PEMILU 2024 sudah di ambang pintu. Sebab, secara politik, waktu yang kurang dari setahun ini sudah sangat mepet untuk memfinalisasi calon legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden.
Saat ini, semua partai politik sedang mematangkan posisi untuk memasuki pemilu. Bahkan, partai politik sudah nenunjukkan posisi melalui pengajuan bakal calon legislatif dan pilpres.
Namun, dalam beberapa waktu belakangan, selain isu politik, juga mencuat isu ekonomi mengenai pengelolaan sumber daya alam. Pola pengelolaan sumber daya alam, secara praktis semakin melenceng dari semangat dasar bernegara, dimana sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Prinsip dasar ini yang sama sekali tidak tampak dalam praktik bernegara selama ini.
Komitmen politik untuk melaksanakan konstitusi secara konsisten, tidak lebih dari jargon politik. Sebab, kenyataannya sumber daya alam tidak lagi dikuasai negara, tetapi telah beralih ke segelintir pengusaha raksasa, yang menguasai sumber daya alam strategis yang berkuasa atas restu penguasa.
Kepentingan negara menjadi jargon untuk melegitimasi eksploitasi sumber daya dan parahnya rakyat yang secara adat merupakan pemilik berada pada posisi korban ketimbang menghadirkan kemakmuran bagi rakyat. Untuk itu, eksploitasi SDA untuk kesejahteraan rakyat tidak lebih dari kemasan, karena kemakmuran dan kesejahteraan yang sesungguhnya dinikmati pengusaha yang seolah tidak lelah menumpuk kekayaan dari mengeruk sumber daya alam.
Sebagai gambaran, belum lama ini ada dua perusahaan berhasil meraup triliunan rupiah dari menjual nikel dari bumi Maluku Utara di bursa saham. Triliunan rupiah bisa diraup dalam sekejap mata, tetapi di satu rakyat menanggung beban lingkungan hidup seumur hidup dan bagi generasi mendatang.
Ini merupakan contoh telanjang mata, dimana kemakmuran itu hanya mimpi bagi rakyat dan daerah penghasil, tetapi menjadi kenyataan bagi investor. Sekarang, pertanyaan sederhana dari triliunan yang dihimpun pengusaha, tentu tidak ada yang bisa menjawab mengenai porsi negara dan porsi rakyat pemilik kekayaan.
Praktik pengingkaran konstitusi ini akan tetap sama, jika tidak ada penguasa yang tegas mengambil alih sumber daya alam. Justru, sangat mengkuatirkan pemimpin yang akan lahir di masa depan, lahir dari hasil eksploitasi sumber daya alam.
Para pemimpin politik harus jujur, politik praktis telah didesain menjadi politik pasar modal. Pemimpin politik dipaksa sistem politik untuk tergantung kepada pemilik modal, baik untuk tiket politik maupun untuk menggerakkan mesin dukungan politik.
Cilakanya, bukan rahasia lagi, kalau sebagian besar pemodal besar Indonesia lahir dari mengeruk sumber daya alam. Sangat berbahaya bagi rakyat, ketika pengusaha melahirkan pemimpin, karena langsung atau tidak, pada akhirnya pengusaha akan mengembalikan modal jauh lebih besar dan nasib rakyat menjadi taruhannya.
Kekayaan nikel berada di kawasan timur, yang juga merupakan kawasan termiskin di Indonesia. Namun, kekayaan dari kawasan timur seolah tidak berbekas dari sisi kesejahteraan, karena semua dikelola seperti pada masa kolonial, dimana rakyat seolah menjadi subjek semata.
Kalau tidak hati-hati, ketika pengaruh pengusaha dan modalnya begitu menentukan politik pemerintahan, maka hanya beda tipis dengan praktik VOC, dimana pengusaha juga merupakan penguasa. Tidak boleh ada VOC dalam kemasan baju demokrasi di Indonesia. Di satu sisi mengumandangkan demokrasi, tetapi sesungguhnya yang terjadi praktik eksploitasi. Sejarah akan selalu meski dalam baju berbeda.
Politik negara melalui pemilu sebenarnya harus menjadi momentum untuk mengembalikan tujuan awal berbangsa dan bernegara, untuk mencapai kemakmuran rakyat. Dimana rakyat bisa menikmati kekayaan alam yang ada di daerahnya. Ketika rakyat menjadi korban eksploitasi dari segelintir elit di bursa saham, maka politik negara perlu kembali ke jalan yang mengedepankan kepentingan rakyat yang sejati.
Siapapun pemimpinnya harus bisa menjelaskan secara logis, ketika kekayaan alam yang semestinya dikuasai negara, tetapi berpindah ke kelompok investor yang menumpuk kekayaan di bursa saham.
Ketika kekayaan alam dikuasai negara, maka hanya perusahaan negara (PN) yang mestinya mengelola dan menguasai. Ketika kekayaan alam berpindah ke kelompok pengusaha, maka ada mata rantai yang putus antara negara dan rakyatnya dalam pengelolaan kekayaan alam. Suka atau tidak, beberapa daerah penghasil merasakan justru tidak merasakan kehadiran negara karena menjadi korban dalam eksploitasi kekayaan alam oleh pengusaha.
Dengan kondisi seperti ini, sebenarnya Pemilu merupakan momen strategis untuk memutus mata rantai eksploitasi kekayaan alam. Tetapi, dari pemilu ke pemilu, sepertinya kekayaan bukan semakin dicengkeram negara, tetapi justru pengusaha semakin menancapkan kuku semakin dalam terhadap semua kekayaan alam, termasuk potensi kekayaan alam yang belum tersentuh.
Tentu, bukan pesimis dengan pemilu, tetapi bagaimana pemilu bukan sekadar menjadi prosedural semata untuk melahirkan pejabat politik, tetapi lebih kepada substansi dari pemilu untuk melahirkan keadilan sosial.
Pemilu 2024 masih perlu diuji lagi, apakah akan mampu memutus eksploitasi kekayaan atau tidak. Tetapi, selagi para pemimpin yang lahir muncul dari kekuatan modal, maka situasi akan berulang, dimana kekayaan alam menjadi taruhan. Sebab, politik biaya tinggi memiliki saudara kembar politik ijon.
Gejala atau realita ini harus diputus, sehingga negara tidak terperangkap dalam sistem politik yang justru merenggut kekuatannya sendiri untuk mewujudkan cita-cita mulia sebagai sebuah negara. Sekali lagi, ini menjadi tantangan serius untuk semua pemimpin politik di berbagai level. Memang tak mudah, tapi butuh keberanian untuk meninjau kembali politik berbiaya tinggi ini.
Tentu, ada harapan agar kekayaan alam semoga tidak diijon untuk kepentingan politik, karena hampir pasti politik ijon akan menempatkan rakyat sebagai tumbal politik. Kita berharap ini semua tidak terjadi, sehingga pemilu benar-benar membawa harapan akan terwujudnya masyarakat yang makmur, berkeadilan dan sejahtera. Semoga!
Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, adalah Direktur Archipelago Solidarity Foundation.
Discussion about this post