TITASTORY.ID,- Dengan meneriakj salam perjuangan, seperti Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak serta Waa..Waa.. Waa..Waaa, belasan mahasiswa asal Papua di Ambon menggelar aksi damai di seputaran monumen dokter Yohanes Leimena, Poka, Ambon.
Aksi damai yang digelar oleh belasan mahasiswa papua ini sebagai bentuk protes kepada Pemerintah Indonesia atas anekasasi Papua Barat.
Aksi gabungan ini dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) KK Ambon dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRI-WP).
Dalam orasinya, mahasiswa papua menjelaskan sejak, tanggal 1 Mei 1963-2021 merupakan hari Aneksasi bagi bangsa Papua Barat yang ke-58 Tahun, hal ini karena secara konstitusional keberadaan Indonesia di tanah Papua Barat adalah Negara Ilegal yang masih sedang memainkan praktek-praktek kolonial-Nya.
Menurut mereka, berbagai peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan terus terjadi di Papua Barat, hutan dan tanah-tanah adat dijadikan lahan jarahan bagi investasi perusahaan-perusahaan Multi National Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis.
Selain itu, menurut mahasiswa Papua ini, Pembungkaman terhadap ruang demokrasi semakin nyata dilakukan oleh aparat negara (TNI-Polri) dengan melarang adanya kebebasan berekspresi bagi Rakyat Papua Barat didepan umum serta penangkapan disertai penganiayaan terhadap aktivis-aktivis perjuangan Pembebasan Papua Barat.
“Hari ini pun Rasisme di Surabaya belum terselesaikan bahkan aksi meyikapi rasisme Indonesia di Papua Barat maupun luar Papua Barat, rakyat dan mahasiwa dapat di tahan dengan sewenang-wenangnya Negara dan di tetapkan sebagai kasus makar tanpa hukum yang jelas,”teriak para pendemo.
Selama pandemic covid-19, menurut mahasiswa papua ini, rakyat Papua Barat yang menjadi TAPOL (Tahanan Politik) belum dibebaskan. Kondisi ini kata mereka, adanya pembiaran sehingga wabah ini terus menyebar ke seluruh pelosok tanah Papua Barat .
Meski sementara lockdown, namun kata pendemo tetapi Bisnis eksploitasi terus berjalan dan pengiriman militer terus terjadi kemudian melakukan operasi militer di Tembagapura,Timika dan Kaimana serta pelosok lainnya di Papua Barat.
Yang kemudian sesal mereka, masih ada operasi-operasi militer di daerah Nduga sejak tahun 2018 sampai saat ini, Intan Jaya, Puncak Papua serta daerah lainnya.
“Dan lagi-lagi Pemerintah Kolonial Indonesia juga mengistigmakan Perjuangan rakyat Papua dengan label sebagai kelompok KKB, Separatis, dan Teroris,” sesal para mahasiswa papua ini.
Kordinator Lapangan, Herman Giban dalam orasinya menuturkan sejarah perjuangan Papua Barat dari penjajahan belanda hingga dianekasasi oleh Indonesia.
Menurutnya, kondisi ini tidak terlepas dengan sejarah Papua Barat bahwa sejak, 1 Desember 1961 di Holandia (red-Jayapura) Negara Papua Barat telah di akui sebagai bangsa yang merdeka dan mendeklarasikan di bawah Pemerintahan Belanda serta telah disiarkan melalui radio Australia dan Belanda.
Dijelaskan, selama kemerdekaan Bangsa Papua Barat ketentuan kebangsaan telah di sahkan secara de Facto dan de Jure. Sementara itu, gejolak penolakan terhadap kemerdekaan Bangsa Papua Barat Indonesia menentang atas kemerdekaan itu sehingga tepat pada 19 Desember 1961 melalui Ir. Soekarno mengumandangkan TRIKORA (Tri Komando Rakyat) di Alun-Alun Utara Kota Yogyakarta dengan tiga tuntutan pertama, Bubarkan Negara Boneka Papua Barat Buatan Belanda, Kibarkan Bendera Merah Putih di seluruh Irian Barat/Papua Barat, dan Bersiaplah untuk Mobilisai Umum.
