titastory.id, jakarta – Kasus perampasan hutan adat Papua oleh korporasi dengan memanfaatkan izin negara bisa dikategorikan sebagai ‘ecocide’ atau ekosida yang merupakan tindakan pembunuhan alam dan juga kejahatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Selain itu, kasus ini merupakan contoh dari praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab dan tidak sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Wilayah hutan adat yang diperjuangkan oleh masyarakat adat suku Awyu di Boven Digul, Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya merupakan hak konstitusional warga negara dan masyarakat adat yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B Ayat 2.
Wilayah tersebut juga merupakan bagian dari ekosistem alam yang kerusakan sekecil apa pun, akan berdampak pada kelestarian lingkungan hidup di Papua, di Indonesia, dan bahkan secara global.
Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua dalam keterangan pers menyebut, hutan tersebut merupakan habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, serta penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Operasi PT IAL dan PT SAS berpotensi memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2 ke atmosfer dan memperparah dampak krisis iklim.
Mengutip dari buku Ecocide memutus Impunitas Korporasi (WALHI, 2019), istilah ekosida merupakan istilah yang tercetus sejak 1970 yang awalnya berhubungan dengan dampak peperangan terhadap kerusakan lingkungan. Istilah ini pertama kali digunakan pada era perang Vietnam, ketika pasukan AS menggunakan Agent Orange untuk meng defoliasi kawasan hutan yang luas guna membuka hutan dan menghancurkan produksi pertanian.
Dalam konteks perubahan iklim, setidaknya kegiatan yang memenuhi unsur ekosida adalah Pertama, eksploitasi lingkungan hidup yang mengarah pada tindakan pemusnahan sumber-sumber kehidupan manusia. Kedua, pemusnahan tersebut berkaitan erat dengan praktik penghilangan hak-hak hidup manusia, bahkan menyebabkan hilangnya kelayakan hak hidup ekosistem di dalamnya. Ketiga, menjadi bagian dari eksploitasi sumberdaya alam yang mengarah pada terancamnya keamanan hidup manusia saat ini dan kehidupan generasi yang akan datang.
“Ekosida haruslah dipandang sebagai bentuk serangan yang sistematis, agresif, masif, dan terencana terhadap lingkungan yang berdampak kepada rusaknya daya dukung lingkungan bagi kehidupan, juga bentuk nyata dari kegagalan sistem sosial dan ekonomi kita, terutama rezim pemerintahan yang penuh kerumitan, miskin kejujuran, hampa keberpihakan, dan sarat kepentingan, sehingga semuanya menjadi tumpang tindih, lemah, dan penuh korupsi “ , tutur Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Iwan Misthohizzaman.
Kasus perampasan hutan di Papua, ketiga unsur ecocide di atas telah terpenuhi. Pasalnya, hutan merupakan sumber penghidupan dan peradaban masyarakat adat yang tidak dapat dicabut secara paksa.
Mengutip penjelasan saat diwawancarai Tempo, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komaruddin, mengatakan bahwa akan ada beberapa kerugian yang disebabkan jika izin operasi perusahaan sawit tidak dibatalkan.
Kerugian tersebut termasuk hilangnya ruang hidup masyarakat adat di Papua yang selama ini hidup bersama alam, rusaknya habitat flora dan fauna endemik Papua, dan menambah kontribusi pelepasan emisi karbon Indonesia yang akan memperparah krisis iklim.
“Melihat dampak ini, kami mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk tidak menjadi bagian dari aktor ekosida yang melanggar HAM ini, dengan mencabut izin korporasi dan mengembalikan wilayah hutan adat ini ke masyarakat adat setempat. Secara spesifik, MA juga patut memandang ekosida ini sebagai tindakan yang bahkan bisa merampas hak perempuan dan anak setempat yang selama ini mengandalkan hutan tersebut untuk berkehidupan”, ujar AD Eridani, Program Manager bidang Penurunan Ketimpangan INFID.
INFID memandang kasus ini merupakan bagian dari masalah penegakan HAM di Indonesia yang masih bermasalah dan perlu diselesaikan sesegera mungkin. Dalam konteks bisnis dan HAM, Indonesia sudah mengadopsi United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs on BHR) yang memiliki 3 pilar utama, yaitu perlindungan HAM oleh negara, penghormatan HAM oleh perusahaan, dan pemulihan bagi korban HAM. Sebagai tindak lanjut komitmen tersebut, Indonesia juga telah mengeluarkan Perpres 60 tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
“Namun, kasus ini justru berlawanan dengan 3 pilar UNGPs dan menambah bukti bahwa korporasi dan pemerintah pusat dengan komitmennya yang lemah merupakan pelanggar HAM yang paling banyak diadukan”, lanjut Ari Wibowo, Program Officer bidang HAM dan Demokrasi INFID.
Bahwa INFID merupakan inisiator Festival HAM sejak 2014 dan akan kembali mengadakan Festival HAM 2024 di Bitung, Sulawesi Utara pada 29-31 Juli 2024. Festival HAM merupakan forum untuk menyebarkan prinsip-prinsip HAM hingga ke tingkat daerah yang selalu diawali dengan kegiatan pelatihan Kabupaten/Kota HAM bersama Komnas HAM RI dan ditutup dengan deklarasi pemenuhan HAM bersama pemerintah nasional dan daerah.
“Dalam kepanitiaan Festival HAM, INFID sebagai inisiator dan masyarakat sipil selalu mendorong dan memastikan bahwa negara harus selalu hadir dan menjadi aktor penegakan HAM di tingkat nasional hingga pelosok daerah. Melihat situasi yang berkembang, kami mendesak Presiden, Komnas HAM, KSP, dan Kementerian/Lembaga Negara untuk berkomitmen memenuhi HAM masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi yang jelas secara konstitusional wajib dilindungi oleh Negara sesuai mandat UUD 1945 Pasal 18 B Ayat 2 di mana negara harus mengakui dan menghormati Hak Masyarakat Adat,” tegas Iwan. (TS-02)
Discussion about this post