Titastory, Jakarta. Yael Sinaga dan Widiya Hastuti, dua wartawan muda dari Medan, meraih Penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau.
Sinaga dan Hastuti berani lakukan gugatan hukum terhadap rektor Universitas Sumatera Utara Runtung Sitepu, yang memberhentikan seluruh awak redaksi, praktis membredel, Suara USU pada Maret 2019. Mereka kalah di pengadilan tata usaha negara Medan. Namun upaya hukum tersebut sebuah langkah monumental buat kebebasan pers mahasiswa di Indonesia.
“Menang atau kalah hal biasa, tapi perjuangan buat menegakkan kebebasan pers, kebebasan akademik serta hak individu LGBT adalah sumbangan penting buat masyarakat Medan,” kata Andreas Harsono, ketua dewan juri penghargaan Pogau dari Yayasan Pantau.
Mulanya, Sinaga menulis sebuah cerita fiksi soal perempuan love story lesbin, “semua menolak kehadiran diriku di dekatnya” Ia diterbitkan website Suara USU pada 12 Maret 2019. Suara USU mengunggah cerita tersebut dalam instagram pada 18 Maret.
Pada 25 Maret, Rektor Sitepu memanggil awak redaksi Suara USU. Sitepu menuduh cerita tersebut mengandung “pornografi” dan “homoseksualitas.” Dua hal tersebut bertentangan dengan “nilai-nilai” kampus. Dia minta cerita dihapus dari website.
Suara USU membantah tuduhan Sitepu. Mereka menolak menghapusnya. Sinaga mengatakan pihak universitas lebih khawatir cerita itu akan memicu diskusi tentang diskriminasi dan intimidasi terhadap individu lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) di Indonesia. Dampaknya, Sitepu memecat semua prang total 18 orang awak redaksi Suara USU.
Sinaga dan Hastuti menyurati Sitepu namun tak ada jawaban. Pada 22 Juni, Rektorat Universitas Sumatera Utara membongkar sekretariat Suara USU dengan alasan renovasi. Pembongkaran dilakukan tanpa pemberitahuan. Ini membuat petugas keamanan dan pekerja membuang banyak barang milik redaksi Suara USU.
Di Indonesia, kepanikan moral terhadap LGBT muncul sejak akhir 2015 ketika provinsi Aceh mulai jalankan hukum pidana berdasarkan “syariah Islam” dimana kegiatan homoseksualitas bisa dihukum. Pada Januari 2016, berbagai pernyataan anti LGBT mulai dilontarkan pejabat di Jakarta. Ia berkembang menjadi kebencian, diskriminasi dan ancaman terhadap individu LGBT. Ratusan razia terjadi. Puluhan individu dihukum.
Sinaga dan Hastuti melayangkan gugatan pada 14 Agustus 2019 dengan bantuan Perhimpunan Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara di PTUN Medan. Selama sidang berlangsung, berbagai aksi protes mewarnai gugatan tersebut. Bukan saja di Medan namun juga di berbagai kota di Pulau Jawa dan Sumatera.
Pada 14 November 2019, PTUN Medan menolak gugatan mereka. Hakim mengatakan manajemen kampus “… memiliki tugas dan wewenang melaksanakan penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat … dapat melakukan tindakan berupa mengeluarkan kebijakan dalam terjadinya pro dan kontra terkait cerpen tersebut.”
Sinaga dan Hastuti menerima keputusan pengadilan. Mereka tak banding. Mereka berpendapat lebih baik tetap kuliah serta melanjutkan perjuangan dengan cara baru.
Andreas Harsono mengatakan, “Kami mengerti pergulatan serta kesulitan Sinaga dan Hastuti dalam melawan pembredelan media mereka. Mereka kehilangan Suara USU. Kebebasan pers dan kemerdekaan akademik memang dibungkam di Medan namun ia takkan mati.”
Yael Sinaga dan Widiya Hastuti
Yael Sinaga, kelahiran Medan pada Oktober 1997, adalah mahasiswa USU jurusan antropologi. Sinaga bergabung dengan Suara USU pada 2017. Saat pembredelan Suara USU, Sinaga adalah pemimpin umumnya.
Widiya Hastuti, kelahiran Takengon, Aceh, pada Maret 1998, adalah mahasiswa USU jurusan ilmu sejarah. Hastuti bergabung dengan Suara USU pada 2016. Saat pembredelan Suara USU, Hastuti adalah pemimpin redaksinya.
Menurut Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, pada 2017-2019 terjadi 18 kasus pelanggaran terhadap berbagai ruang redaksi mahasiswa di Indonesia. Paling banyak adalah pejabat kampus dengan jumlah 18 kali termasuk Runtung Sitepu di Medan.
Sejarahnya, tabloid Suara USU terbit pertama pada 1995. Pada 2008, mereka mulai merambah internet dengan domain suarausu.co Penerbitan tabloid bisa terbit tiga atau empat kali setahun sejak 2011 namun berhenti cetak pada 2016. Mereka menekankan pada website.
“Demokrasi lahir bersama jurnalisme. Ia juga akan mati bersama-sama. Salah satu hambatan demokrasi Indonesia adalah terlalu sering terjadi pembredelan. Jarang ada media, baik media umum maupun kampus, berumur panjang di Indonesia. Bandingkan dengan Hanvard Chrimson sesama pers mahasiswa dari Universitas Harvard, terbit tanpa putus sejak 1873,” kata Harsono.
Yayasan Pantau memandang gugatan hukum Sinaga dan Hastuti sejalan dengan visi Penghargaan Oktovianus Pogau, yang ingin terus merawat keberanian dalam jurnalisme seiring dengan tujuan Yayasan Pantau guna meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia.
Tentang Penghargaan Pogau
Nama Oktovianus Pogau, diambil dari seorang wartawan-cum-aktivis Papua, lahir di Sugapa, kelahiran 5 Agustus 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura.
Pada Oktober 2011, Pogau pernah melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Tiga orang meninggal dan lima dipenjara dengan vonis makar.
Dia dipukuli polisi ketika meliput demonstrasi di Manokwari pada Oktober 2012. Pogau juga sering menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat sejak 1965. Dia juga memprotes pembatasan pada wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata.
Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura) dan Andreas Harsono.
Made Ali dan Andreas Harsono, ketika mahasiswa, juga terlibat dengan pers mahasiswa, masing-masing di Bahana Mahasiswa (Universitas Riau, Pekanbaru) serta Imbas (Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga). Harsono juga pernah jadi Nieman Fellow untuk Jurnalisme di Harvard. (titastory.com/yayasan.pantau)
Discussion about this post