masih menjadi sejarah kelam kata advokat asal Maluku ini adalah pembantaian secara massal oleh masa presiden Soekarno waktu itu.
“Dalam buku de Fretes, Johannes Dirk (2007) yang berjudul Kebenaran Melebihi Persahabatan. Jakarta: Harman Pitalex, dan Kubuku, halaman. 58-68 menyebutkan saat itu, 74 tahun lalu, 17 agustus 1945 di Jakarta, Pembunuhan yang mengagetkan dimulai dengan Boma Latupeirissa di Jatinegara, Keluarga Lopies di Pasar Minggu, termasuk anak-anak dan seorang pemuda yang pada siang hari ketika sedang mengendarai mobil, juga dianiaya …Keluarga Agus Souisa, isterinya, kedua saudara perempuan, serta kedua anaknya, satu demi satu ditikam dengan senjata tajam Keluarga Lukas Polhaupessy mengalami situasi yang sama,”beber penulis buku “Konspirasi Dibalik Konflik Maluku”.
Mengutip buku de Fretes, dan Johannes Dirk, Waileruny menjelaskan sejumlah nama seperti Boetje Tahalele bekerja sebagai dokter di Jerman yang melakukan tugas itu di Jatinegara, pun dibacok. Henk Wattimena dan keluarganya berhasil lolos dari pembunuhan yang kejam. Ibu-ibu yang berbelanja mulai diancam. Pemuda-pemuda Tanjung Priuk sudah harus mengamankan beberapa pria Ambon dari penganiayaan di pelabuhan. di belakang stasiun Jatinegara orang-orang Ambon tidak berani lagi keluar-masuk gang tempat tinggal merek.
Sementara itu, Waileruny dalam diskusi itu juga menyinggung penulis buku Luhulima sebagaimana dikutip oleh Butje Hahury dalam tulisan berjudul ‘Soekarno Perintah Bunuh Bangsa Maluku di Jawa, “Soekarno Verklaart Oorlog Aan Indo’s, Menadonezen, En Ambonezen”) mengatakan keadaan masyarakat Maluku di Jawa Barat sangat memerlukan perhatian. Keluarga-keluarga yang terancam tidak tahu mau cari perlindungan ke mana, sementara di Surabaya-Jawa Timur, perempuan dan anak-anak orang Maluku serta warga sipil orang Belanda dibunuh di Gedung Balai Pemuda-Simpangsoos. Banjir darah di Surabaya. Seluruh lantai marmer di gedung tersebut terlapisi darah setinggi mata kaki orang dewasa.
“Seorang ibu Ambon yang berambut panjang ditarik rambutnya dan diseret di jalanan, sementara dua orang anak lelakinya yang baru berusia 7 dan 10 tahun menangis dan menjerit sambil memegang kuat sarung sang ibu, sambil kedua anak itu menyaksikan ibunya ditikam dengan bambu runcing dan dicincang bersama dengan korban lain yang dibunuh secara masal di tengah alun-alun Sidoardjo,”urai Waileruny dalam kutipan Luhulima dalam tulisan berjudul ‘Soekarno Perintah Bunuh Bangsa Maluku di Jawa, “Soekarno Verklaart Oorlog Aan Indo’s, Menadonezen, En Ambonezen”).
Dari buku yang ditulis oleh Luhulima tersebut kata Waileruny juga menyinggung tindakan penyelamatan terhadap kurang lebih 30.000 nyawa orang Maluku yang sedang terancam di pulau Jawa dan Madura, dilakukan sendiri oleh sesama orang Maluku yang tinggal di pulau Jawa. Beberapa di antara mereka itu adalah, Abdul Mutalib Sangadji, Muhammad Padang, Alberth Latuasan dan Nono Tanasale sebagai pemimpin
“Para pemimpin itu karena sangat marahnya sampai menyebut REPUBLIK INDONESIA sebagai REPUBLIK TAI,” Ungkap Wailerunny sambil menyebut tulisan dari J.D. de Fretes yang memberikan kesaksian dalam bukunya tersebut di atas pada halaman 78 &104.
Terhadap pelanggaran HAM berat di massa lalu, Waileruny berharap pemuda tidak serta merta melupakan dan belajar menggali sejarah yang sengaja dipendam maupun direkayasa para penguasa.
Diskusi dalam bentuk bacarita tentang HAM ini mendapat respons para peserta untuk lebih menggali lebih banyak tentang kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masyarakat adat di Indonesia khususnya di Maluku.
Diskusi tentang Bacarita HAM dengan tema “Perampasan Ruang Hidup Masyarakat Adat” ini berlangsung kurang lebih 3 jam secara daring dan ditutup oleh Panitia Penyelenggara yang berasal dari Amnesty Movement Of Ambon. (TS-01)
Discussion about this post