Sehingga Indonesia,bagi Papua Barat menghadirkan intervensi Internasional dan Militer untuk menganeksasi secara persenjataan serta memanipulasi sejarah Rakyat bangsa Papua Barat.
“Pada Tahun 1962 Soekarno Melakukan Serangan dengan Operasi Sandi: Jayawijaya yang di pimpin oleh Jendral Soeharto dalam menganeksasi bangsa Papua Barat dengan kekuatan militer. Akibat dari itu, Manifesto Politik antara Indonesia dan Belanda membuat Agenda mengenai perjanjian-perjanjian atas Papua Barat; Sementara Amerika Serikat sebagai penengah. Setidaknya, dua perjanjian yang di lakukan The New York Agreement [15 Agustus 1962] dan Roma Agreement [30 September 1962]. Dari kedua, perjanjian dilakukan tanpa wakil rakyat Papua Barat satu pun tidak dihadirkan dan hanya sepihak dilakukan antara Belanda, Indonesia dan Amerika Serikat,”tuturnya.
Dari Perjanjian yang dilakukan menurut Herman, point utama adalah menganeksasi Rakyat bangsa Papua Barat tepat pada 01 Mei 1963 melalui UNTEA [United Nation Temporary Executivee Authority].
Pemerintah Belanda sendiri dari berbagai data sejarah telah menyerahkan Papua Barat ke UNTEA dan UNTEA Menyerahkan Papua Barat ke Indonesia.
“Setelah menganeksasi Papua Barat bahwa UNTEA dan Indonesia telah melanggar Hukum Internasional, melanggar prinsip-prinsip demokrasi, dan melanggar hak-hak dasar masyarakat Papua Barat sesuai perjanjian yang di tetapkan tanpa melihat hak kemerdekaan bangsa Papua Barat yang telah dicapai sejak itu,”tandasnya.
Setelah merebut wilayah Papua Barat dimasukan secara paksa atau aneksasi, menurutnya dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) oleh Indonesia pada tahun 1969 dengan cara Indonesia yaitu “MUSYAWARAH” dan melanggar dari ketentuan perjanjian yang di atur.
Dalam Keadaan itu lanjut Koordinator Aksi ini, Amerika Serikat telah melakukan kontrak karya pertama PT.Freeport pada tahun 1967 sebelum dua tahun PEPERA 1969 dilakukan. Wilayah Papua Barat sendiri bagi mereka dijadikan wilayah jajahan sampai saat ini.
“Indonesia mulai memperketat wilayah Papua Barat dengan berbagai operasi sapu bersih terhadap gerakan perlawanan Rakyat Papua Barat yang tidak menghendaki kehadiran kolonial Indonesia di Papua Barat. Berbagai cara telah Indonesia lakukan terhadap Rakyat Papua Barat ketika wilayah Papua Barat di rebut secara paksa; bahkan kehadiran sistem pemerintah dan Militer (TNI-PORLI) Indonesia di Tanah Papua Barat melalukkan beragam kekerasaan seperti Pembunuhan, Pemerkosaan, Perampasan, Penistaan, Rasisme, penembakan; Sertakan dengan pengurasan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) tanpa ketentuan hukum yang jelas dan rasisme yang tidak berakhir sampai hari ini,”bebernya.
Dengan momentum 58 Tahun yang menjadi hari Aneksasi Rakyat Bangsa Papua Barat oleh kolonial Indonesia, Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Komite Kota Ambon dan Front Rakyat West Papua (FRI-WP), menuntut dan mendesak Negara Republik Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk segera memberikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua Barat, serta menarik militer Indonesia (TNI-Polri) organik dan non organik dari seluruh tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap Rakyat Papua Barat.
Selain aksi damai protes terhadap pemerintah Indonesia, dalam aksi damai ini juga memperingati hari buruh internasional yang jatuh pada hari yang sama 1 mei 2021 serta protes terhadap berbagai ketidakadilan di bagi masyarakat Maluku.
“Hentikan Kriminalisasi Terhadap Warga Wadas, tolak Lumbung Ikan Nasional (LIN) di Maluku dan Maluku Utara, Sahkan RUU PKS, Cabut Omnibus Law, Bebaskan seluruh Tahanan Politik (Tapol) Maluku di Ambon,” teriak gabungan mahasiswa Papua ini. (TS-01)
Discussion about this post