titastory, Jakarta – Pagar laut sepanjang 30,16 kilometer yang berdiri ilegal di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, memicu keresahan besar di kalangan masyarakat pesisir. Struktur bambu yang dipasang tanpa izin ini menutup akses nelayan kecil ke lokasi tangkapan, mengancam mata pencaharian mereka, sekaligus menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan.
Keberadaan pagar ini melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mewajibkan setiap aktivitas di ruang laut memiliki izin resmi serta mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem. Hingga kini, pemerintah belum mengungkap pihak yang bertanggung jawab atas pemasangan pagar tersebut.
Ketua Bidang Advokasi dan Pemberdayaan Masyarakat Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Arafat, menilai pagar ini melambangkan ketidakadilan struktural yang memarjinalkan masyarakat pesisir. “Pemasangan pagar laut ini tidak hanya melanggar hak asasi masyarakat pesisir, tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan,” tegas Arafat dalam pernyataannya.
Dari sisi sosial, pagar laut ilegal tersebut menutup jalur utama nelayan menuju lokasi tangkapan, mengancam keberlangsungan hidup ribuan keluarga pesisir. Ketua Ombudsman RI Perwakilan Banten menyebut pagar ini sebagai bentuk diskriminasi yang mengurangi akses masyarakat kecil terhadap sumber daya laut yang seharusnya menjadi milik bersama.
Secara ekonomi, pendapatan nelayan kecil merosot tajam. Sulitnya akses ke perairan produktif membuat hasil tangkapan ikan menurun drastis, berdampak langsung pada rantai perekonomian lokal, termasuk pasar ikan dan sektor perdagangan terkait.
Sementara itu, dari perspektif lingkungan, struktur bambu yang tertanam di dasar laut mengubah pola arus laut, merusak habitat ikan, dan mengancam ekosistem mangrove serta terumbu karang. PB PMII menekankan perlunya kajian lingkungan yang mendalam untuk mengukur tingkat kerusakan akibat pagar tersebut.
Tuntutan PB PMII
Menanggapi polemik ini, PB PMII mengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah:
- Segera membongkar pagar laut ilegal dan memulihkan akses masyarakat pesisir ke wilayah tangkapan.
- Mengusut tuntas pihak-pihak yang terlibat dalam pemasangan pagar laut dan memberikan sanksi hukum sesuai peraturan yang berlaku.
- Meningkatkan pengawasan aktivitas ilegal di wilayah pesisir untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
“Langkah tegas dan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait sangat diperlukan agar hak-hak masyarakat pesisir terlindungi, dan ekosistem laut tetap terjaga,” tambah Arafat.
Kasus pagar laut ilegal di Tangerang menjadi pengingat bahwa wilayah pesisir bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. PB PMII menyerukan kebijakan pengelolaan ruang laut yang adil, transparan, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat luas.
Dengan mendesaknya pembongkaran pagar laut ini, PB PMII berharap pemerintah dapat menunjukkan keberpihakannya pada masyarakat kecil sekaligus menjaga keutuhan ekosistem laut yang menjadi penopang kehidupan. “Laut adalah milik bersama, bukan segelintir pihak,” tutup Arafat.
Dugaan Keterlibatan Pemilik Modal dan Aparat Desa
Pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer di Pantai Utara (Pantura) Kabupaten Tangerang terus menjadi sorotan publik. Berdasarkan informasi yang dilansir dari akun media sosial @InfoBalaraja, pemasangan pagar laut ini dilakukan oleh masyarakat setempat atas perintah dan dengan bayaran dari pihak pemilik modal. Hal ini diungkapkan oleh salah satu nelayan Pantura Tangerang berinisial RD (44).
RD menjelaskan bahwa pemagaran laut dimulai sekitar Juni-Juli 2024 di wilayah Desa Kohod dan Tanjung Burung, Kecamatan Pakuhaji, hingga meluas ke Kecamatan Sukadiri, Mauk, Teluknaga, dan Kronjo. Bahkan, kawasan pantai Sangrila yang biasa menjadi lokasi wisata lokal kini turut dipagari.
“Dari Rawasaban sampai Karang Serang sudah dipagari semua. Bahkan, rumah makan pinggir pantai di Karang Serang sudah diberi patok-patok tanpa adanya ganti rugi,” ujar RD saat ditemui.
Menurutnya, proses pemagaran ini melibatkan masyarakat setempat yang dibayar harian oleh pemilik modal. RD menyebut bahwa pekerja menerima upah sekitar Rp100.000 hingga Rp110.000 per hari selama proses pemasangan yang berlangsung selama enam bulan.
RD menekankan bahwa pemagaran ini mustahil dilakukan secara swadaya oleh nelayan setempat karena tingginya biaya untuk pembelian material seperti bambu cerucuk, jaring, dan transportasi pemasangan.
“Kalau dibilang swadaya nelayan itu bohong. Duit dari mana buat belanja bambu, jaring, dan ongkos lainnya? Kita nelayan cari makan saja sudah susah. Yang kerja memang warga sini, tapi yang bayar itu pengembang,” ungkap RD.
RD juga memastikan bahwa aparat desa mengetahui proses pemagaran laut di wilayah mereka, namun cenderung berpihak kepada pemilik modal. “Aparat desa tahu soal ini, tapi seperti sudah berpihak ke pemilik modal,” tambahnya.
PIK 2 Bantah Tudingan
Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), yang dikembangkan oleh Agung Sedayu Group dan Salim Group, akhirnya memberikan klarifikasi terkait tudingan bahwa mereka adalah pihak di balik pemasangan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten. Keberadaan pagar laut ini viral di media sosial dan menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk masyarakat pesisir dan nelayan tradisional.
Netizen mencurigai pagar laut ini terkait dengan proyek PIK 2, mengingat lokasi pemasangan pagar berada di wilayah proyek yang menjadi bagian dari PSN. Pagar tersebut mencaplok wilayah pesisir 16 desa di enam kecamatan dan berdampak langsung pada 3.888 nelayan serta 502 pembudidaya yang menggantungkan hidup pada kawasan pesisir.
Namun, pihak PIK 2 membantah tuduhan tersebut. Dalam pernyataannya yang dikutip dari Kompas.id, mereka menegaskan bahwa mereka bukan pembangun atau pemilik dari struktur pagar laut misterius itu.
Dampak bagi Nelayan Tradisional
Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten, Eli Susiyanti, pagar laut tersebut telah menyulitkan nelayan untuk melaut dan mencari ikan. Struktur itu menghalangi jalur utama para nelayan menuju lokasi tangkapan, sehingga berdampak serius pada mata pencaharian mereka.
“Keberadaan pagar ini membuat para nelayan semakin sulit mencari ikan. Ini menjadi ancaman bagi keberlanjutan hidup masyarakat pesisir,” ungkap Eli.
Editor: Christ Belseran