TitaStory,Ambon- Sikap aparat penegak hukum mempidanakan lima warga Hulaliu yang dijerat pasal makar, adalah merupakan tindakan keliru dan terkesan dipaksakan. Pemidanaan atas rencana kegiatan ekspresi dari keyakinan politik warga, adalah bentuk nyata pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan berbagai instrumen hukum.
Menyikapi hal itu, Ketua Pengadilan Negeri Ambon dan Majelis Hakim yang memeriksa kasus tersebut diminta untuk membatalkan dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan kemudian menghentikan perkara tersebut demi hukum.
Permintaan itu disampaikan Tim Advokasi Tapol Maluku yang terdiri dari KONTRAS dan Lembaga Advokasi Hak Asasi Manusia Maluku (LIAMMA) melalui Press Release yang diterima redaksi TitaStory.com, selasa ( 10/12/2019) kemarin.
Lima warga Hulaliu yang ditahan pada 29 Juni 2019, sekitar pukul 10.00 WIT, di kediaman Izaak Josias Siahaya als Cak di Negeri Hulaliu, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, adalah, Johan Noya, Basten Noya, Pelpina Siahaja dan Izaak Josias Siahaya. Saat percakapan diantara mereka berlangsung sekitar 10 menit, tiba-tiba 10 anggota Polresta Ambon dan P.p Lease bersama beberapa anggota personil Anggota TNI masuk dan melakukan penangkapan dan penggeledahan.
Mereka dituding sebagai simpatisan RMS yang hendak merencanakan melakukan peribadatan pada tanggal 30 Juni 2019. Dari dinding rumah, polisi mengamankan satu helai bendera RMS. Kasus mereka kini sedang disidangkan di Pengadilan negeri Ambon, dengan agenda pemeriksaan saksi.
KontraS melalui Andi Muhammad Rezaldy dan LIAMMA,Buce Hahury menjelaskan, apa yang dilakukan oleh lima Tapol, dijamin Pasal 18 ayat (1) Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
“Bentuk pelanggaran hak itu tampak dengan adanya pemidanaan yang dilakukan aparat penegak hukum atas perencanaan ibadah bersama yang akan dilakukan pada tanggal 30 Juni 2019. Oleh karena itu, kami mendesak Ketua Pengadilan Negeri Ambon dan Majelis Hakim yang memeriksa kasus tersebut membatalkan dakwaan JPU dan kemudian menghentikan perkara tersebut demi hukum,”ungkap keduanya.
Disamping itu, terjadi pelanggaran atas kebebasan berekspresi, sebagaimana diatur Pasal 19 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Kebebasan berekspresi yang dimaksud adalah manifestasi pikiran melalui karya bendera yang telah disangka mirip dengan bendera Negara RMS.
“Seandainya benar bendera yang disangkakan itu merupakan bendera RMS, menurut kami tidak ada konsekuensi atau akibat hukumnya, karena sejauh ini belum ada aturan atau larangan dalam bentuk aturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan pelarangan terhadap bendera yang disangkakan mirip bendera Negara RMS maupun bendera – bendera lainnya.”ungkapnya.
Tim Advokasi Tapol juga menyebutkan, pelanggaran atas hak untuk menentukan nasib sendiri dan berkumpul secara damai, juga dijamin Pasal 1 dan 21 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik.
Antara Pasal 1 dan Pasal 21 memiliki keterkaitan yang sangat erat. Sebab secara historis, mereka memiliki pandangan atau keyakinan politik yang berbeda dengan pemerintah. Perbedaan itu diekspresikan dengan usaha-usaha yang damai, melalui perkumpulan salah satunya.
Menurut pasal-pasal tersebut, Tim Advokasi Tapol berpendapat, seharusnya negara dapat menghargai hak itu, bukan sebaliknya melalui aparat penegak hukum memidanakan paksa mereka dengan tuduhan makar.
Tindakan anggota kepolisian dan anggota TNI yang melakukan upaya paksa (penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan) tanpa disertai dengan prosedur administratif juga dinilai merupakan bentuk tindakan maladministrasi dan pelanggaran terhadap Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasalnya, tindak pidana yang disangkakan terhadap kelima orang tersebut bukan merupakan peristiwa tangkap tangan, yang mengacu bahwa proses hukum didasari atas laporan polisi nomor: LP/522/VI/2019/Maluku/Res Ambon tanggal 29 Juni 2019).
“Maka sudah sepatutnya, proses upaya paksa tersebut harus dilengkapi secara administratif. Secara locus delicti, penangkapan terhadap lima warga di Pulau Haruku yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Maluku Tengah, sudah sepatutnya prosesnya juga harus melibatkan Polres setempat, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Polri,”ungkap keduanya.Seorang jaksa penuntut umum terlihat sedang membuka barang bukti yakni sehelai bendera milik Republik Maluku Selatan (RMS) dalam persidangan. Foto : Istimewa
Selain menyoroti proses penangkapan, Tim Advokasi Tapol juga menilai, pasal yang disangkakan oleh pihak kepolisian tersebut tidak memenuhi unsur sebagaimana pasal yang disangkakan tersebut. Mengingat, Pasal 53 ayat (1) “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika ada niat dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.”
Kegiatan ibadah yang rencananya dilaksanakan pada 30 Juni 2019, menurut keduanya, juga bukan merupakan tindak kejahatan, mengingat doa dalam proses peribadatan bukan merupakan suatu tindak kejahatan.
Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XV/2017, yang dalam pertimbangan putusannya telah memperingatkan kepada aparat penegak hukum untuk berhati – hati dalam menerapkan pasal yang berkenaan dengan makar sehingga tidak digunakan sebagai alat untuk membungkam kebebasan, tim advokasi tapol menyimpulkan, pemidanaan terhadap kelima warga, diduga melanggar berbagai instrumen hukum dan Hak Asasi Manusia. (TS-01)
Discussion about this post